Rupiah Loyo di 4 Benua, Jadi Raja di Australia dan Sekitarnya

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
13 March 2019 14:48
Rupiah Loyo di 4 Benua, Jadi Raja di Australia dan Sekitarnya
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masih melemah di perdagangan pasar spot hari ini. Namun derita rupiah tidak selesai sampai di situ. 

Pada Rabu (13/3/2019) pukul 14:00 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 14.275. Rupiah melemah 0,11% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya. 


Tidak cuma melawan dolar AS, rupiah juga kalah melawan mata uang utama Benua Merah lainnya. Berikut perkembangan nilai tukar mata uang utama  Benua Amerika terhadap rupiah pada pukul 14:15 WIB: 

 

Bagaimana dengan di kandang sendiri, Benua Asia? Kurang lebih sama. 

Rupiah melemah terhadap hampir seluruh mata uang. Hanya terhadap won Korea Selatan rupiah mampu menguat. Sementara di hadapan yen Jepang sampai peso Filipina, rupiah tidak berdaya. 

Berikut perkembangan nilai tukar mata uang utama Asia terhadap rupiah pada pukul 14:20 WIB: 



Beralih ke tetangga terdekat, Benua Eropa, apakah kinerja rupiah lebih baik? Lebih parah iya. 

Di hadapan seluruh mata uang utama Benua Biru, rupiah sama sekali tidak bisa berbuat banyak. Bahkan melawan poundsterling yang sedang tertekan karena Brexit pun rupiah kalah. 


Berikut perkembangan nilai tukar mata uang utama Eropa terhadap rupiah pada pukul 14:23 WIB: 

 

Sementara di Benua Afrika, rupiah juga melemah tipis 0,01% terhadap rand Afrika Selatan. Lalu melawan naira Nigeria, rupiah juga melemah tipis 0,04%. 

Kemudian kita ke Benua Australia dan Kawasan Oseania. Di sini performa rupiah membaik, karena mampu menguat 0,34% terhadap dolar Australia dan 0,35% di hadapan dolar Selandia Baru. Setidaknya benua ini masih bisa ditaklukkan oleh rupiah. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Apa yang membuat rupiah melemah terhadap mayoritas mata uang utama dunia. Mungkin jawabannya adalah terkait transaksi berjalan (current account). 

Badan Pusat Statistik (BPS) dijadwalkan merilis data perdagangan internasional periode Februari. Konsensus sementara yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor terkontraksi alias negatif 4,08% year-on-year (YoY), impor tumbuh 2,7% YoY, dan neraca perdagangan defisit US$ 841 juta. 

Jika kejadian, maka neraca perdagangan Indonesia akan mencatat defisit selama 2 bulan beruntun. Pada Januari, neraca perdagangan minus US$ 1,16 miliar. 

Artinya, prospek transaksi berjalan (current account) kuartal I-2019 bakal suram. Defisit transaksi berjalan masih akan lumayan dalam, dan itu akan mengancam rupiah.  

Sebab, transaksi berjalan yang mencerminkan pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa merupakan fondasi penting untuk menyangga rupiah. Apabila transaksi berjalan defisit, apalagi lumayan dalam, fondasi itu akan rapu dan rupiah akan terus dihantui risiko pelemahan. 

Risiko tekanan terhadap transaksi berjalan juga meningkat akibat kenaikan harga minyak. Pada pukul 14:32 WIB, harga minyak jenis brent dan light sweet naik masing-masing 0,45% dan 0,67%. 


Kenaikan harga minyak bukan berita baik buat rupiah. Indonesia adalah negara net importir minyak, mau tidak mau harus mengimpor karena produksi dalam negeri yang belum memadai.  

Saat harga minyak naik, maka biaya impornya semakin mahal. Semakin banyak devisa yang 'terbakar' untuk mengimpor minyak, sehingga membuat defisit transaksi berjalan berpotensi melebar atau semakin dalam. 

Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, transaksi berjalan adalah fondasi penting bagi stabilitas nilai tukar. Tanpa transaksi berjalan yang kuat, rupiah akan rawan terdepresiasi. 

Investor bisa saja menjadi enggan untuk mengoleksi aset berbasis rupiah, karena khawatir nilainya akan turun pada kemudian hari. Risiko aksi jual akan terus membayangi rupiah jika masalah di transaksi berjalan tidak kunjung dipecahkan. 


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular