
Potensi Deflasi dan Damai Dagang Jadi 'Adrenalin' Buat Rupiah
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
25 February 2019 12:44

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masih menguat di perdagangan pasar spot hari ini. Bahkan rupiah menjadi salah satu mata uang terkuat di Asia.
Pada Senin (25/2/2019) pukul 12:00 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 14.015. Rupiah menguat 0,18% dibandingkan posisi perdagangan akhir pekan lalu.
Walau masih menguat, sejatinya penguatan rupiah semakin tergerus. Kala pembukaan pasar, rupiah mampu menguat 0,5% dan dolar AS sudah ditekan ke bawah Rp 14.000.
Namun seiring perjalanan pasar, rupiah perlahan kehilangan keperkasaannya. Meski masih menguat, tetapi dolar AS kembali menembus level Rp 14.000.
Berikut pergerakan kurs dolar AS terhadap rupiah hingga tengah hari ini:
Akibat penguatannya yang menipis, posisi rupiah di klasemen mata uang utama Asia melorot. Rupiah yang sempat menjadi pemuncak klasemen kini harus puas menjadi runner-up, lagi-lagi tersalip oleh yuan China.
Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning pada pukul 12:20 WIB:
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Sentimen domestik dan eksternal memang mendukung penguatan rupiah. Dari dalam negeri, investor sepertinya memberi apresiasi terhadap laju inflasi domestik yang terkendali pada bulan ini.
Bank Indonesia (BI) memperkirakan sampai pekan ketiga Februari terjadi deflasi 0,07% secra bulanan, yang membuat inflasi tahunan diperkirakan 2,58%. Jika terwujud, maka ini akan menjadi laju paling lambat sejak November 2009. Nyaris 10 tahun lalu.
Indonesia adalah negara berkembang, tidak seperti negara maju layaknya Jepang atau negara-negara Eropa yang mendambakan inflasi. Bagi Indonesia, inflasi harus rendah dan stabil. Oleh karena itu, perlambatan laju inflasi adalah sebuah sentimen positif.
Apalagi inflasi yang lambat artinya nilai mata uang tidak tergerus signifikan. Tentu menjadi suntikan tenaga bagi rupiah.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Sementara dari sisi eksternal, sentimen utama pendorong rupiah adalah aura damai dagang AS-China yang semakin kuat. Presiden AS Donald Trump menyatakan dirinya akan memperpanjang masa 'gencatan senjata' dengan China yang sedianya berakhir pada 1 Maret. Artinya, AS tidak akan menaikkan bea masuk untuk importasi produk-produk made in China senilai US$ 200 miliar dari 10% menjadi 25%.
Tidak hanya itu, Trump juga akan mengundang Presiden China Xi Jinping ke resor golf miliknya di Florida untuk finalisasi dan pengesahan perjanjian kesepakatan dagang AS-China. Jika perjanjian ini sudah diteken, maka perang dagang AS-China bisa dikatakan resmi berakhir.
Aura damai dagang yang semakin terasa membuat investor ogah bermain aman. Adrenalin pelaku pasar memuncak, dan arus modal mengalir deras ke instrumen berisiko di pasar keuangan negara berkembang, termasuk Indonesia.
Di pasar saham, investor asing membukukan beli bersih Rp 104,31 miliar yang mengantar Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat 0,2% di penutupan perdagangan Sesi I. Sementara di pasar obligasi pemerintah, imbal hasil (yield) surat utang seri acuan tenor 10 tahun turun 1,9 basis poin. Penurunan yield berarti harga instrumen ini sedang naik karena tingginya permintaan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Pada Senin (25/2/2019) pukul 12:00 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 14.015. Rupiah menguat 0,18% dibandingkan posisi perdagangan akhir pekan lalu.
Walau masih menguat, sejatinya penguatan rupiah semakin tergerus. Kala pembukaan pasar, rupiah mampu menguat 0,5% dan dolar AS sudah ditekan ke bawah Rp 14.000.
Namun seiring perjalanan pasar, rupiah perlahan kehilangan keperkasaannya. Meski masih menguat, tetapi dolar AS kembali menembus level Rp 14.000.
Berikut pergerakan kurs dolar AS terhadap rupiah hingga tengah hari ini:
Akibat penguatannya yang menipis, posisi rupiah di klasemen mata uang utama Asia melorot. Rupiah yang sempat menjadi pemuncak klasemen kini harus puas menjadi runner-up, lagi-lagi tersalip oleh yuan China.
Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning pada pukul 12:20 WIB:
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Sentimen domestik dan eksternal memang mendukung penguatan rupiah. Dari dalam negeri, investor sepertinya memberi apresiasi terhadap laju inflasi domestik yang terkendali pada bulan ini.
Bank Indonesia (BI) memperkirakan sampai pekan ketiga Februari terjadi deflasi 0,07% secra bulanan, yang membuat inflasi tahunan diperkirakan 2,58%. Jika terwujud, maka ini akan menjadi laju paling lambat sejak November 2009. Nyaris 10 tahun lalu.
Indonesia adalah negara berkembang, tidak seperti negara maju layaknya Jepang atau negara-negara Eropa yang mendambakan inflasi. Bagi Indonesia, inflasi harus rendah dan stabil. Oleh karena itu, perlambatan laju inflasi adalah sebuah sentimen positif.
Apalagi inflasi yang lambat artinya nilai mata uang tidak tergerus signifikan. Tentu menjadi suntikan tenaga bagi rupiah.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Sementara dari sisi eksternal, sentimen utama pendorong rupiah adalah aura damai dagang AS-China yang semakin kuat. Presiden AS Donald Trump menyatakan dirinya akan memperpanjang masa 'gencatan senjata' dengan China yang sedianya berakhir pada 1 Maret. Artinya, AS tidak akan menaikkan bea masuk untuk importasi produk-produk made in China senilai US$ 200 miliar dari 10% menjadi 25%.
Tidak hanya itu, Trump juga akan mengundang Presiden China Xi Jinping ke resor golf miliknya di Florida untuk finalisasi dan pengesahan perjanjian kesepakatan dagang AS-China. Jika perjanjian ini sudah diteken, maka perang dagang AS-China bisa dikatakan resmi berakhir.
Aura damai dagang yang semakin terasa membuat investor ogah bermain aman. Adrenalin pelaku pasar memuncak, dan arus modal mengalir deras ke instrumen berisiko di pasar keuangan negara berkembang, termasuk Indonesia.
Di pasar saham, investor asing membukukan beli bersih Rp 104,31 miliar yang mengantar Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat 0,2% di penutupan perdagangan Sesi I. Sementara di pasar obligasi pemerintah, imbal hasil (yield) surat utang seri acuan tenor 10 tahun turun 1,9 basis poin. Penurunan yield berarti harga instrumen ini sedang naik karena tingginya permintaan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular