Anjlok 1,2%, Tak Ada Happy Weekend Buat Rupiah

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
08 March 2019 17:04
Anjlok 1,2%, Tak Ada <i>Happy Weekend</i> Buat Rupiah
Ilustrasi Dolar AS dan Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah tajam di perdagangan pasar spot hari ini. Bukan pencapaian terbaik untuk menutup pekan. 

Pada Jumat (8/3/2019), US$ 1 dihargai Rp 14.305 kala penutupan pasar spot. Rupiah melemah 1,2% dibandingkan posisi penutupan perdagangan sebelum libur Hari Raya Nyepi. 

Mengawali perdagangan hari ini, rupiah melemah 0,42%. Namun dolar AS belum menembus kisaran Rp 14.100, tepatnya masih di Rp 14.095. Namun beberapa saat kemudian rupiah langsung melemah dan dolar AS menembus level Rp 14.200.


Setelah itu, rupiah bak menaiki seluncuran air. Terus melemah seakan tanpa rem.
 Dolar AS pun sudah menembus level psikologis baru di level Rp 14.300 sebelum tengah hari. Rupiah pun ditutup di titik terlemah sejak 3 Januari 2019.




Kala penutupan pasar spot valas Indonesia, mayoritas mata uang Asia mampu menguat di hadapan dolar AS. Selain rupiah, mata yang melemah adalah yuan China, won Korea Selatan, dan ringgit Malaysia.
 

Di antara mata uang yang melemah tersebut, depresiasi rupiah menjadi yang paling dalam. Bahkan jarak depresiasi rupiah dengan mata uang yang tepat di atasnya pun sangat jauh. 

Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning pada pukul 16:28 WIB: 

 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Depresiasi rupiah yang cukup dalam hari ini mungkin dipengaruhi oleh faktor jetlag juga. Kemarin rupiah tidak diperdagangkan karena pasar keuangan Indonesia libur memperingati Hari Raya Nyepi. 

Akibatnya, investor harus mencerna dinamika yang terjadi kemarin plus merespons sentimen yang menggerakkan pasar hari ini. Alhasil, rupiah yang sudah 'ketinggalan kereta' pun semakin tertinggal di antara kompatriotnya di Asia. 


Ditambah lagi hari ini ada awan mendung yang menyelimuti pasar keuangan dunia. Penyebabnya adalah kabar buruk dari Eropa. 

Bank Sentral Uni Eropa (ECB) dini hari tadi memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan refinancing rate di 0%. Bahkan Mario Draghi dan kolega memperkirakan tidak akan ada kenaikan suku bunga acuan hingga akhir tahun. 

Tidak hanya itu, ECB juga memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Zona Euro 2019 dari 1,7% menjadi 1,1%. Untuk 2019, proyeksi pertumbuhan ekonomi juga direvisi ke bawah dari 1,7% menjadi 1,6%. 

"Kita semua sedang memasuki masa-masa pelemahan dan ketidakpastian," tutur Draghi, mengutip Reuters. 


Sebelum Eropa, proyeksi senada juga datang dari China. Pemerintah Negeri Tirai Bambu memperkirakan pertumbuhan ekonomi 2019 di kisraan 6-6,5%. Melambat dibandingkan pencapaian 2018 yaitu 6,5%. 

Kemudian datang lagi kabar kurang sedap dari China. Pada Februari 2019, ekspor China mengalami kontraksi atau minus 20,7% year-on-year (YoY). Jauh memburuk dibandingkan bulan sebelumnya yang masih mampu tumbuh 9,1% YoY. 

Sementara impor juga turun, yaitu minus 5,2% YoY. Ini membuat neraca perdagangan Negeri Tirai Bambu masih surplus US$ 4,12 miliar, tetapi jauh mengerut dibandingkan Januari 2019 yang membukukan surplus US$ 39,16 miliar. 


Apa yang terjadi di Eropa dan China seolah melengkapi kepingan puzzle yang disusun oleh Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD). Organisasi yang berbasis di Paris itu memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global untuk 2019 dari 3,5% menjadi 3,3%. Sedangkan untuk 2020, proyeksinya juga diturunkan dari 3,5% menjadi 3,4%. 

Perlambatan ekonomi global adalah sebuah risiko besar yang tentu membuat pelaku pasar berpikir ribuan kali untuk masuk ke instrumen berisiko di negara-negara berkembang Asia, termasuk Indonesia. Arus modal yang tidak memihak Indonesia membuat rupiah sulit menguat. 

Di pasar saham, investor asing membukukan jual bersih Rp 609,66 miliar yang mengantarkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok 1,16%. Sementara di pasar obligasi pemerintah, imbal hasil (yield) cenderung naik yang menjadi pertanda harga instrumen ini sedang turun akibat tekanan jual. 

Berikut perkembangan yield obligasi Indonesia berbagai tenor pada pukul 16:44 WIB: 



Rupiah sepertinya sedang menjalani masa-masa berat. Bagaimana tidak, mata uang Tanah Air sudah melemah 6 kali dalam 7 hari perdagangan terakhir. Semoga rupiah segera bisa bangkit dari periode ini dan kembali menguat.



TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular