Belum lama ini, salah satu bank terbesar di tanah air yakni PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) merilis kinerja keuangannya. Sepanjang tahun 2018, laba bersih BBNI tercatat sebesar Rp 15,02 triliun, naik 10,3% dibandingkan capaian periode 2017 yang senilai Rp 13,6 triliun.
/NII) tercatat sebesar Rp 35,4 triliun, tumbuh 11% dari yang sebelumnya Rp 31,9 triliun.
Sepanjang tahun lalu, pertumbuhan penyaluran kredit perusahaan melonjak hingga 16,2% menjadi Rp 512,8 triliun. Jika dibandingkan dengan bank kategori BUKU 4 lainnya yang juga sudah merilis kinerja keuangan tahun 2018 yakni PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), pertumbuhan penyaluran kredit BBNI praktis menjadi yang tertinggi.
Manajemen risiko yang baik menjadi salah satu faktor penting yang membuat perusahaan mampu bergerak agresif dalam menyalurkan kredit. Pada tahun 2018, rasio kredit bermasalah (
/NPL) dari BBNI tercatat sebesar 1,9%, turun 40 bps dari posisi 2017 yang sebesar 2,3%.
Capaian ini terbilang bersejarah bagi perusahaan. Pasalnya, kali terakhir rasio NPL berada di bawah level 2% adalah pada tahun 2014 (1,96%).
Selain manajemen risiko yang baik, melimpahnya likuditas juga menjadi kunci sukses BBNI. Walaupun pertumbuhan penyaluran kredit sudah melonjak hingga 16,2% sepanjang tahun lalu, Loan to Deposit Ratio (LDR) dari perusahaan ternyata masih merupakan yang terendah jika dibandingkan dengan bank-bank BUKU 4 lainnya.
Berbicara mengenai likuiditas, manajemen perusahaan melakukan pekerjaan yang sangat baik dalam menekan ketergantungan terhadap dana mahal alias deposito. Sebelumnya, perlu diketahui bahwa Dana Pihak Ketiga (DPK) melejit 12,1% sepanjang tahun lalu menjadi Rp 578,8 triliun.
Pada tahun 2018, porsi deposito dari total DPK turun menjadi 35,2%, dari yang sebelumnya 36,9% pada tahun 2017. Porsi DPK berada di level terkecil dalam setidaknya 4 tahun. Sebaliknya, porsi dana murah yang terdiri dari
current account dan
saving account naik menjadi 64,8% pada tahun lalu, dari yang sebelumnya 63,1% pada tahun 2017.
Akibatnya, biaya dana (
cost of fund) menjadi bisa ditekan. Sepanjang tahun 2018,
cost of fund perusahaan turun sebesar 20 bps, dari 3% menjadi 2,8%.
Perlu diingat bahwa sepanjang tahun 2018 Bank Indonesia (BI) mengerek naik suku bunga acuan sebesar 175 bps. Akibatnya, bank-bank di tanah air dipaksa mengerek naik suku bunga deposito yang mereka tawarkan ke nasabah, tidak terkecuali bank BUKU 4.
Melansir Statistik Perbankan Indonesia yang dipublikasikan oleh otoritas Jasa Keuangan (OJK), deposito berdenominasi rupiah tenor 1 dan 3 bulan merupakan yang paling laris manis. Per November 2018, deposito rupiah tenor 1 dan 3 bulan masing-masing berkontribusi sebesar 13,62% dan 11,94% dari total DPK bank umum konvensional BUKU 4 di tanah air. Untuk tenor 6 dan 12 bulan atau lebih, kontribusinya masing-masing hanya sebesar 1,6% dan 1,45%.
Jika dibandingkan dengan posisi per akhir 2017, rata-rata suku bunga deposito rupiah tenor 1 dan 3 bulan dari bank BUKU 4 naik masing-masing sebesar 125 bps dan 52 bps.
Data tersebut kemudian terefleksikan pada
cost of fund dari bank-bank BUKU 4. Dari bank BUKU 4 selain BBNI yang sudah merilis kinerja keuangan tahun 2018 yakni BMRI dan BBRI,
cost of fund keduanya mengalami kenaikan pada tahun lalu.
Cost of fund BMRI naik 20 bps, sementara BBRI naik 16 bps.
Jadi, tak berlebihan jika penurunan cost of fund dari BBNI dianggap sebagai prestasi yang membanggakan. Berbicara mengenai kinerja dari sebuah bank, rasanya ada yang kurang jika belum membahas portofolio kreditnya.
Dari portofolio penyaluran kredit BBNI yang senilai Rp 512,8 triliun, sebanyak 78,7% atau senilai Rp 403,5 triliun didonominasi oleh segmen
business banking, sementara 15,5% (Rp 79,7 triliun) diisi oleh segmen
consumer. Sisanya (5,8%/Rp 29,55 triliun) adalah penyaluran kredit dari anak usaha.
Salah satu poin yang menarik berada pada penyaluran kredit untuk segmen
business banking. Terlihat bahwa hubungan BBNI dengan BUMN kian mesra saja. Hal ini bisa dilihat dari naiknya porsi penyaluran kredit ke BUMN. Pada tahun 2018, penyaluran kredit ke BUMN berkontribusi sebesar 27,5% dari portofolio kredit segmen
business banking. Jika dibandingkan dengan total portofolio kredit, maka kontribusinya adalah sebesar 21,6%.
Pada tahun lalu, penyaluran kredit ke BUMN melejit hingga 31,6%, jauh mengalahkan pertumbuhan tahun 2017 yang hanya sebesar 7,7%.
Derasnya penyaluran kredit ke BUMN disinyalir karena pertumbuhan di sektor infrastruktur. Dari total penyaluran kredit korporasi (swasta dan BUMN) senilai Rp 262,8 triliun, 42% atau Rp 110,6 triliun disalurkan ke sektor infrastruktur (telekomunikasi, transportasi, jalan tol & konstruksi, minyak & gas, dan pembangkit listrik). Penyaluran kredit ke sektor infrastruktur naik 11,1% pada tahun lalu, jauh di atas pertumbuhan tahun 2016 dan 2017.
Melihat portfolio kredit infrastruktur perusahaan secara lebih dalam, didapati bahwa proyek jalan tol menjadi fokus perusahaan saat ini. Pada tahun 2015, penyaluran kredit untuk proyek jalan tol hanya berkontribusi sebesar 17% dari total portfolio kredit infrastruktur perusahaan.
Pada tahun 2018, niilainya sudah melejit menjadi 34%. Bahkan, penyaluran kredit untuk proyek jalan tol memiliki porsi terbesar dalam portfolio kredit infrastruktur perusahaan.
Pembiayaan proyek jalan tol cenderung memiliki risiko yang kecil, lantaran perusahaan sudah menerapkan parameter-parameter yang harus dipenuhi oleh sebuah proyek jalan tol untuk dapat dibiayai.
Pembiayaan dari pihak pembangun sebesar minimum 30% dan progres akuisisi lahan yang minimum harus menyentuh level 75% merupakan 2 dari beberapa poin yang ditetapkan perusahaan. Selain itu, proyek jalan tol wajib dijamin oleh PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia jika ingin mendapatkan pembiayaan dari perusahaan.
Dari berbagai proyek tol yang dibiayai oleh perusahaan, tercatat semuanya masuk dalam kolektabilitas 1 (lancar).
Dengan mempertimbangkan kencangnya penyaluran kredit perusahaan, likuiditas yang berlimpah,
cost of fund yang rendah, serta portofolio kredit yang seksi, tak berlebihan jika kami menilai BBNI sebagai bank terbaik di kelasnya (BUKU 4).
Secara valuasi, saham BBNI terbilang masih relatif murah dibandingkan dengan para kompetitornya. Mengutip RTI, per penutupan perdagangan hari Rabu (13/2/2019), Price-to-Earnings Ratio (PER) dari BBNI adalah sebesar 10,75x, lebih rendah dibandingkan BMRI (13,53x), BBRI (14,47x), dan BBCA (27,07x). Hanya BNGA (8,55x) yang memiliki PER lebih rendah dari BBNI.
Berdasarkan target harga yang diambil dari Refinitiv,
upside potential untuk saham BBNI adalah sebesar 13,6%, di atas rata-rata
upside potential dari seluruh saham bank BUKU 4 yang sebesar 12,3% (BNGA tidak dimasukkan).
TIM RISET CNBC INDONESIA
Saksikan video Target Pertumbuhan Bisnis Bank BNI pada 2019
[Gambas:Video CNBC]