Kok Kendur Lagi, Rupiah?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
05 March 2019 12:40
<i>Kok</i> Kendur Lagi, Rupiah?
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masih melemah di perdagangan pasar spot hari ini. Rupiah yang sempat menipiskan pelemahan ternyata mengendur lagi. 

Pada Selasa (5/3/2019) pukul 12:00 WIB, US$ 1 dibanderol Rp 14.145. Rupiah melemah 0,14% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya. 

Seiring perjalanan, depresiasi rupiah sedikit menipis. Pada pukul 12:08 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.142 di mana rupiah melemah 0,12%. 

Sebelumnya, depresiasi rupiah sempat menipis menjadi 0,06%. Sempat ada harapan rupiah mampu kembali ke zona hijau, seperti saat pembukaan pasar. 


Namun ternyata performa rupiah kembali mengendur. Lagi-lagi rupiah termakan harapan palsu, karena investor masih setengah hati mengoleksi mata uang Tanah Air. 


Berikut pergerakan kurs dolar AS terhadap rupiah hingga tengah hari ini: 

 

Rupiah bernasib sama dengan mayoritas mata uang utama Asia yang juga tidak bisa menandingi keperkasaan dolar AS. Bahkan depresiasi rupiah tidak seberapa dibandingkan para kompatriotnya. 

Peso Filipina menjadi mata uang terlemah di Asia dengan depresiasi yang jauh lebih dalam dibandingkan mata uang Benua Kuning lainnya. Penyebabnya adalah pernyataan Gubernur Bank Sentral Filipina (BSP) Benjamin Diokno.  

Eks Menteri Keuangan yang baru ditunjuk menjadi BSP-1 ini menyatakan bahwa kemungkinan pelonggaran kebijakan moneter masih terlalu dini. Menurutnya, inflasi yang masih di batas atas target 2-4%. 

Namun, pelaku pasar menilai peluang penurunan suku bunga acuan cukup terbuka mengingat inflasi Filipina pada Februari 2019 adalah 3,9% year-on-year (YoY). Lebih baik dibandingkan konsensus pasar yang dihimpun Reuters yaitu 4% YoY.  

"Gubernur BSP mungkin akan mulai berpikir mengenai pelonggaran kebijakan moneter untuk mendorong pertumbuhan ekonomi," kata Nicholas Mapa, Ekonom ING, mengutip Reuters. 

Prospek penurunan suku bunga acuan membuat peso menjadi kurang menarik sehingga mendorong aksi jual terhadap mata uang ini. Jadilah peso sebagai mata uang terlemah di Asia. 

Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 12:23 WIB: 

 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Sepertinya faktor eksternal bertanggung jawab atas pelemahan rupiah cs di Asia ada pagi hari ini. Kabar kurang sedap dari China membuat investor agak menjauh. 

Mengutip kantor berita Xinhua, China menargetkan pertumbuhan ekonomi 2019 di kisaran 6-6,5%. Lebih lembat dibandingkan pencapaian 2018 yaitu 6,6%. Padahal pertumbuhan ekonomi 6,6% saja sudah yang terlemah sejak 1990.

China adalah perekonomian nomor 1 di Asia. Perlambatan ekonomi China akan membuat negara-negara lain ikut melambat. Prospek ekonomi Asia menjadi lebih suram, sehingga membuat investor mundur teratur. 

Tidak cuma di pasar valas, bursa saham Asia pun dihiasi warna merah. Indeks Nikkei 225 turun 0,62%, Hang Seng melemah 0,24%, Shanghai Composite minus 0,07%, Kospi berkurang 0,59%, Straits Times jatuh 0,52%, dan Indeks Harga Saham Gabungan anjlok 1,11% pada pukul 12:57 WIB. 

Selain itu, dolar AS juga sedang perkasa secara global. Pada pukul 12:27 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) masih menguat tipis 0,05%. 

Dolar AS kembali perkasa di Asia (dan dunia) setelah investor mulai ambil posisi jelang pertemuan bulanan Bank Sentral Uni Eropa (ECB) pada Kamis waktu setempat. Konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan Mario Draghi dan kawan-kawan masih mempertahankan suku bunga acuan refinancing rate di angka 0%. 

Bahkan ECB dibuat pening karena data-data ekonomi di Benua Biru terus mengkhawatirkan. Laju inflasi pada Januari 2019 tercatat 1,4% year-on-year (YoY), laju paling lambat sejak April 2018. 

Kemudian neraca perdagangan Zona Euro pada Desember 2018 adalah EUR 17 miliar. Turun dibandingkan tahun sebelumnya yaitu EUR 24 miliar. Lalu pada kuartal IV-2018, pertumbuhan ekonomi Zona Euro adalah 0,2% YoY. Ini menjadi laju paling lemah sejak kuartal II-2014. 

Data-data ini membuat ECB kemungkinan besar akan memundurkan rencana kenaikan suku bunga acuan, yang sedianya mulai dilakukan pada musim panas (tengah tahun) 2019. Bahkan pelaku pasar mulai menduga bahwa ECB akan kembali menerapkan stimulus moneter berupa quantitative easing untuk memompa likuiditas ke perekonomian. Padahal kebijakan ini baru saja selesai pada akhir Desember 2018. 

Perkembangan ini menegaskan Bank Sentral AS, The Federal Reserves/The Fed, semakin tanpa lawan. The Fed sampai saat ini belum mengubah dot plot mereka, yaitu menargetkan suku bunga acuan di median 2,8% pada akhir tahun. Dengan posisi saat ini yaitu median 2,375%, berarti butuh setidaknya dua kali kenaikan lagi. 

The Fed yang tanpa lawan otomatis membuat dolar AS pun demikian. Greenback akan sangat diuntungkan oleh kenaikan suku bunga acuan karena membuat berinvestasi di mata uang ini menjadi lebih menarik.


TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular