
Semesta Mendukung, Laju Rupiah Belum Terbendung
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
25 February 2019 16:45

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) berhasil menguat di perdagangan pasar spot hari ini. Rupiah menjalani start yang lumayan oke di pekan yang baru.
Pada Senin (25/2/2019), US$ 1 dibanderol Rp 14.015 kala penutupan pasar spot. Rupiah menguat 0,28% dibandingkan posisi penutupan pasar akhir pekan lalu.
Saat pembukaan pasar spot, rupiah melesat dengan penguatan 0,5% dan dolar AS berhasil didorong ke bawah Rp 14.000. Seiring perjalanan pasar, apresiasi rupiah terus menipis. Positifnya, rupiah tidak pernah merasakan pelemahan.
Berikut pergerakan kurs dolar AS terhadap rupiah sepanjang hari ini:
Seperti halnya rupiah, mayoritas mata uang utama Asia juga mampu menguat di hadapan dolar AS. Awalnya, rupiah mampu menjadi mata uang dengan penguatan tertajam di Asia.
Namun kemudian, seperti yang terjadi pekan lalu, yuan China mampu kemudian mampu menyalip rupiah. Situasi ini bertahan hingga penutupan pasar spot. Rupiah lagi-lagi terjegal oleh yuan dan harus puas duduk di posisi runner-up.
Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning pada pukul 16:13 WIB:
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Semesta memang mendukung penguatan rupiah. Dari dalam negeri, sepertinya investor merespons positif proyeksi inflasi Februari 2019 yang diungkapkan Bank Indonesia (BI).
Akhir pekan lalu, Gubernur BI Perry Warijiyo menyebutkan bahwa sampai pekan ketiga Februari terjadi deflasi 0,07% secara bulanan, yang membuat inflasi tahunan diperkirakan 2,58%. Jika terwujud, maka ini akan menjadi laju paling lambat sejak Agustus 2016.
Sementara konsensus sementara yang dihimpun CNBC Indonesia dari sejumlah ekonom menunjukkan median inflasi bulanan Februari ada di 0,005% alias nyaris flat. Lalu inflasi tahunan diperkirakan 2,76%, laju paling 'santai' sejak November 2009.
Indonesia adalah negara berkembang, tidak seperti negara maju layaknya Jepang atau negara-negara Eropa yang mendambakan inflasi. Bagi Indonesia, inflasi harus rendah dan stabil. Oleh karena itu, perlambatan laju inflasi adalah sebuah sentimen positif.
Apalagi inflasi yang lambat artinya nilai mata uang tidak tergerus signifikan. Tentu menjadi suntikan tenaga bagi rupiah.
Sementara dari sisi eksternal, sentimen utama pendorong rupiah adalah aura damai dagang AS-China yang semakin kuat. Presiden AS Donald Trump menyatakan dirinya akan memperpanjang masa 'gencatan senjata' dengan China yang sedianya berakhir pada 1 Maret. Artinya, AS tidak akan menaikkan bea masuk untuk importasi produk-produk made in China senilai US$ 200 miliar dari 10% menjadi 25%.
Tidak hanya itu, Trump juga akan mengundang Presiden China Xi Jinping ke resor golf miliknya di Florida untuk finalisasi dan pengesahan perjanjian kesepakatan dagang AS-China. Jika perjanjian ini sudah diteken, maka perang dagang AS-China bisa dikatakan resmi berakhir.
Aura damai dagang yang semakin terasa membuat investor ogah bermain aman. Adrenalin pelaku pasar memuncak, dan arus modal mengalir deras ke instrumen berisiko di pasar keuangan negara berkembang, termasuk Indonesia.
Di pasar saham, investor asing membukukan beli bersih Rp 264,3 miliar yang mengantar Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup menguat 0,37%. Sementara di pasar obligasi pemerintah, imbal hasil (yield) surat utang seri acuan tenor 10 tahun turun 4,5 basis poin. Penurunan yield berarti harga instrumen ini sedang naik karena tingginya permintaan.
Derasnya arus modal yang mengalir ke pasar keuangan Indonesia menjadi penopang penguatan rupiah. Ada harapan rupiah mampu mengulang prestasi pekan lalu yang menguat 0,6%, bahkan bisa saja melampauinya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Pada Senin (25/2/2019), US$ 1 dibanderol Rp 14.015 kala penutupan pasar spot. Rupiah menguat 0,28% dibandingkan posisi penutupan pasar akhir pekan lalu.
Saat pembukaan pasar spot, rupiah melesat dengan penguatan 0,5% dan dolar AS berhasil didorong ke bawah Rp 14.000. Seiring perjalanan pasar, apresiasi rupiah terus menipis. Positifnya, rupiah tidak pernah merasakan pelemahan.
Berikut pergerakan kurs dolar AS terhadap rupiah sepanjang hari ini:
Seperti halnya rupiah, mayoritas mata uang utama Asia juga mampu menguat di hadapan dolar AS. Awalnya, rupiah mampu menjadi mata uang dengan penguatan tertajam di Asia.
Namun kemudian, seperti yang terjadi pekan lalu, yuan China mampu kemudian mampu menyalip rupiah. Situasi ini bertahan hingga penutupan pasar spot. Rupiah lagi-lagi terjegal oleh yuan dan harus puas duduk di posisi runner-up.
Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning pada pukul 16:13 WIB:
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Semesta memang mendukung penguatan rupiah. Dari dalam negeri, sepertinya investor merespons positif proyeksi inflasi Februari 2019 yang diungkapkan Bank Indonesia (BI).
Akhir pekan lalu, Gubernur BI Perry Warijiyo menyebutkan bahwa sampai pekan ketiga Februari terjadi deflasi 0,07% secara bulanan, yang membuat inflasi tahunan diperkirakan 2,58%. Jika terwujud, maka ini akan menjadi laju paling lambat sejak Agustus 2016.
Sementara konsensus sementara yang dihimpun CNBC Indonesia dari sejumlah ekonom menunjukkan median inflasi bulanan Februari ada di 0,005% alias nyaris flat. Lalu inflasi tahunan diperkirakan 2,76%, laju paling 'santai' sejak November 2009.
Indonesia adalah negara berkembang, tidak seperti negara maju layaknya Jepang atau negara-negara Eropa yang mendambakan inflasi. Bagi Indonesia, inflasi harus rendah dan stabil. Oleh karena itu, perlambatan laju inflasi adalah sebuah sentimen positif.
Apalagi inflasi yang lambat artinya nilai mata uang tidak tergerus signifikan. Tentu menjadi suntikan tenaga bagi rupiah.
Sementara dari sisi eksternal, sentimen utama pendorong rupiah adalah aura damai dagang AS-China yang semakin kuat. Presiden AS Donald Trump menyatakan dirinya akan memperpanjang masa 'gencatan senjata' dengan China yang sedianya berakhir pada 1 Maret. Artinya, AS tidak akan menaikkan bea masuk untuk importasi produk-produk made in China senilai US$ 200 miliar dari 10% menjadi 25%.
Tidak hanya itu, Trump juga akan mengundang Presiden China Xi Jinping ke resor golf miliknya di Florida untuk finalisasi dan pengesahan perjanjian kesepakatan dagang AS-China. Jika perjanjian ini sudah diteken, maka perang dagang AS-China bisa dikatakan resmi berakhir.
Aura damai dagang yang semakin terasa membuat investor ogah bermain aman. Adrenalin pelaku pasar memuncak, dan arus modal mengalir deras ke instrumen berisiko di pasar keuangan negara berkembang, termasuk Indonesia.
Di pasar saham, investor asing membukukan beli bersih Rp 264,3 miliar yang mengantar Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup menguat 0,37%. Sementara di pasar obligasi pemerintah, imbal hasil (yield) surat utang seri acuan tenor 10 tahun turun 4,5 basis poin. Penurunan yield berarti harga instrumen ini sedang naik karena tingginya permintaan.
Derasnya arus modal yang mengalir ke pasar keuangan Indonesia menjadi penopang penguatan rupiah. Ada harapan rupiah mampu mengulang prestasi pekan lalu yang menguat 0,6%, bahkan bisa saja melampauinya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Most Popular