
Berkat The Fed, Harga Obligasi Pemerintah Melesat
Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
21 March 2019 21:20

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga obligasi rupiah pemerintah melesat pada penutupan perdagangan Kamis (21/3/2019). Peningkatan harga obligasi pada hari ini disebabkan oleh sentimen global yang menguntungkan pasar keuangan negara berkembang.
Dini hari tadi, Bank Sentral Amerika Serikat (AS) mengumumkan hasil rapat bulanannya yang telah digelar pada Selasa-Rabu (19-20/3/2019) lalu. Sesuai dugaan, The Fed masih tetap menahan tingkat suku bunga acuan (Federal Funds Rate/FFR) pada kisaran 2,25-2,5% atau median 2,375%.
Akan tetapi, ternyata keadaan perekonomian yang masih belum kunjung membaik, alias masih lambat, memaksa The Fed untuk memangkas proyeksi suku bunga hingga akhir tahun 2019.
Hal tersebut terlihat dari dot plot (proyeksi arah suku bunga jangka menegah) yang berubah. Jika pada dot plot Desember 2019 proyeksi suku bunga The Fed berada di median 2,875% pada akhir 2019, pada dot plot terbaru, proyeksinya turun menjadi 2,375%.
Ini berarti kemungkinan besar, FFR masih akan terus bertahan pada level yang sekarang, bahkan hingga akhir tahun 2019.
Tak hanya itu, Gubernur The Fed, Jerome Powell juga menuliskan bahwa bank sentral akan mulai menghentikan program quantitative easing secara bertahap mulai Mei mendatang, hingga habis total pada bulan September.
Seperti yang telah diketahui, sejak akhir 2017, bank sentral AS rajin melepas kepemilikan obligasi untuk mengurangi neraca yang gemuk. Setiap bulan, The Fed mengurangi sekitar US$ 50 miliar kepemilikan obligasi mereka yang mencapai sekitar US$ 4 triliun.
Alhasil kala itu likuiditas dolar di pasar akan semakin ketat, karena uang mengalir ke dalam simpanan The Fed. Semakin langka dolar beredar, maka greenback juga makin jaya.
Dengan berakhirnya pengurangan neraca, efeknya akan mirip dengan menahan suku bunga. Secara umum, ini dapat dilihat sebagai akhir dari normalisasi kebijakan moneter di AS.
Alhasil, investasi pada aset-aset berbasis dolar menjadi makin tak menarik, aliran dana berhamburan ke negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Obligasi pemerintah RI pun menarik minat investor.
Data Refinitiv menunjukkan pelemahan harga SUN yang mana tercermin dari empat seri acuan (benchmark) yang sekaligus menaikkan tingkat imbal hasilnya (yield).
Yield juga lebih umum dijadikan acuan transaksi obligasi dibanding harga karena mencerminkan kupon, tenor, dan risiko dalam satu angka.
SUN adalah Surat Berharga Negara (SBN) konvensional rupiah yang perdagangannya paling ramai di pasar domestik, sehingga dapat mencerminkan kondisi pasar obligasi secara umum.
Keempat seri yang menjadi acuan itu adalah FR0063 bertenor 5 tahun, FR0064 bertenor 10 tahun, FR0065 bertenor 15 tahun, dan FR0075 bertenor 30 tahun.
Penguatan harga terjadi paling besar di seri FR0079 yang bertenor 10 tahun, dengan penurunan yield 55 basis poin (bps) menjadi 7,714%. Sebagai informasi besaran 100 bps setara dengan 1%.
Sumber: Refinitiv
Penguatan harga di pasar obligasi pemerintah hari ini tercermin pada harga obligasi wajarnya, di mana indeks INDOBeX Government Total Return milik PT Penilai Harga Efek Indonesia (PHEI/IBPA) masih menguat.
Indeks tersebut naik 1,64 poin (0,67%) menjadi 247,14 dari posisi kemarin yang sebesar 245,50
Yield US Treasury 10 tahun turun lagi hingga 2,516% dari posisi kemarin yang sebesar 2,538%. Terkait dengan pasar US Treasury, saat ini masih terjadi inversi pada tenor 2 tahun-5 tahun dan tenor 3 tahun-5 tahun, dari posisi kemarin yang hanya terjadi pada tenor 2 tahun-5 tahun.
Inversi itu membentuk kurva yield terbalik (inverted yield curve), yang menjadi cerminan investor yang lebih meminati US Treasury seri panjang dibanding yang pendek karena menilai akan terjadi kontraksi jangka pendek, sekaligus indikator adanya potensi tekanan ekonomi bahkan hingga krisis.
Sumber:Refinitiv
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/taa) Next Article Yield US Treasury Berpeluang Sentuh 2%, Ini Imbasnya Bagi SBN
Dini hari tadi, Bank Sentral Amerika Serikat (AS) mengumumkan hasil rapat bulanannya yang telah digelar pada Selasa-Rabu (19-20/3/2019) lalu. Sesuai dugaan, The Fed masih tetap menahan tingkat suku bunga acuan (Federal Funds Rate/FFR) pada kisaran 2,25-2,5% atau median 2,375%.
Akan tetapi, ternyata keadaan perekonomian yang masih belum kunjung membaik, alias masih lambat, memaksa The Fed untuk memangkas proyeksi suku bunga hingga akhir tahun 2019.
Ini berarti kemungkinan besar, FFR masih akan terus bertahan pada level yang sekarang, bahkan hingga akhir tahun 2019.
Tak hanya itu, Gubernur The Fed, Jerome Powell juga menuliskan bahwa bank sentral akan mulai menghentikan program quantitative easing secara bertahap mulai Mei mendatang, hingga habis total pada bulan September.
Seperti yang telah diketahui, sejak akhir 2017, bank sentral AS rajin melepas kepemilikan obligasi untuk mengurangi neraca yang gemuk. Setiap bulan, The Fed mengurangi sekitar US$ 50 miliar kepemilikan obligasi mereka yang mencapai sekitar US$ 4 triliun.
Alhasil kala itu likuiditas dolar di pasar akan semakin ketat, karena uang mengalir ke dalam simpanan The Fed. Semakin langka dolar beredar, maka greenback juga makin jaya.
Dengan berakhirnya pengurangan neraca, efeknya akan mirip dengan menahan suku bunga. Secara umum, ini dapat dilihat sebagai akhir dari normalisasi kebijakan moneter di AS.
Alhasil, investasi pada aset-aset berbasis dolar menjadi makin tak menarik, aliran dana berhamburan ke negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Obligasi pemerintah RI pun menarik minat investor.
Data Refinitiv menunjukkan pelemahan harga SUN yang mana tercermin dari empat seri acuan (benchmark) yang sekaligus menaikkan tingkat imbal hasilnya (yield).
Yield juga lebih umum dijadikan acuan transaksi obligasi dibanding harga karena mencerminkan kupon, tenor, dan risiko dalam satu angka.
SUN adalah Surat Berharga Negara (SBN) konvensional rupiah yang perdagangannya paling ramai di pasar domestik, sehingga dapat mencerminkan kondisi pasar obligasi secara umum.
Keempat seri yang menjadi acuan itu adalah FR0063 bertenor 5 tahun, FR0064 bertenor 10 tahun, FR0065 bertenor 15 tahun, dan FR0075 bertenor 30 tahun.
Penguatan harga terjadi paling besar di seri FR0079 yang bertenor 10 tahun, dengan penurunan yield 55 basis poin (bps) menjadi 7,714%. Sebagai informasi besaran 100 bps setara dengan 1%.
Yield Obligasi Negara Acuan 21 Mar 2019 | |||||
Seri | Jatuh tempo | Yield 20 Mar 2019 (%) | Yield 21 Mar 2019 (%) | Selisih (basis poin) | Yield wajar IBPA 21 Mar 2019 |
FR0077 | 5 tahun | 7,272 | 7,020 | -25,20 | 7,0684 |
FR0078 | 10 tahun | 7,714 | 7,164 | -55,00 | 7,5434 |
FR0068 | 15 tahun | 8,057 | 7,616 | -44,10 | 7,8863 |
FR0079 | 20 tahun | 8,173 | 7,944 | -22,90 | 7,9513 |
Avg movement | -36,80 |
Penguatan harga di pasar obligasi pemerintah hari ini tercermin pada harga obligasi wajarnya, di mana indeks INDOBeX Government Total Return milik PT Penilai Harga Efek Indonesia (PHEI/IBPA) masih menguat.
Indeks tersebut naik 1,64 poin (0,67%) menjadi 247,14 dari posisi kemarin yang sebesar 245,50
Yield US Treasury 10 tahun turun lagi hingga 2,516% dari posisi kemarin yang sebesar 2,538%. Terkait dengan pasar US Treasury, saat ini masih terjadi inversi pada tenor 2 tahun-5 tahun dan tenor 3 tahun-5 tahun, dari posisi kemarin yang hanya terjadi pada tenor 2 tahun-5 tahun.
Inversi itu membentuk kurva yield terbalik (inverted yield curve), yang menjadi cerminan investor yang lebih meminati US Treasury seri panjang dibanding yang pendek karena menilai akan terjadi kontraksi jangka pendek, sekaligus indikator adanya potensi tekanan ekonomi bahkan hingga krisis.
Yield US Treasury Acuan 21 Mar 2019 | |||||
Seri | Benchmark | Yield 20 Mar 2019 (%) | Yield 21 Mar 2019 (%) | Selisih (Inversi) | Satuan Inversi |
UST BILL 2019 | 3 Bulan | 2,473 | 2,474 | 3 bulan-5 tahun | 15,5 |
UST 2020 | 2 Tahun | 2,400 | 2,396 | 2 tahun-5 tahun | 7,7 |
UST 2021 | 3 Tahun | 2,337 | 2,329 | 3 tahun-5 tahun | 1 |
UST 2023 | 5 Tahun | 2,336 | 2,319 | 3 bulan-10 tahun | -4,2 |
UST 2028 | 10 Tahun | 2,538 | 2,516 | 2 tahun-10 tahun | -12 |
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/taa) Next Article Yield US Treasury Berpeluang Sentuh 2%, Ini Imbasnya Bagi SBN
Most Popular