Dolar Tembus Rp 14.200, Rupiah Terlemah di Asia, Salah Siapa?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
08 March 2019 08:40
Eropa Bikin Gara-gara
Ilustrasi Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Rupiah dan mata uang Asia memang sulit menandingi keperkasaan dolar AS. Dalam sepekan terakhir, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat sampai 1,12%. Dalam sebulan terakhir, indeks ini melesat dengan penguatan mencapai 1,26%. 

 

Hari ini, kekuatan dolar AS datang dari hasil rapat Bank Sentral Uni Eropa (ECB). Seperti yang sudah diperkirakan pasar, Mario Draghi dan kolega mempertahankan suku bunga acuan refinancing rate di angka 0%. 

ECB juga memperkirakan tidak akan ada kenaikan suku bunga acuan sampai akhir tahun. Sikap ini berubah, karena sebelumnya ECB meramal mulai mempertimbangkan kenaikan suku bunga pada musim panas (tengah tahun) ini. 

Perubahan tersebut berdasarkan proyeksi ekonomi Benua Biru yang lebih suram. Untuk 2019, proyeksi pertumbuhan ekonomi dipangkas dari 1,7% menjadi 1,1%. Sementara perkiraan pertumbuhan ekonomi 2020 juga diturunkan dari 1,7% menjadi 1,6%. 

Zona Euro, menurut ECB, masih butuh stimulus sehingga pengetatan kebijakan moneter belum bisa diterapkan. Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, ECB kembali menerapkan stimulus berupa fasilitas likuiditas kepada perbankan agar mampu menggenjot penyaluran kredit yaitu Targetted Longer-Term Refinancing Operations (TLTRO) jilid III. 

Melalui fasilitas TLTRO, ECB  menyuntikkan likuiditas kepada bank yang memberikan kredit kepada sektor riil. Untuk TLTRO jiid I dan II yang diterapkan pada 2016 dan 2017, ECB memberikan suntikan likuiditas dengan total EUR 739 miliar. 

"Saat berada di ruangan gelap, Anda bergerak dengan langkah kecil. Anda mungkin tidak lari, tetapi setidaknya Anda bergerak. Jadi, kami hari ini tidak behind the curve," tegas Draghi, mengutip Reuters. 


Sikap atau stance ECB yang jinak alias dovish membuat Bank Sentral AS (The Federal Reserves/The Fed) kembali berpotensi tanpa lawan. Meski tidak seagresif tahun lalu, Jerome 'Jay' Powell diperkirakan masih punya ruang untuk menaikkan suku bunga acuan. Bank Indonesia (BI) memperkirakan Federal Funds Rate akan naik satu kali pada 2019. 


Perkembangan ini tentu sangat menguntungkan dolar AS. Prospek kenaikan suku bunga akan membuat berinvestasi di dolar AS (terutama di instrumen berpendapatan tetap) lebih mendatangkan cuan. Arus modal pun kembali menyemut di sekitar mata uang Negeri Paman Sam. 

Selain itu, proyeksi terbaru mengenai pertumbuhan ekonomi Eropa semakin menegaskan bahwa perlambatan ekonomi global bukan sekadar mitos. Sebelumnya, China juga memperkirakan pertumbuhan ekonomi 2019 di kisaran 6-6,5%, melambat dibandingkan realisasi 2018 yaitu 6,6%. 

Kala ada risiko besar bernama perlambatan ekonomi dunia, investor tentu enggan berlaku agresif. Semua tentu ingin mencari selamat, dan itu lagi-lagi menguntungkan dolar AS yang berstatus aset aman (safe haven). 

Rupiah pun terkena getahnya, menyentuh titik terlemah sejak 22 Januari dan menjadi mata uang terlemah di Asia. Kalau mau menyalahkan orang lain, hari ini silakan mengkambinghitamkan Eropa.     

TIM RISET CNBC INDONESIA

(aji/aji)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular