
China Jadi Beban, IHSG Cuma Bisa Naik Tipis di Sesi I
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
14 March 2019 12:53

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengakhiri perdagangan sesi 1 dengan penguatan tipis 0,15% ke level 6.387,15.
Saham-saham yang berkontribusi signifikan terhadap kenaikan IHSG adalah: PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk/INKP (+8,94%), PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (+2,6%), PT Astra International Tbk/ASII (+1,06%), PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk/TKIM (+5,34%), dan PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk/CPIN (+1,03%).
Penguatan IHSG yang tipis tersebut sejaitnya patut disyukuri. Pasalnya, mayoritas bursa saham utama kawasan Asia justru ditransaksikan di zona merah: indeks Shanghai turun 1,09%, indeks Hang Seng turun 0,03%, indeks Straits Times turun 0,18%, dan indeks Kospi turun 0,06%.
Data ekonomi China yang dirilis pada hari ini memantik aksi jual di bursa saham Benua Kuning. Memang, investasi riil periode Januari-Februari 2019 diumumkan tumbuh 6,1% jika dibandingkan dengan capaian periode yang sama tahun lalu, seperti dilansir dari Trading Economics. Pertumbuhan tersebut lebih tinggi dari konsensus yang sebesar 6%.
Kemudian, penjualan barang-barang ritel periode Januari-Februari 2019 tumbuh sebesar 8,2% YoY, di atas konsensus yang sebesar 8,1% YoY.
Namun, data yang menjadi masalah adalah produksi industri. Sepanjang Januari-Februari 2019, produksi industri di Negeri Panda tercatat hanya tumbuh sebesar 5,3% YoY, lebih rendah dari konsensus yang sebesar 5,5%. Pertumbuhan tersebut menjadi yang terlambat dalam 17 tahun, seperti dilansir dari CNBC International.
Lemahnya produksi industri memberi indikasi bahwa perekonomian China akan mengalami hard landing pada tahun ini. Rilis data ekonomi pada hari-hari sebelumnya memang sudah mengindikasikan hal tersebut.
Belum lama ini, ekspor China periode Februari 2019 diumumkan terkontraksi sebesar 20,7% secara tahunan, jauh lebih dalam dibandingkan konsensus yang hanya memperkirakan penurunan sebesar 4,8% YoY, seperti dilansir dari Trading Economics. Sementara itu, impor turun hingga 5,2%, juga lebih dalam dari ekspektasi yakni penurunan sebesar 1,4%.
Kemudian, penjualan mobil sepanjang bulan Februari diumumkan anjlok hingga 13,8% secara tahunan, seperti dilansir dari Trading Economics. Penurunan tersebut merupakan yang kedelapan secara berturut-turut.
Mengingat China merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar kedua di dunia, tentulah tekanan bagi perekonomian China akan mempengaruhi perekonomian dunia.
NEXT >>>>
Di sisi lain, sentimen positif datang dari perkembangan terkait dengan perceraian Inggris-Uni Eropa (Brexit) yang kondusif.
Kemarin (13/3/2019) waktu setempat, parlemen Inggris menolak opsi No-Deal Brexit. Dalam pemungutan suara, sebanyak 321 anggota parlemen menolak opsi perpisahan secara kasar tersebut, sementara sebanyak 278 memberikan dukungannya.
Pada perdagangan kemarin, pelaku pasar saham kawasan Asia dibuat bermain defensif sembari menantikan hasil pemungutan suara tersebut. Hal ini sejatinya wajar. No-Deal Brexit akan membuat aktivitas ekspor-impor Inggris menjadi tertekan lantaran akan terkena tarif yang lebih mahal.
Mengingat Inggris merupakan salah satu negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia, tentulah tekanan bagi perekonomian Inggris akan mempengaruhi perekonomian dunia.
Memang, ada langkah proaktif yang diambil oleh pemerintah Inggris seandainya No-Deal Brexit terjadi. Melalui kebijakan yang diumumkan kemarin dengan nama “Temporary Tariff Regime”, Inggris tak akan mengenakan bea masuk untuk mayoritas barang yang masuk ke negaranya jika No-Deal Brexit terjadi.
Hal ini dilakukan guna melindungi pebisnis dan konsumen dari lonjakan harga yang begitu tinggi. Melalui kebijakan ini, sebanyak 87% dari barang yang diimpor oleh Inggris (berdasarkan nilainya) akan mendapatkan akses bea masuk 0%.
Namun, seperti yang diimplikasikan oleh namanya, kebijakan ini bersifat temporer yakni selama 12 bulan saja.
Pada hari ini waktu setempat, parlemen Inggris akan kembali melakukan pemungutan suara untuk opsi memundurkan tanggal resmi Brexit yang saat ini dijadwalkan pada 29 Maret. Aksi ambil untung atas saham-saham barang konsumsi membuat penguatan IHSG menjadi sangat terbatas. Hingga akhir sesi 1, indeks sektor barang konsumsi melemah 0,78%, menjadikannya sektor dengan kontribusi negatif terbesar bagi IHSG.
Maklum jika aksi ambil untung dilakukan oleh investor. Pasalnya, indeks sektor barang konsumsi telah melejit 1,46% dalam 2 hari perdagangan terakhir. Pesatnya penjualan barang-barang ritel di dalam negeri memantik aksi beli atas saham-saham barang konsumsi dalam 2 hari perdagangan terakhir.
Pada hari Senin (11/3/2019) selepas perdagangan ditutup, Bank Indonesia (BI) merilis Survei Penjualan Eceran periode Januari 2019, menunjukkan bahwa penjualan barang-barang ritel tumbuh sebesar 9,4% YoY pada bulan Januari, jauh di atas capaian periode yang sama tahun lalu yakni pertumbuhan sebesar 3,7% YoY saja.
Lebih lanjut, angka sementara untuk pertumbuhan penjualan barang-barang ritel periode Februari 2019 berada di level 15,8% YoY, juga mengalahkan capaian periode yang sama tahun lalu yang sebesar 9,5% YoY.
Kini, seiring dengan keuntungan yang sudah cukup tinggi, aksi ambil untung pun dilakukan oleh investor.
Saham-saham barang konsumsi yang terkena aksi ambil untung diantaranya: PT HM Sampoerna Tbk/HMSP (-1,56%), PT Unilever Indonesia Tbk/UNVR (-0,6%), dan PT Mayora Indah Tbk/MYOR (-0,38%).
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/dru) Next Article Jelang Musim Laporan Keuangan, Ini Emiten Yang Mulai Diborong
Saham-saham yang berkontribusi signifikan terhadap kenaikan IHSG adalah: PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk/INKP (+8,94%), PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (+2,6%), PT Astra International Tbk/ASII (+1,06%), PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk/TKIM (+5,34%), dan PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk/CPIN (+1,03%).
Penguatan IHSG yang tipis tersebut sejaitnya patut disyukuri. Pasalnya, mayoritas bursa saham utama kawasan Asia justru ditransaksikan di zona merah: indeks Shanghai turun 1,09%, indeks Hang Seng turun 0,03%, indeks Straits Times turun 0,18%, dan indeks Kospi turun 0,06%.
Kemudian, penjualan barang-barang ritel periode Januari-Februari 2019 tumbuh sebesar 8,2% YoY, di atas konsensus yang sebesar 8,1% YoY.
Namun, data yang menjadi masalah adalah produksi industri. Sepanjang Januari-Februari 2019, produksi industri di Negeri Panda tercatat hanya tumbuh sebesar 5,3% YoY, lebih rendah dari konsensus yang sebesar 5,5%. Pertumbuhan tersebut menjadi yang terlambat dalam 17 tahun, seperti dilansir dari CNBC International.
Lemahnya produksi industri memberi indikasi bahwa perekonomian China akan mengalami hard landing pada tahun ini. Rilis data ekonomi pada hari-hari sebelumnya memang sudah mengindikasikan hal tersebut.
Belum lama ini, ekspor China periode Februari 2019 diumumkan terkontraksi sebesar 20,7% secara tahunan, jauh lebih dalam dibandingkan konsensus yang hanya memperkirakan penurunan sebesar 4,8% YoY, seperti dilansir dari Trading Economics. Sementara itu, impor turun hingga 5,2%, juga lebih dalam dari ekspektasi yakni penurunan sebesar 1,4%.
Kemudian, penjualan mobil sepanjang bulan Februari diumumkan anjlok hingga 13,8% secara tahunan, seperti dilansir dari Trading Economics. Penurunan tersebut merupakan yang kedelapan secara berturut-turut.
Mengingat China merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar kedua di dunia, tentulah tekanan bagi perekonomian China akan mempengaruhi perekonomian dunia.
NEXT >>>>
Di sisi lain, sentimen positif datang dari perkembangan terkait dengan perceraian Inggris-Uni Eropa (Brexit) yang kondusif.
Kemarin (13/3/2019) waktu setempat, parlemen Inggris menolak opsi No-Deal Brexit. Dalam pemungutan suara, sebanyak 321 anggota parlemen menolak opsi perpisahan secara kasar tersebut, sementara sebanyak 278 memberikan dukungannya.
Pada perdagangan kemarin, pelaku pasar saham kawasan Asia dibuat bermain defensif sembari menantikan hasil pemungutan suara tersebut. Hal ini sejatinya wajar. No-Deal Brexit akan membuat aktivitas ekspor-impor Inggris menjadi tertekan lantaran akan terkena tarif yang lebih mahal.
Mengingat Inggris merupakan salah satu negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia, tentulah tekanan bagi perekonomian Inggris akan mempengaruhi perekonomian dunia.
Memang, ada langkah proaktif yang diambil oleh pemerintah Inggris seandainya No-Deal Brexit terjadi. Melalui kebijakan yang diumumkan kemarin dengan nama “Temporary Tariff Regime”, Inggris tak akan mengenakan bea masuk untuk mayoritas barang yang masuk ke negaranya jika No-Deal Brexit terjadi.
Hal ini dilakukan guna melindungi pebisnis dan konsumen dari lonjakan harga yang begitu tinggi. Melalui kebijakan ini, sebanyak 87% dari barang yang diimpor oleh Inggris (berdasarkan nilainya) akan mendapatkan akses bea masuk 0%.
Namun, seperti yang diimplikasikan oleh namanya, kebijakan ini bersifat temporer yakni selama 12 bulan saja.
Pada hari ini waktu setempat, parlemen Inggris akan kembali melakukan pemungutan suara untuk opsi memundurkan tanggal resmi Brexit yang saat ini dijadwalkan pada 29 Maret. Aksi ambil untung atas saham-saham barang konsumsi membuat penguatan IHSG menjadi sangat terbatas. Hingga akhir sesi 1, indeks sektor barang konsumsi melemah 0,78%, menjadikannya sektor dengan kontribusi negatif terbesar bagi IHSG.
Maklum jika aksi ambil untung dilakukan oleh investor. Pasalnya, indeks sektor barang konsumsi telah melejit 1,46% dalam 2 hari perdagangan terakhir. Pesatnya penjualan barang-barang ritel di dalam negeri memantik aksi beli atas saham-saham barang konsumsi dalam 2 hari perdagangan terakhir.
Pada hari Senin (11/3/2019) selepas perdagangan ditutup, Bank Indonesia (BI) merilis Survei Penjualan Eceran periode Januari 2019, menunjukkan bahwa penjualan barang-barang ritel tumbuh sebesar 9,4% YoY pada bulan Januari, jauh di atas capaian periode yang sama tahun lalu yakni pertumbuhan sebesar 3,7% YoY saja.
Lebih lanjut, angka sementara untuk pertumbuhan penjualan barang-barang ritel periode Februari 2019 berada di level 15,8% YoY, juga mengalahkan capaian periode yang sama tahun lalu yang sebesar 9,5% YoY.
Kini, seiring dengan keuntungan yang sudah cukup tinggi, aksi ambil untung pun dilakukan oleh investor.
Saham-saham barang konsumsi yang terkena aksi ambil untung diantaranya: PT HM Sampoerna Tbk/HMSP (-1,56%), PT Unilever Indonesia Tbk/UNVR (-0,6%), dan PT Mayora Indah Tbk/MYOR (-0,38%).
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/dru) Next Article Jelang Musim Laporan Keuangan, Ini Emiten Yang Mulai Diborong
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular