
Impor Barang Konsumsi Anjlok, Kok Saham Konsumer Menguat?
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
17 March 2019 14:31

Walaupun ada indikasi lemahnya daya beli masyarakat Indonesia yang terungkap dari rendahnya nilai impor barang konsumsi, indikator-indikator lainnya justru menunjukkan hal sebaliknya. Daya beli masyarakat dan konsumsi masyarakat Indonesia masihlah kuat.
Pada awal bulan ini, BPS mengumumkan bahwa pada bulan Februari terjadi deflasi sebesar 0,08% MoM, lebih dalam dibandingkan konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia yakni deflasi sebesar 0,05% MoM. Sementara itu, tingkat inflasi secara tahunan diumumkan di level 2,57%.
Sejatinya, deflasi bisa diinterpretasikan sebagai bukti dari lemahnya daya beli masyarakat Indonesia. Namun, deflasi pada bulan Februari praktis hanya disumbang oleh kelompok bahan makanan yang turun hingga 1,11% MoM. Sementara itu, enam komponen pembentuk inflasi lainnya membukukan kenaikan harga.
Lantas, secara keseluruhan investor melihat bahwa daya beli masyarakat Indonesia masih kuat. Penurunan tingkat harga pada kelompok bahan makanan lebih disebabkan oleh berlimpahnya pasokan atau distribusi yang baik.
Lebih lanjut, pesatnya penjualan barang-barang ritel juga meyakinkan investor bahwa daya beli dan konsumsi masyarakat Indonesia masih kuat.
Pada tanggal 11 Februari selepas perdagangan di bursa saham ditutup, Bank Indonesia (BI) merilis Survei Penjualan Eceran periode Januari 2019, menunjukkan bahwa penjualan barang-barang ritel tumbuh sebesar 9,4% YoY pada bulan Januari, jauh di atas capaian periode yang sama tahun lalu yakni pertumbuhan sebesar 3,7% YoY saja.
Lebih lanjut, angka sementara untuk pertumbuhan penjualan barang-barang ritel periode Februari 2019 berada di level 15,8% YoY, juga mengalahkan capaian periode yang sama tahun lalu yang sebesar 9,5% YoY.
Ada kemungkinan bahwa pola konsumsi masyarakat Indonesia mulai bergeser yakni tak lagi bergantung kepada barang-barang impor.
Lantaran daya beli dan konsumsi dipandang masih kuat, saham-saham barang konsumsi terus menjadi buruan investor. Terhitung dalam periode 12-15 Februari, indeks sektor barang konsumsi membukukan penguatan sebesar 1,29%.
TIM RISET CNBC INDONESIA (ank/ank)
Pada awal bulan ini, BPS mengumumkan bahwa pada bulan Februari terjadi deflasi sebesar 0,08% MoM, lebih dalam dibandingkan konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia yakni deflasi sebesar 0,05% MoM. Sementara itu, tingkat inflasi secara tahunan diumumkan di level 2,57%.
Sejatinya, deflasi bisa diinterpretasikan sebagai bukti dari lemahnya daya beli masyarakat Indonesia. Namun, deflasi pada bulan Februari praktis hanya disumbang oleh kelompok bahan makanan yang turun hingga 1,11% MoM. Sementara itu, enam komponen pembentuk inflasi lainnya membukukan kenaikan harga.
Lantas, secara keseluruhan investor melihat bahwa daya beli masyarakat Indonesia masih kuat. Penurunan tingkat harga pada kelompok bahan makanan lebih disebabkan oleh berlimpahnya pasokan atau distribusi yang baik.
Lebih lanjut, pesatnya penjualan barang-barang ritel juga meyakinkan investor bahwa daya beli dan konsumsi masyarakat Indonesia masih kuat.
Pada tanggal 11 Februari selepas perdagangan di bursa saham ditutup, Bank Indonesia (BI) merilis Survei Penjualan Eceran periode Januari 2019, menunjukkan bahwa penjualan barang-barang ritel tumbuh sebesar 9,4% YoY pada bulan Januari, jauh di atas capaian periode yang sama tahun lalu yakni pertumbuhan sebesar 3,7% YoY saja.
Lebih lanjut, angka sementara untuk pertumbuhan penjualan barang-barang ritel periode Februari 2019 berada di level 15,8% YoY, juga mengalahkan capaian periode yang sama tahun lalu yang sebesar 9,5% YoY.
Ada kemungkinan bahwa pola konsumsi masyarakat Indonesia mulai bergeser yakni tak lagi bergantung kepada barang-barang impor.
Lantaran daya beli dan konsumsi dipandang masih kuat, saham-saham barang konsumsi terus menjadi buruan investor. Terhitung dalam periode 12-15 Februari, indeks sektor barang konsumsi membukukan penguatan sebesar 1,29%.
TIM RISET CNBC INDONESIA (ank/ank)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular