
Neraca Dagang Surplus, IHSG Melenggang di Zona Hijau
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
15 March 2019 09:53

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dibuka menguat 0,11% ke level 6.420,18. Pada pukul 9:40 WIB, IHSG telah memperlebar penguatannya menjadi 0,59% ke level 6.451,13.
Kinerja IHSG senada dengan mayoritas bursa saham utama kawasan Asia yang juga ditransaksikan di zona hijau: indeks Nikkei naik 0,94%, indeks Shanghai 1,23%, indeks Hang Seng naik 0,34%, indeks Straits Times naik 0,3%, dan indeks Kospi naik 0,17%.
Perkembangan terkait proses Brexit yang kondusif berhasil memantik aksi beli di bursa saham Benua Kuning. Kemarin (14/3/2019) waktu setempat, parlemen sepakat untuk memundurkan tanggal resmi Brexit yang saat ini dijadwalkan pada 29 Maret. Sebanyak 412 anggota parlemen mendukung opsi tersebut, sementara sebanyak 202 menolak.
Jika kesepakatan Brexit yang diajukan May bisa diloloskan di parlemen sebelum 20 Maret, maka Perdana Menteri Inggris Theresa May akan meminta Uni Eropa untuk memundurkan tanggal resmi Brexit menjadi 30 Juni.
Namun jika tak ada kesepakatan hingga 20 Maret, May mengatakan bahwa dirinya akan meminta perpanjangan waktu yang lebih lama.
Dengan hasil pemungutan suara tersebut, kemungkinan bahwa Inggris akan meninggalkan Uni Eropa secara mulus menjadi lebih besar. Apalagi, sebelumnya Presiden Dewan Eropa Donald Tusk mengatakan bahwa dirinya akan meminta kepada 27 negara anggota Uni Eropa lainnya untuk membuka pintu untuk perpanjangan waktu yang lama bagi Inggris.
"Dalam kunjungan saya menjelang EUCO (European Convention), saya akan meminta kepada 27 negara Uni Eropa untuk membuka diri terhadap perpanjangan yang lama jika Inggris merasa perlu untuk memikirkan kembali strategi Brexit-nya dan menciptakan konsensus," cuit Tusk melalui akun Twitter @eucopresident. Neraca dagang Indonesia yang secara mengejutkan mencatatkan surplus membuat investor kian gencar melakukan aksi beli di pasar saham tanah air. Beberapa saat yang lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa ekspor periode Februari 2019 terkontraksi 11,33% secara tahunan, lebih dalam dari konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yakni kontraksi sebesar 4,26%.
Impor diumumkan anjlok hingga 13,98% YoY, berbanding terbalik dengan konsensus yang mengekspektasikan kenaikan sebesar 0,4% YoY. Alhasil, neraca dagang membukukan surplus senilai US$ 330 juta, jauh lebih baik dari ekspektasi yakni defisit senilai US$ 841 juta.
Dengan neraca dagang yang justru membukukan surplus, ada harapan bahwa defisit transaksi berjalan/Current Account Deficit (CAD) bisa ditekan kedepannya. Sebagai informasi, sepanjang kuartal-IV 2018, CAD Indonesia tercatat senilai US$ 9,1 miliar atau 3,57% dari PDB, naik dari capaian kuartal-III 2018 yang sebesar 3,37% dari PDB. CAD pada kuartal-IV 2018 merupakan yang terparah sejak kuartal-II 2014.
Dengan begitu, ada optimisme bahwa rupiah bisa membukukan penguatan melawan dolar AS. Wajar jika instrumen berbasis rupiah seperti saham diburu oleh investor pada hari ini. Di sisi lain, perkembangan negosiasi dagang AS-China yang kurang kondusif membatasi aksi beli yang dilakukan investor. Tiga orang sumber mengatakan bahwa pertemuan antara Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping batal dilakukan akhir bulan ini, seperti dilansir dari Bloomberg.
Menurut salah seorang dari sumber tersebut, kalau jadi digelar pun, pertemuan antara Trump dan Xi baru akan terjadi pada akhir bulan April.
Mundurnya pertemuan antara Trump dan Xi tersebut mengindikasikan bahwa negosiasi dagang kedua negara berjalan dengan alot. Memang, Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer belum lama ini mengatakan bahwa isu-isu krusial belum mampu dipecahkan. Salah satu isu krusial yang dimaksud adalah terkait dengan perlindungan hak kekayaan intelektual.
Kemudian, Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin juga mengungkapkan bahwa masih ada banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.
"Kami bekerja keras untuk mencapai kesepakatan secepat mungkin. Ada dokumen lebih dari 150 halaman yang sedang kami kerjakan. Masih banyak pekerjaan, tetapi kami senang dengan perkembangan yang terjadi sampai saat ini," kata Mnuchin, mengutip Reuters.
Jika kedua negara tak kunjung mencapai kesepakatan, maka perang dagang antar keduanya justru akan tereskalasi. Balas membalas bea masuk akan semakin parah dan dipastikan semakin menekan laju perekonomian masing-masing.
Sejauh ini, perang dagang yang berkecamuk terlihat jelas sudah menyakiti perekonomian masing-masing. Di China misalnya, sepanjang Januari-Februari 2019 produksi industri tercatat hanya tumbuh sebesar 5,3% YoY, lebih rendah dari konsensus yang sebesar 5,5%, seperti dilansir dari Trading Economics. Pertumbuhan tersebut menjadi yang terlambat dalam 17 tahun, seperti dilansir dari CNBC International.
Lemahnya produksi industri lantas kian memberi indikasi bahwa perekonomian China akan mengalami hard landing pada tahun ini. Jika perang dagang justru tereskalasi, perekonomian China akan semakin merana.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/ank) Next Article Jelang Musim Laporan Keuangan, Ini Emiten Yang Mulai Diborong
Kinerja IHSG senada dengan mayoritas bursa saham utama kawasan Asia yang juga ditransaksikan di zona hijau: indeks Nikkei naik 0,94%, indeks Shanghai 1,23%, indeks Hang Seng naik 0,34%, indeks Straits Times naik 0,3%, dan indeks Kospi naik 0,17%.
Perkembangan terkait proses Brexit yang kondusif berhasil memantik aksi beli di bursa saham Benua Kuning. Kemarin (14/3/2019) waktu setempat, parlemen sepakat untuk memundurkan tanggal resmi Brexit yang saat ini dijadwalkan pada 29 Maret. Sebanyak 412 anggota parlemen mendukung opsi tersebut, sementara sebanyak 202 menolak.
Namun jika tak ada kesepakatan hingga 20 Maret, May mengatakan bahwa dirinya akan meminta perpanjangan waktu yang lebih lama.
Dengan hasil pemungutan suara tersebut, kemungkinan bahwa Inggris akan meninggalkan Uni Eropa secara mulus menjadi lebih besar. Apalagi, sebelumnya Presiden Dewan Eropa Donald Tusk mengatakan bahwa dirinya akan meminta kepada 27 negara anggota Uni Eropa lainnya untuk membuka pintu untuk perpanjangan waktu yang lama bagi Inggris.
"Dalam kunjungan saya menjelang EUCO (European Convention), saya akan meminta kepada 27 negara Uni Eropa untuk membuka diri terhadap perpanjangan yang lama jika Inggris merasa perlu untuk memikirkan kembali strategi Brexit-nya dan menciptakan konsensus," cuit Tusk melalui akun Twitter @eucopresident. Neraca dagang Indonesia yang secara mengejutkan mencatatkan surplus membuat investor kian gencar melakukan aksi beli di pasar saham tanah air. Beberapa saat yang lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa ekspor periode Februari 2019 terkontraksi 11,33% secara tahunan, lebih dalam dari konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yakni kontraksi sebesar 4,26%.
Impor diumumkan anjlok hingga 13,98% YoY, berbanding terbalik dengan konsensus yang mengekspektasikan kenaikan sebesar 0,4% YoY. Alhasil, neraca dagang membukukan surplus senilai US$ 330 juta, jauh lebih baik dari ekspektasi yakni defisit senilai US$ 841 juta.
Dengan neraca dagang yang justru membukukan surplus, ada harapan bahwa defisit transaksi berjalan/Current Account Deficit (CAD) bisa ditekan kedepannya. Sebagai informasi, sepanjang kuartal-IV 2018, CAD Indonesia tercatat senilai US$ 9,1 miliar atau 3,57% dari PDB, naik dari capaian kuartal-III 2018 yang sebesar 3,37% dari PDB. CAD pada kuartal-IV 2018 merupakan yang terparah sejak kuartal-II 2014.
Dengan begitu, ada optimisme bahwa rupiah bisa membukukan penguatan melawan dolar AS. Wajar jika instrumen berbasis rupiah seperti saham diburu oleh investor pada hari ini. Di sisi lain, perkembangan negosiasi dagang AS-China yang kurang kondusif membatasi aksi beli yang dilakukan investor. Tiga orang sumber mengatakan bahwa pertemuan antara Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping batal dilakukan akhir bulan ini, seperti dilansir dari Bloomberg.
Menurut salah seorang dari sumber tersebut, kalau jadi digelar pun, pertemuan antara Trump dan Xi baru akan terjadi pada akhir bulan April.
Mundurnya pertemuan antara Trump dan Xi tersebut mengindikasikan bahwa negosiasi dagang kedua negara berjalan dengan alot. Memang, Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer belum lama ini mengatakan bahwa isu-isu krusial belum mampu dipecahkan. Salah satu isu krusial yang dimaksud adalah terkait dengan perlindungan hak kekayaan intelektual.
Kemudian, Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin juga mengungkapkan bahwa masih ada banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.
"Kami bekerja keras untuk mencapai kesepakatan secepat mungkin. Ada dokumen lebih dari 150 halaman yang sedang kami kerjakan. Masih banyak pekerjaan, tetapi kami senang dengan perkembangan yang terjadi sampai saat ini," kata Mnuchin, mengutip Reuters.
Jika kedua negara tak kunjung mencapai kesepakatan, maka perang dagang antar keduanya justru akan tereskalasi. Balas membalas bea masuk akan semakin parah dan dipastikan semakin menekan laju perekonomian masing-masing.
Sejauh ini, perang dagang yang berkecamuk terlihat jelas sudah menyakiti perekonomian masing-masing. Di China misalnya, sepanjang Januari-Februari 2019 produksi industri tercatat hanya tumbuh sebesar 5,3% YoY, lebih rendah dari konsensus yang sebesar 5,5%, seperti dilansir dari Trading Economics. Pertumbuhan tersebut menjadi yang terlambat dalam 17 tahun, seperti dilansir dari CNBC International.
Lemahnya produksi industri lantas kian memberi indikasi bahwa perekonomian China akan mengalami hard landing pada tahun ini. Jika perang dagang justru tereskalasi, perekonomian China akan semakin merana.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/ank) Next Article Jelang Musim Laporan Keuangan, Ini Emiten Yang Mulai Diborong
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular