
Anjlok 1,2%, Tak Ada Happy Weekend Buat Rupiah
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
08 March 2019 17:04

Depresiasi rupiah yang cukup dalam hari ini mungkin dipengaruhi oleh faktor jetlag juga. Kemarin rupiah tidak diperdagangkan karena pasar keuangan Indonesia libur memperingati Hari Raya Nyepi.
Akibatnya, investor harus mencerna dinamika yang terjadi kemarin plus merespons sentimen yang menggerakkan pasar hari ini. Alhasil, rupiah yang sudah 'ketinggalan kereta' pun semakin tertinggal di antara kompatriotnya di Asia.
Ditambah lagi hari ini ada awan mendung yang menyelimuti pasar keuangan dunia. Penyebabnya adalah kabar buruk dari Eropa.
Bank Sentral Uni Eropa (ECB) dini hari tadi memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan refinancing rate di 0%. Bahkan Mario Draghi dan kolega memperkirakan tidak akan ada kenaikan suku bunga acuan hingga akhir tahun.
Tidak hanya itu, ECB juga memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Zona Euro 2019 dari 1,7% menjadi 1,1%. Untuk 2019, proyeksi pertumbuhan ekonomi juga direvisi ke bawah dari 1,7% menjadi 1,6%.
"Kita semua sedang memasuki masa-masa pelemahan dan ketidakpastian," tutur Draghi, mengutip Reuters.
Sebelum Eropa, proyeksi senada juga datang dari China. Pemerintah Negeri Tirai Bambu memperkirakan pertumbuhan ekonomi 2019 di kisraan 6-6,5%. Melambat dibandingkan pencapaian 2018 yaitu 6,5%.
Kemudian datang lagi kabar kurang sedap dari China. Pada Februari 2019, ekspor China mengalami kontraksi atau minus 20,7% year-on-year (YoY). Jauh memburuk dibandingkan bulan sebelumnya yang masih mampu tumbuh 9,1% YoY.
Sementara impor juga turun, yaitu minus 5,2% YoY. Ini membuat neraca perdagangan Negeri Tirai Bambu masih surplus US$ 4,12 miliar, tetapi jauh mengerut dibandingkan Januari 2019 yang membukukan surplus US$ 39,16 miliar.
Apa yang terjadi di Eropa dan China seolah melengkapi kepingan puzzle yang disusun oleh Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD). Organisasi yang berbasis di Paris itu memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global untuk 2019 dari 3,5% menjadi 3,3%. Sedangkan untuk 2020, proyeksinya juga diturunkan dari 3,5% menjadi 3,4%.
Perlambatan ekonomi global adalah sebuah risiko besar yang tentu membuat pelaku pasar berpikir ribuan kali untuk masuk ke instrumen berisiko di negara-negara berkembang Asia, termasuk Indonesia. Arus modal yang tidak memihak Indonesia membuat rupiah sulit menguat.
Di pasar saham, investor asing membukukan jual bersih Rp 609,66 miliar yang mengantarkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok 1,16%. Sementara di pasar obligasi pemerintah, imbal hasil (yield) cenderung naik yang menjadi pertanda harga instrumen ini sedang turun akibat tekanan jual.
Berikut perkembangan yield obligasi Indonesia berbagai tenor pada pukul 16:44 WIB:
Rupiah sepertinya sedang menjalani masa-masa berat. Bagaimana tidak, mata uang Tanah Air sudah melemah 6 kali dalam 7 hari perdagangan terakhir. Semoga rupiah segera bisa bangkit dari periode ini dan kembali menguat.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Akibatnya, investor harus mencerna dinamika yang terjadi kemarin plus merespons sentimen yang menggerakkan pasar hari ini. Alhasil, rupiah yang sudah 'ketinggalan kereta' pun semakin tertinggal di antara kompatriotnya di Asia.
Ditambah lagi hari ini ada awan mendung yang menyelimuti pasar keuangan dunia. Penyebabnya adalah kabar buruk dari Eropa.
Tidak hanya itu, ECB juga memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Zona Euro 2019 dari 1,7% menjadi 1,1%. Untuk 2019, proyeksi pertumbuhan ekonomi juga direvisi ke bawah dari 1,7% menjadi 1,6%.
"Kita semua sedang memasuki masa-masa pelemahan dan ketidakpastian," tutur Draghi, mengutip Reuters.
Sebelum Eropa, proyeksi senada juga datang dari China. Pemerintah Negeri Tirai Bambu memperkirakan pertumbuhan ekonomi 2019 di kisraan 6-6,5%. Melambat dibandingkan pencapaian 2018 yaitu 6,5%.
Kemudian datang lagi kabar kurang sedap dari China. Pada Februari 2019, ekspor China mengalami kontraksi atau minus 20,7% year-on-year (YoY). Jauh memburuk dibandingkan bulan sebelumnya yang masih mampu tumbuh 9,1% YoY.
Sementara impor juga turun, yaitu minus 5,2% YoY. Ini membuat neraca perdagangan Negeri Tirai Bambu masih surplus US$ 4,12 miliar, tetapi jauh mengerut dibandingkan Januari 2019 yang membukukan surplus US$ 39,16 miliar.
Apa yang terjadi di Eropa dan China seolah melengkapi kepingan puzzle yang disusun oleh Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD). Organisasi yang berbasis di Paris itu memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global untuk 2019 dari 3,5% menjadi 3,3%. Sedangkan untuk 2020, proyeksinya juga diturunkan dari 3,5% menjadi 3,4%.
Perlambatan ekonomi global adalah sebuah risiko besar yang tentu membuat pelaku pasar berpikir ribuan kali untuk masuk ke instrumen berisiko di negara-negara berkembang Asia, termasuk Indonesia. Arus modal yang tidak memihak Indonesia membuat rupiah sulit menguat.
Di pasar saham, investor asing membukukan jual bersih Rp 609,66 miliar yang mengantarkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok 1,16%. Sementara di pasar obligasi pemerintah, imbal hasil (yield) cenderung naik yang menjadi pertanda harga instrumen ini sedang turun akibat tekanan jual.
Berikut perkembangan yield obligasi Indonesia berbagai tenor pada pukul 16:44 WIB:
Rupiah sepertinya sedang menjalani masa-masa berat. Bagaimana tidak, mata uang Tanah Air sudah melemah 6 kali dalam 7 hari perdagangan terakhir. Semoga rupiah segera bisa bangkit dari periode ini dan kembali menguat.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular