Dari Lesu Menjadi Perkasa, Begini Perjuangan Rupiah Hari ini

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
15 March 2019 17:12
Dari Lesu Menjadi Perkasa, Begini Perjuangan Rupiah Hari ini
Ilustrasi Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) berhasil menguat di perdagangan pasar spot hari ini. Sentimen domestik dan eksternal memang mendukung penguatan rupiah. 

Pada Jumat (15/3/2019), US$ 1 setara dengan Rp 14.255 kala penutupan pasar spot. Rupiah menguat 0,05% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya. 

Kala pembukaan pasar, rupiah sudah melemah 0,13%. Penguatan itu semakin tebal karena ekspektasi investor terhadap data perdagangan internasional yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) hari ini. 


Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan neraca perdagangan pada Februari defisit US$ 841 juta. Jika ini kejadian, maka neraca perdagangan Indonesia akan mencatat rekor defisit 5 bulan beruntun. 

Pasar yang mencemaskan prospek transaksi berjalan (current account) kuartal I-2019 perlahan mundur teratur. Maklum, rupiah akan mudah 'digoyang' ketika fondasinya yang bernama transaksi berjalan rapuh.

Namun kecemasan itu tidak terbukti. BPS mengumumkan neraca perdagangan Februari justru surplus US$ 330 juta. Artinya, ada peluang transaksi berjalan pada kuartal I-2019 akan membaik dibandingkan kuartal sebelumnya yang defisit 3,57% dari Produk Domestik Bruto (PDB).


Selepas rilis data ini, rupiah memang masih melemah. Akan tetapi, terlihat bahwa depresiasi rupiah terus menipis dan akhirnya bisa berbalik menguat jelang penutupan pasar. Meredanya kekhawatiran pelaku pasar terhadap prospek transaksi berjalan sepertinya berkontribusi besar terhadap kebangkitan rupiah. 

Berikut pergerakan kurs dolar AS terhadap rupiah sepanjang hari ini: 



 
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Tidak hanya dari dalam negeri, sentimen eksternal juga mendukung penguatan rupiah. Pertama, kebetulan dolar AS juga sedang melemah secara global. Pada pukul 16:49 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama) terkoreksi 0,12%. 

Pemberat langkah dolar AS hari ini adalah penjualan rumah di AS pada Januari 2019 yang turun 6,9% dibandingkan bulan sebelumnya menjadi 607.000 unit. Lebih rendah dibandingkan konsensus pasar yang memperkirakan penjualan di angka 620.000. 


Selain itu, dolar AS juga terbeban oleh data klaim tunjangan pengangguran Negeri Paman Sam yang pada pekan yang berakhir 9 Maret tercatat 229.000. Naik 6.000 dibandingkan sepekan sebelumnya. 

Data-data tersebut memberi sinyal bahwa Negeri Adidaya juga mengalami perlambatan ekonomi. Saat ekonomi melambat, artinya tekanan inflasi menjadi minim sehingga belum ada kebutuhan bagi The Federal Reserves/The Fed untuk menaikkan suku bunga acuan. 

Kedua, ada perkembangan positif dari China terkait hubungannya dengan AS. Dalam pidato di sidang tahunan parlemen China, Perdana Menteri Li Keqiang menegaskan pemerintah akan menerapkan aturan baru mengenai investasi. 

Dalam aturan tersebut, China berkomitmen untuk melindungi investasi (termasuk asing) dan tidak akan mewajibkan transfer teknologi. Proses dan pelaksanaan investasi akan dibuat transparan sehingga menciptakan iklim yang nyaman bagi dunia usaha. Aturan ini sudah disahkan oleh parlemen dan mulai berlaku pada 1 Januari 2020. 

Isu mengenai pemaksaan transfer teknologi ini sering dikeluhkan oleh Presiden AS Donald Trump. Bahkan Trump menyebutnya sebagai pelanggaran atas hak kekayaan intelektual. 

Dengan aturan baru ini, China seperti berusaha meyakinkan AS dan dunia bahwa reformasi ekonomi di Negeri Tirai Bambu terus berjalan. China berjanji akan lebih membuka perekonomiannya kepada dunia. 

"Tidak ada alasan China tidak mau terbuka, ini adalah kebijakan mendasar. Jika kita memiliki aturan mengenai keterbukaan, maka pasti akan dijalankan," tegas Li, mengutip Reuters. 

Jacob Parker, Wakil Presiden US-China Business Council, mengapresiasi langkah Beijing tersebut. "Aturan ini akan menjatuhkan hukuman pidana terhadap penyebaran informasi sensitif milik perusahaan asing, menindak tegas pemalsuan, dan melarang pencurian hak atas kekayaan intelektual," kata Parker, juga mengutip Reuters. 

Aturan ini bisa menjadi jalan menuju damai dagang AS-China, sesuatu yang menjadi harapan dunia. Ketika AS-China sudah tidak lagi saling hambat, maka arus perdagangan dan rantai pasok global akan kembali semarak. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Rupiah pun berhasil bergabung dengan mayoritas mata uang Asia yang juga menguat terhadap dolar AS. Hanya peso Filipina yang masih terbenam di zona merah. 

Peso memang kurang beruntung akhir-akhir ini, terutama setelah dipilihnya Benjamin Diokno sebagai Gubernur Bank Sentral Filipina (BSP) oleh Presiden Rodrigo Duterte. Pengganti almarhum Nestor Espenilla itu menyatakan ruang untuk menurunkan suku bunga acuan cukup terbuka. 

"Ada ruang untuk pelonggaran moneter. Bisa sampai 1 poin persentase di setiap kuartal untuk 4 kuartal ke depan. Kami akan tetap melihat data," ungkap Diokno terang-terangan, seperti dikutip dari Reuters. 

Namun konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan Diokno belum menurunkan suku bunga acuan pekan depan, masih bertahan di 4,75%. BSP masih perlu memastikan laju inflasi sudah di bawah 4% sebelum menurunkan suku bunga acuan overnight reverse repurchase

Pada Februari, laju inflasi Filipina adalah 3,8% year-on-year (YoY). Sudah masuk di rentang target BSP yaitu 2-4%, tetapi masih di batas atas. 

Namun jika inflasi Filipina bisa dijaga dalam rentang BSP selama beberapa bulan, maka bisa jadi Diokno akan mewujudnya perkataannya. Apalagi Presiden Duterte punya target pertumbuhan ekonomi 7-8% tahun ini, yang tentu membutuhkan dukungan dari sisi suku bunga. 

Melihat potensi penurunan suku bunga acuan, peso menjadi tertekan. Bahkan hari ini menjadi satu-satunya mata uang Asia yang melemah di hadapan dolar AS. 

Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 16:47 WIB:   




TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular