Tak Ada Chicken Dinner Buat Rupiah Hari Ini?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
13 March 2019 12:34
Tak Ada <i>Chicken Dinner</i> Buat Rupiah Hari Ini?
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang dibuka menguat berbalik melemah di perdagangan pasar spot hari ini. Rupiah tidak mampu menahan gempuran sentimen negatif yang berjubel.

Pada Rabu (13/3/2019) pukul 12:00 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.275. Rupiah melemah 0,11% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.

Kala pembukaan pasar, rupiah masih menguat 0,14%. Selepas itu, apresiasi rupiah tergerus, habis, dan akhirnya melemah.


Rupiah pun sepertinya batal meneruskan penguatan yang terjadi selama 2 hari sebelumnya. Rasanya tidak ada chicken dinner bagi rupiah hari ini.



Tidak cuma rupiah, mayoritas mata uang utama Asia yang awalnya menguat juga berbalik loyo di hadapan dolar AS. Tinggal yen Jepang dan peso Filipina yang bertahan di zona hijau.

Won Korea Selatan menjadi mata uang terlemah di Asia. Disusul oleh ringgit Malaysia dan rupee India. Rupiah menjadi mata uang terlemah keempat di Benua Kuning.

Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 12:09 WIB:



(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Entah mau mulai dari mana, yang jelas begitu banyak sentimen negatif yang mendera rupiah. Kita mulai dari dalam negeri.

Rupiah yang sudah menguat dalam 2 hari terakhir sedikit banyak memancing minat investor untuk melakukan ambil untung. Dalam 2 hari tersebut, rupiah menguat 0,31%. Sebenarnya tidak terlalu besar, tetapi cukup untuk dijadikan alasan kala ada pemicunya.

Masih dari dalam negeri, Badan Pusat Statistik (BPS) dijadwalkan merilis data perdagangan internasional periode Februari. Konsensus sementara yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor terkontraksi alias negatif 4,08% year-on-year (YoY), impor tumbuh 2,7% YoY, dan neraca perdagangan defisit US$ 841 juta.

Jika kejadian, maka neraca perdagangan Indonesia akan mencatat defisit selama 2 bulan beruntun. Pada Januari, neraca perdagangan minus US$ 1,16 miliar.

Artinya, prospek transaksi berjalan (current account) kuartal I-2019 bakal suram. Defisit transaksi berjalan masih akan lumayan dalam, dan itu akan mengancam rupiah.

Sebab, transaksi berjalan yang mencerminkan pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa merupakan fondasi penting untuk menyangga rupiah. Apabila transaksi berjalan defisit, apalagi lumayan dalam, fondasi itu akan rapu dan rupiah akan terus dihantui risiko pelemahan.


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Kemudian dari sisi eksternal, Investor mulai berpihak kepada dolar AS setelah rilis data ekonomi terbaru di Jepang. Pada Januari, pemesanan mesin inti (di luar kapal dan alat-alat listrik) turun 5,4% secara month-on-month (MoM) juga turun 2,9% secara YoY. Penurunan secara MoM pada Januari merupakan yang terdalam sejak September 2018.

Data ini menunjukkan bahwa perekonomian Negeri Matahari Terbit masih terengah-engah. Belum ada geliat yang berarti, dunia usaha masih enggan melakukan ekspansi.

Artinya, jalan Bank Sentral Jepang (BoJ) menuju pengetatan moneter masih amat sangat panjang sekali. Sepertinya Jepang terpaksa masih berkutat dengan kebijakan moneter longgar untuk menstimulasi perekonomian. Bagi Haruhiko Kuroda dan kolega, bermimpi menaikkan suku bunga acuan pun mungkin belum berani.

Sementara Bank Sentral AS (The Federal Reserves/The Fed) masih lebih mungkin untuk menaikkan suku bunga acuan, meski tidak dalam waktu dekat. Dotplot The Fed masih belum diubah, target suku bunga acuan pada akhir 2019 masih di median 2,8%. Dengan Federal Funds Rate yang sekarang di median 2,375%, butuh setidaknya dua kali kenaikan lagi untuk mencapai target tersebut.

Ini membuat dolar AS menjadi lebih menarik, setidaknya di hadapan yen. Arus modal pun kembali menyemut di sekitar mata uang Negeri Paman Sam sehingga nilainya menguat.

Selain itu, pelaku pasar juga sepertinya mulai grogi melihat perkembangan di Inggris. Lagi-lagi proposal Brexit yang diajukan Perdana Menteri Inggris Theresa May kandas di voting parlemen dengan skor 391 menolak, 242 setuju. Proposal pertama sudah ditolak dalam voting 15 Januari dengan skor 432 berbanding 202.

Hasil voting ini menyisakan pilihan sulit buat Negeri Ratu Elizabeth. Keluar dari Uni Eropa tanpa kompensasi apa-apa (No Deal Brexit), menunda pelaksanaan Brexit yang sedianya dieksekusi pada 29 Maret, pemilu yang dipercepat dengan posisi May sebagai taruhannya, atau menggelar jajak pendapat ulang kepada warga Inggris apakah masih mau bercerai dengan Uni Eropa atau tidak.

Nasib Brexit yang masih samar-samar bisa membuat pelaku pasar bermain aman hari ini. Ada potensi menghindari aset-aset berisiko, sehingga menjadi sentimen negatif bagi pasar keuangan Asia. Tidak terkecuali Indonesia.

Ada satu lagi sentimen eksternal yang membebani rupiah, yaitu harga minyak. Pada pukul 12:21 WIB, harga minyak jenis brent dan light sweet naik masing-masing 0,34% dan 0,58%.

Sayangnya, kenaikan harga minyak bukan berita baik buat rupiah. Indonesia adalah negara net importir minyak, mau tidak mau harus mengimpor karena produksi dalam negeri yang belum memadai.

Saat harga minyak naik, maka biaya impornya semakin mahal. Semakin banyak devisa yang ‘terbakar’ untuk mengimpor minyak, sehingga membuat defisit transaksi berjalan berpotensi melebar atau semakin dalam.

Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, transaksi berjalan adalah fondasi penting bagi stabilitas nilai tukar. Tanpa transaksi berjalan yang kuat, rupiah akan rawan terdepresiasi.

Investor bisa saja menjadi enggan untuk mengoleksi aset berbasis rupiah, karena khawatir nilainya akan turun pada kemudian hari. Risiko aksi jual akan terus membayangi rupiah jika masalah di transaksi berjalan tidak kunjung dipecahkan.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular