Jakarta, CNBC Indonesia - Sepanjang pekan ini, rupiah berhasil membukukan penguatan sebesar 0,35% di pasar
spot, dari Rp 14.305/dolar AS menjadi Rp 14.255/dolar AS. Kinerja rupiah senada dengan mayoritas mata uang negara Asia lainnya yang juga menguat melawan
greenback.
Namun, rupiah berhasil menjadi mata uang dengan kinerja terbaik ketiga.
Tak hanya membukukan penguatan yang terbilang lumayan, prospek pergerakan rupiah ke depannya juga dibuat lebih cerah pada pekan ini.
Sepanjang pekan ini, investor kian yakin bahwa The Federal Reserve selaku bank sentral AS justru akan memangkas tingkat suku bunga acuan pada tahun ini. Hal itu berbeda dengan rencana awal The Fed yakni terus melanjutkan normalisasi.
Ekspektasi pelaku pasar terhadap arah kebijakan suku bunga acuan The Fed bisa dihitung melalui pergerakan harga instrumen Fed Fund futures.
Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak Fed Fund futures per 15 Maret 2019, terdapat peluang sebesar 24,2% bahwa The Fed akan memangkas suku bunga acuan sebesar 25 bps pada tahun ini, jauh lebih tinggi dibandingkan posisi minggu lalu yang sebesar 15,9% saja.
Bahkan, peluang The Fed memangkas suku bunga acuan sebesar 50 bps juga bertambah besar menjadi 3,3%, dari yang sebelumnya 0,9% pada minggu lalu.
Sementara itu, kemungkinan terbesar adalah The Fed menahan tingkat suku bunga acuan sepanjang tahun ini. Probabilitas suku bunga acuan tetap berada di rentang 2,25%-2,5% pada akhir tahun adalah sebesar 72,2%.
Dalam pengambilan keputusannya, The Fed memperhatikan dua indikator utama, yakni inflasi dan pasar tenaga kerja. Berbicara mengenai inflasi, The Fed menggunakan personal consumption expenditures (PCE) price index sebagai ukurannya. Target jangka panjang untuk inflasi adalah 2%.
Untuk periode Desember 2018, PCE price index tumbuh sebesar 1,7% YoY atau masih berada di bawah target The Fed. Dengan melihat data ini, tentu normalisasi suku bunga acuan menjadi sulit untuk dilakukan.
Terkait dengan data tenaga kerja, pada pekan lalu penciptaan lapangan kerja sektor non-pertanian periode Februari diumumkan sebanyak 20.000 saja, sangat jauh di bawah konsensus yang sebanyak 180.000, seperti dilansir dari Forex Factory. Penciptaan lapangan kerja pada bulan lalu merupakan yang terlemah sejak September 2017.
Dengan melihat data inflasi dan tenaga kerja tersebut, menjadi masuk akal jika kita pelaku pasar menaruh harapan yang semakin besar bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan tahun ini.
Ekspektasi atas dipangkasnya suku bunga acuan oleh The Fed bisa menjadi motor penguatan rupiah kedepannya, apalagi jika probabilitasnya bertambah besar. Dari dalam negeri, penguatan rupiah ke depannya berpotensi dimotori juga oleh defisit neraca dagang yang menyempit. Jika ditotal, neraca dagang Indonesia membukukan defisit senilai US$ 734 juta dalam dua bulan pertama tahun ini, lebih rendah dibandingkan defisit pada dua bulan pertama tahun 2018 yang mencapai US$ 809 juta.
Bahkan, pada Februari 2019 neraca dagang Indonesia membukukan surplus senilai US$ 330 juta, walaupun memang surplus tersebut dihasilkan oleh penurunan impor yang lebih dalam daripada penurunan ekspor. Sepanjang bulan lalu, ekspor terkontraksi 11,33% secara tahunan, sementara impor anjlok hingga 13,98% YoY.
Namun, jika berbicara mengenai ruang penguatan rupiah, defisit neraca dagang yang lebih tipis yang pada akhirnya berpotensi menipiskan defisit transaksi berjalan/Current Account Deficit (CAD) memang membuka ruang bagi mata uang Garuda untuk memukul mundur greenback.
Sebagai informasi, sepanjang tahun 2018 CAD tercatat sebesar 2,98% dari PDB, terdalam sejak tahun 2014.
Bagi pergerakan rupiah, pos transaksi berjalan tentulah merupakan hal yang sangat penting lantaran menggambarkan pasokan devisa yang tidak mudah berubah (dari aktivitas ekspor-impor barang dan jasa). Hal itu berbeda dengan pos transaksi modal dan finansial yang bisa cepat berubah karena datang dari aliran modal portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money.
TIM RISET CNBC INDONESIA