Kok Kendur Lagi, Rupiah?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
05 March 2019 12:40
Investor Lebih Sayang Dolar AS
Foto: Ilustrasi Rupiah dan Dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Sepertinya faktor eksternal bertanggung jawab atas pelemahan rupiah cs di Asia ada pagi hari ini. Kabar kurang sedap dari China membuat investor agak menjauh. 

Mengutip kantor berita Xinhua, China menargetkan pertumbuhan ekonomi 2019 di kisaran 6-6,5%. Lebih lembat dibandingkan pencapaian 2018 yaitu 6,6%. Padahal pertumbuhan ekonomi 6,6% saja sudah yang terlemah sejak 1990.

China adalah perekonomian nomor 1 di Asia. Perlambatan ekonomi China akan membuat negara-negara lain ikut melambat. Prospek ekonomi Asia menjadi lebih suram, sehingga membuat investor mundur teratur. 

Tidak cuma di pasar valas, bursa saham Asia pun dihiasi warna merah. Indeks Nikkei 225 turun 0,62%, Hang Seng melemah 0,24%, Shanghai Composite minus 0,07%, Kospi berkurang 0,59%, Straits Times jatuh 0,52%, dan Indeks Harga Saham Gabungan anjlok 1,11% pada pukul 12:57 WIB. 

Selain itu, dolar AS juga sedang perkasa secara global. Pada pukul 12:27 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) masih menguat tipis 0,05%. 

Dolar AS kembali perkasa di Asia (dan dunia) setelah investor mulai ambil posisi jelang pertemuan bulanan Bank Sentral Uni Eropa (ECB) pada Kamis waktu setempat. Konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan Mario Draghi dan kawan-kawan masih mempertahankan suku bunga acuan refinancing rate di angka 0%. 

Bahkan ECB dibuat pening karena data-data ekonomi di Benua Biru terus mengkhawatirkan. Laju inflasi pada Januari 2019 tercatat 1,4% year-on-year (YoY), laju paling lambat sejak April 2018. 

Kemudian neraca perdagangan Zona Euro pada Desember 2018 adalah EUR 17 miliar. Turun dibandingkan tahun sebelumnya yaitu EUR 24 miliar. Lalu pada kuartal IV-2018, pertumbuhan ekonomi Zona Euro adalah 0,2% YoY. Ini menjadi laju paling lemah sejak kuartal II-2014. 

Data-data ini membuat ECB kemungkinan besar akan memundurkan rencana kenaikan suku bunga acuan, yang sedianya mulai dilakukan pada musim panas (tengah tahun) 2019. Bahkan pelaku pasar mulai menduga bahwa ECB akan kembali menerapkan stimulus moneter berupa quantitative easing untuk memompa likuiditas ke perekonomian. Padahal kebijakan ini baru saja selesai pada akhir Desember 2018. 

Perkembangan ini menegaskan Bank Sentral AS, The Federal Reserves/The Fed, semakin tanpa lawan. The Fed sampai saat ini belum mengubah dot plot mereka, yaitu menargetkan suku bunga acuan di median 2,8% pada akhir tahun. Dengan posisi saat ini yaitu median 2,375%, berarti butuh setidaknya dua kali kenaikan lagi. 

The Fed yang tanpa lawan otomatis membuat dolar AS pun demikian. Greenback akan sangat diuntungkan oleh kenaikan suku bunga acuan karena membuat berinvestasi di mata uang ini menjadi lebih menarik.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(aji/aji)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular