Kalah Telak dari Dolar AS, Kinerja Rupiah Terburuk di Asia

Dwi Ayuningtyas, CNBC Indonesia
09 March 2019 09:04
Kalah Telak dari Dolar AS, Kinerja Rupiah Terburuk di Asia
Foto: Ilustrasi Money Changer (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Sepanjang pekan ini, rupiah kalah telak dari dolar Amerika Serikat (AS). Dalam 5 hari perdagangan, hanya sekali rupiah mencatatkan penguatan pada 5 Maret, itu pun hanya sebesar 0,07%.

Nilai penutupan rupiah pekan ini merupakan yang terlemah sejak 3 Januari 2019.

Pekan ini, kebanyakan mata uang asing memang melemah melawan greenback, namun tidak ada yang separah rupiah. Bagaimana tidak, pelemahan mata uang Asia lainnya terhadap dolar AS tidak ada yang menyentuh angka 1%, tapi rupiah malah melemah 1,38% dari senilai Rp 14.110/dolar menjadi Rp 14.305/dolar. 

Berikut pergerakan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Asia sepanjang minggu ini: 


Sejati-nya, rupiah sempat menguat di awal pekan ini karena perkembangan dari China. Pemerintah Negeri Tirai Bambu berkomitmen untuk menjaga performa ekonomi mereka. Tahun ini China menaikkan defisit anggaran dari 2,6% Produk Domestik Bruto pada 2018 menjadi 2,8% di tahun ini.

Selain itu, juga akan ada pemotongan tarif pajak besar-besaran yang diperkirakan mampu menciptakan perputaran uang senilai hampir CNY 2 triliun bagi perekonomian China. Alhasil, pelaku pasar sempat dibuat lebih tenang dan membuat arus modal asing kembali masuk ke pasar keuangan Asia.
Sayangnya, perlambatan ekonomi dunia yang kian terasa membuat investor memilih kembali berpulang ke dolar AS yang punya sokongan kuat dari The Fed. Pasalnya Jumat (8/3/2019) awan mendung menyelimuti pasar keuangan dunia karena kabar buruk dari Eropa. 

Bank Sentral Uni Eropa (ECB) pada Jumat dini hari memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan refinancing rate sebesar 0%. ECB juga memperkirakan tidak aka nada kenaikkan suku bunga acuan hingga akhir tahun.  

Lebih lanjut, ECB juga memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Benua Biru dari 1,7% menjadi 1,1%. Dikutip Reuters, Mario Draghi mengatakan “Kita semua sedang memasuki masa-masa pelemahan dan ketidakpastian”.  

Kemudian, di akhir pekan masalah kembali datang dari China. Pada Februari 2019, ekspor China mengalami kontraksi atau minus 20,7% YoY, jauh memburuk dibandingkan Januari 2019 yang masih tumbuh 9,1% YoY.  

Tidak hanya itu, impor Negeri Tirai Bambu juga turun 5,2% yang mengakibatkan surplus neraca perdagangan hanya menyentuh surplus US$ 4,12 miliar terjun bebas dari pembukuan Januari yang menyentuh surplus US$ 39,16 miliar. 

Sentimen negatif dari semakin pastinya perlambatan ekonomi dunia pastinya membuat investor berpikir ribuan kali untuk menggelontorkan dana mereka ke negara-negara berkembang Asia, termasuk Indonesia.  

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular