
Dua Kali Jadi Korban PHP, Rupiah Terlemah di Asia (Lagi)
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
04 March 2019 14:39

Mengapa rupiah sulit sekali lepas dari zona merah? Apa yang membuat langkah rupiah begitu berat?
Pertama, mungkin investor melihat bahwa damai dagang AS-China bisa membawa dampak negatif terhadap rupiah. Saat AS-China sudah berdamai, tidak lagi saling hambat, maka ekspor dan investasi Negeri Paman Sam akan lebih baik. Ada kemungkinan pertumbuhan ekonomi AS bakal lebih tinggi.
Saat ekonomi Negeri Adidaya melaju lebih kencang, maka The Federal Reserves/The Fed akan campur tangan agar tidak terjadi overheating. Kenaikan suku bunga acuan kemungkinan kembali dieksekusi untuk mengendalikan laju pertumbuhan ekonomi AS.
Merespons hal ini, imbal hasil (yield) obligasi AS merangkak naik. Berikut perkembangan yield obligasi AS berbagai tenor pada pukul 14:18 WIB:
Sementara Bank Indonesia (BI) malah sebaliknya, membuka peluang suku bunga acuan turun. Dengan syarat stabilitas ekonomi terjaga seperti sekarang.
"Ke depan arah suku bunga akan lebih turun, kalau stabilitas ini kita jaga. Suku bunga sudah hampir mencapai puncaknya," kata Perry Warijiyo, Gubernur BI, dalam acara CNBC Indonesia Outlook 2019, pekan lalu.
Apalagi laju inflasi domestik masih sangat 'santai'. Pada Februari 2019, terjadi deflasi 0,08% secara month-on-month dan inflasi 2,57% year-on-year. Laju inflasi tahunan bulan lalu menjadi yang paling lambat sejak November 2009 alias nyaris 10 tahun.
Situasi tersebut membuat BI semakin tidak perlu buru-buru menaikkan suku bunga acuan. Melawan The Fed yang kemungkinan masih akan menaikkan suku bunga acuan (meski tidak dalam waktu dekat), dolar AS tentu menjadi lebih menarik ketimbang rupiah. Dolar AS lebih bisa menghasilkan cuan karena ada kenaikan Federal Funds Rate.
Faktor kedua adalah harga minyak yang masih naik. Pada pukul 14:26 WIB, harga minyak jenis brent dan light sweet naik masing-masing 0,22% dan 0,2%.
Kenaikan harga minyak bukan berita bahagia buat rupiah. Indonesia adalah negara net importir minyak. Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, Indonesia mau tidak mau harus mengimpor karena produksi tidak mencukupi.
Saat harga minyak mahal, tentu akan semakin membebani neraca perdagangan dan transaksi berjalan (current account). Padahal current account adalah fondasi penting bagi nilai tukar, karena mencerminkan pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa. Devisa yang lebih jangka panjang ketimbang portofolio di sektor keuangan (hot money) yang bisa datang dan pergi dalam hitungan detik.
Dibayangi risiko pembengkakan defisit transaksi berjalan, prospek rupiah pun suram. Investor tentunya agak malas memegang aset yang nilainya berisiko turun.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pertama, mungkin investor melihat bahwa damai dagang AS-China bisa membawa dampak negatif terhadap rupiah. Saat AS-China sudah berdamai, tidak lagi saling hambat, maka ekspor dan investasi Negeri Paman Sam akan lebih baik. Ada kemungkinan pertumbuhan ekonomi AS bakal lebih tinggi.
Saat ekonomi Negeri Adidaya melaju lebih kencang, maka The Federal Reserves/The Fed akan campur tangan agar tidak terjadi overheating. Kenaikan suku bunga acuan kemungkinan kembali dieksekusi untuk mengendalikan laju pertumbuhan ekonomi AS.
Merespons hal ini, imbal hasil (yield) obligasi AS merangkak naik. Berikut perkembangan yield obligasi AS berbagai tenor pada pukul 14:18 WIB:
Sementara Bank Indonesia (BI) malah sebaliknya, membuka peluang suku bunga acuan turun. Dengan syarat stabilitas ekonomi terjaga seperti sekarang.
"Ke depan arah suku bunga akan lebih turun, kalau stabilitas ini kita jaga. Suku bunga sudah hampir mencapai puncaknya," kata Perry Warijiyo, Gubernur BI, dalam acara CNBC Indonesia Outlook 2019, pekan lalu.
Apalagi laju inflasi domestik masih sangat 'santai'. Pada Februari 2019, terjadi deflasi 0,08% secara month-on-month dan inflasi 2,57% year-on-year. Laju inflasi tahunan bulan lalu menjadi yang paling lambat sejak November 2009 alias nyaris 10 tahun.
Situasi tersebut membuat BI semakin tidak perlu buru-buru menaikkan suku bunga acuan. Melawan The Fed yang kemungkinan masih akan menaikkan suku bunga acuan (meski tidak dalam waktu dekat), dolar AS tentu menjadi lebih menarik ketimbang rupiah. Dolar AS lebih bisa menghasilkan cuan karena ada kenaikan Federal Funds Rate.
Faktor kedua adalah harga minyak yang masih naik. Pada pukul 14:26 WIB, harga minyak jenis brent dan light sweet naik masing-masing 0,22% dan 0,2%.
Kenaikan harga minyak bukan berita bahagia buat rupiah. Indonesia adalah negara net importir minyak. Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, Indonesia mau tidak mau harus mengimpor karena produksi tidak mencukupi.
Saat harga minyak mahal, tentu akan semakin membebani neraca perdagangan dan transaksi berjalan (current account). Padahal current account adalah fondasi penting bagi nilai tukar, karena mencerminkan pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa. Devisa yang lebih jangka panjang ketimbang portofolio di sektor keuangan (hot money) yang bisa datang dan pergi dalam hitungan detik.
Dibayangi risiko pembengkakan defisit transaksi berjalan, prospek rupiah pun suram. Investor tentunya agak malas memegang aset yang nilainya berisiko turun.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular