Impor Barang Konsumsi Anjlok, Kok Saham Konsumer Menguat?

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
17 March 2019 14:31
Impor Barang Konsumsi Anjlok, Kok Saham Konsumer Menguat?
Foto: ist
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Sektor barang konsumsi membukukan penguatan sebesar 0,35% pada perdagangan hari Jumat (15/3/2019) dan menjadi salah satu motor utama bagi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang ditutup menguat sebesar 0,75%.

Saham-saham barang konsumsi dikoleksi investor pada hari Jumat diantaranya: PT Kalbe Farma Tbk/KLBF (+2,98%), PT Indofood Sukses Makmur Tbk/INDF (+1,41%), PT Gudang Garam Tbk/GGRM (+1.35%), dan PT Ultrajaya Milk Industry & Trading Company Tbk/ULTJ (+0,81%).

Pada hari yang sama, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data perdagangan internasional Indonesia periode Februari 2019, di mana ekspor diketahui terkontraksi 11,33% secara tahunan, lebih dalam dari konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia, yakni kontraksi sebesar 4,26%.

Sementara itu, impor anjlok hingga 13,98% YoY, berbanding terbalik dengan konsensus yang mengekspektasikan kenaikan sebesar 0,4% YoY. Berbicara mengenai impor, terdapat tekanan bagi seluruh golongan pengunaan barang.

Namun, tekanan terbesar ada pada impor barang konsumsi yang anjlok hingga 26,94% YoY, sementara impor bahan baku dan barang modal melemah masing-masing sebesar 15,04% YoY dan 0,8% YoY.

Impor barang konsumsi pada bulan lalu yang senilai US$ 1,01 miliar merupakan yang terendah sejak Februari 2017 silam.


Lemahnya impor barang konsumsi tersebut bisa jadi mengindikasikan lemahnya daya beli masyarakat Indonesia.

Lantas, mengapa saham-saham barang konsumsi masih dikoleksi investor?
Walaupun ada indikasi lemahnya daya beli masyarakat Indonesia yang terungkap dari rendahnya nilai impor barang konsumsi, indikator-indikator lainnya justru menunjukkan hal sebaliknya. Daya beli masyarakat dan konsumsi masyarakat Indonesia masihlah kuat.

Pada awal bulan ini, BPS mengumumkan bahwa pada bulan Februari terjadi deflasi sebesar 0,08% MoM, lebih dalam dibandingkan konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia yakni deflasi sebesar 0,05% MoM. Sementara itu, tingkat inflasi secara tahunan diumumkan di level 2,57%.

Sejatinya, deflasi bisa diinterpretasikan sebagai bukti dari lemahnya daya beli masyarakat Indonesia. Namun, deflasi pada bulan Februari praktis hanya disumbang oleh kelompok bahan makanan yang turun hingga 1,11% MoM. Sementara itu, enam komponen pembentuk inflasi lainnya membukukan kenaikan harga.



Lantas, secara keseluruhan investor melihat bahwa daya beli masyarakat Indonesia masih kuat. Penurunan tingkat harga pada kelompok bahan makanan lebih disebabkan oleh berlimpahnya pasokan atau distribusi yang baik.

Lebih lanjut, pesatnya penjualan barang-barang ritel juga meyakinkan investor bahwa daya beli dan konsumsi masyarakat Indonesia masih kuat.

Pada tanggal 11 Februari selepas perdagangan di bursa saham ditutup, Bank Indonesia (BI) merilis Survei Penjualan Eceran periode Januari 2019, menunjukkan bahwa penjualan barang-barang ritel tumbuh sebesar 9,4% YoY pada bulan Januari, jauh di atas capaian periode yang sama tahun lalu yakni pertumbuhan sebesar 3,7% YoY saja.

Lebih lanjut, angka sementara untuk pertumbuhan penjualan barang-barang ritel periode Februari 2019 berada di level 15,8% YoY, juga mengalahkan capaian periode yang sama tahun lalu yang sebesar 9,5% YoY.

Ada kemungkinan bahwa pola konsumsi masyarakat Indonesia mulai bergeser yakni tak lagi bergantung kepada barang-barang impor.

Lantaran daya beli dan konsumsi dipandang masih kuat, saham-saham barang konsumsi terus menjadi buruan investor. Terhitung dalam periode 12-15 Februari, indeks sektor barang konsumsi membukukan penguatan sebesar 1,29%.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular