Terendah Dalam 10 Bulan, Harga Batu Bara Terus Merana

Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
20 March 2019 16:03
Terendah Dalam 10 Bulan, Harga Batu Bara Terus Merana
Jakarta, CNBC Indonesia - Harga batu bara Newcastle kontrak Maret pada penutupan perdagangan Selasa kemarin (19/3/2019) turun 0,4% ke posisi US$ 93,45/metrik ton, setelah juga melemah 0,1% pada perdagangan Senin (18/3/2019).

Selama sepekan, harga batu bara turun sebesar 1,68% secara point-to-point. Sedangkan sejak awal tahun harganya juga tercatat melemah 8,43%.

Dengan begitu, harga batu bara berada pada posisi paling rendah sejak 25 April 2018, atau 10 bulan yang lalu. Kala itu, harganya juga persis berada di level US$ 93,45/metrik ton.



Pembatasan impor batu bara oleh pemerintah China tampaknya masih terus memberikan dampak negatif pada pergerakan harga.

Sejak tahun lalu, pemerintah China memang memberlakukan pembatasan jumlah impor batu bara. Tujuannya adalah untuk mendorong penggunaan batu bara hasil pertambangan domestik Negeri Tirai Bambu.

Hingga saat ini, masih belum ada kejelasan sampai kapan peraturan tersebut akan terus berlangsung. China yang merupakan konsumen terbesar batu bara dunia sudah tentu akan memberikan dampak yang signifikan terhadap keseimbangan fundamental (pasokan-permintaan).

Berdasarkan data yang dihimpun oleh Refinitiv, hingga 17 Maret 2019, jumlah impor batu bara China hanya sebesar 2,5 juta ton. Dengan demikian, volume impor batu bara China sepanjang bulan Maret hanya sebesar 7,89 juta ton. Jumlah tersebut turun sebesar 2,2% dari capaian bulan Januari yang sebesar 8,07 juta ton.

Memang, jika dibandingkan dengan dengan Impor batu bara bulan Februari yang sebesar 5,83 juta ton, volumenya meningkat 35%. Tapi perlu dicatat, pada bulan tersebut ada libur Hari Raya Imlek yang membuat pasar tutup selama seminggu penuh. Sudah tentu akan mempengaruhi aliran barang masuk.

Selain itu, proses pemeriksaan barang (custom clearence) di Bea Cukai China atas batu bara Australia yang diperketat juga membuat pasokan menjadi menumpuk. Sampai saat ini, waktu custom clearence untuk batu bara Australia yang masuk di pelabuhan China mencapai 40 hari. Meningkat dari yang biasanya hanya butuh waktu 20 hari.

Berdasarkan pernyataan dari pelaku pasar, pengetatan proses bea cukai ini masih akan berlangsung setidaknya hingga bulan Mei.

Alhasil, hingga hari Senin (18/3/2019), ada sekitar tujuh belas kapal angkut batu bara asal Australia yang masih menunggu antrean untuk proses penurunan barang menurut data Refinitiv. Itu merupakan jumlah yang sedikit lebih banyak daripada yang biasanya, mengutip Reuters.

Kembali beroperasinya sejumlah tambang batu bara yang sempat tutup di China diduga kuat masih membuat keseimbangan fundamental di sisi pasokan masih berlebih.

Pasca terjadinya kecelakaan di salah satu tambang batu bara, pemerintah setempat memang menutup aktivitas pertambangan guna melakukan inspeksi keselamatan sekitar satu bulan lamanya.

Artinya, pasokan batu bara domestik China kemungkinan akan meningkat dalam waktu dekat. Membuat pasokan di pasar batu bara global akan sulit untuk terserap.

(BERLANJUT KE HALAMAN BERIKUTNYA)
Tak hanya dari China, Jepang sebagai salah satu importir batu bara asal Australia terbesar juga menunjukkan sinyal-sinyal perlambatan permitaan batu bara.

Pada hari Senin (18/3/2019), Jepang mengumumkan jumlah impor batu bara periode Februari yang tercatat lebih rendah 4% dibanding tahun sebelumnya (YoY).

Sebelumnya, Purchasing Manager's Index (PMI) manufaktur Jepang periode Februari juga dibacakan di angka 48,9 yang merupakan nilai paling rendah sejak 32 bulan terakhir. Angka di bawah 50 artinya terjadi kontraksi di sektor manufaktur Negeri Sakura.

Data-data tersebut semakin mengonfirmasi perlambatan ekonomi yang berujung pada penurunan permintaan energi, yang besar disumbang dari batu bara.

Potensi perlambatan ekonomi global juga masih mewarnai sentimen yang membebani pergerakan harga batu bara.

Bloomberg melaporkan bahwa kemungkinan China menolak memenuhi permintaan Amerika Serikat (AS) telah membuat beberapa orang pejabat di Washington khawatir, seperti yang dilansir dari Reuters.

Menyusul kabar tersebut, Perwakilan Dagang AS, Robert Lighthizer dan Menteri Keuangan AS, Steven Mnuchin telah merencanakan perjalanan ke China pada minggu depan untuk melanjutkan perundingan dagang dengan Wakil Perdana Menteri China, Liu He, mengutip Reuters.

Padahal sebelumnya rencana tersebut belum pernah diungkapkan.

Ini membuat, damai dagang AS-China yang sudah didamba-dambakan seluruh negeri menjadi semakin terasa jauh.

Bila benar tak ada kesepakatan apapun, Gedung Putih juga sudah mengatakan kan meningkatkan bea impor produk-produk asal Negeri Panda yang senilai US$ 200 miliar menjadi 25% (dari yang semula 10%).

Sekenario saling lempar tarif baru pun tak bisa dielakkan kala hal tersebut terjadi. China akan bereaksi yang akan memicu hambatan pada rantai pasokan dunia.

Pasalnya yang berseteru merupakan negara dengan perekonomian terbesar di dunia. Hampir pasti semua negara memiliki hubungan perdagangan dengan keduanya. Baik langsung maupun tak langsung.

Dampaknya, perekonomian global akan semakin melambat (dari yang sudah lambat). Aktivitas industri pun ikut lesu. Permintaan energi akan semakin tak tumbuh, bahkan berpotensi terkontraksi.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular