
Belum 'Berdamai' dengan CAD, Rupiah Kini Terlemah di Asia
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
12 February 2019 09:28

Sepertinya rupiah masih menanggung beban dari rilis Neraca Pembayaran Indonesia (NPI). Pada kuartal IV-2018 NPI tercatat surplus US$ 5,42 miliar, tetapi karena terus defisit pada 3 kuartal sebelumnya, NPI sepanjang 2018 tetap minus US$ 7,13 miliar. Defisit NPI pada 2018 menjadi yang terdalam sejak 2013.
Sementara defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) pada kuartal IV-2018 adalah 3,57% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Ini menjadi defisit terdalam sejak kuartal II-2014.
Secara tahunan, defisit transaksi berjalan masih di bawah 3% PDB tepatnya 2,98%. Namun ini juga menjadi catatan terburuk sejak 2014.
NPI menggambarkan keseimbangan eksternal Indonesia, seberapa banyak devisa yang masuk dan keluar. Jika defisit, maka lebih banyak devisa yang keluar ketimbang yang masuk. Artinya lebih banyak rupiah 'dibakar' untuk ditukarkan menjadi valas sehingga ketika NPI defisit menjadi wajar apabila rupiah melemah.
Apalagi transaksi berjalan terus mencatatkan defisit, bahkan semakin dalam. Transaksi berjalan menggambarkan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa, devisa yang lebih bertahan lama.
Oleh karena itu, transaksi berjalan menjadi fondasi penting yang menyokong nilai tukar. Saat dia defisit, fondasi itu menjadi rapuh sehingga rupiah rentan terdepresiasi.
Potensi pembengkakan defisit transaksi berjalan ke depan semakin besar karena harga Bahan Bakar Minyak (BBM) diturunkan. Penurunan harga BBM akan membuat konsumsinya meningkat sehingga impornya kian deras. Rupiah pun bakal semakin tertekan.
Plus, harga minyak dunia juga mulai naik. Pada pukul 09:26 WIB, harga minyak jenis brent dan light sweet bertambah masing-masing 0,5% dan 0,34%.
Artinya, impor minyak dan produk turunannya akan semakin mahal. Defisit transaksi berjalan bisa semakin dalam, dan rupiah pun semakin rawan terjerembab ke zona merah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Sementara defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) pada kuartal IV-2018 adalah 3,57% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Ini menjadi defisit terdalam sejak kuartal II-2014.
Secara tahunan, defisit transaksi berjalan masih di bawah 3% PDB tepatnya 2,98%. Namun ini juga menjadi catatan terburuk sejak 2014.
Apalagi transaksi berjalan terus mencatatkan defisit, bahkan semakin dalam. Transaksi berjalan menggambarkan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa, devisa yang lebih bertahan lama.
Oleh karena itu, transaksi berjalan menjadi fondasi penting yang menyokong nilai tukar. Saat dia defisit, fondasi itu menjadi rapuh sehingga rupiah rentan terdepresiasi.
Potensi pembengkakan defisit transaksi berjalan ke depan semakin besar karena harga Bahan Bakar Minyak (BBM) diturunkan. Penurunan harga BBM akan membuat konsumsinya meningkat sehingga impornya kian deras. Rupiah pun bakal semakin tertekan.
Plus, harga minyak dunia juga mulai naik. Pada pukul 09:26 WIB, harga minyak jenis brent dan light sweet bertambah masing-masing 0,5% dan 0,34%.
Artinya, impor minyak dan produk turunannya akan semakin mahal. Defisit transaksi berjalan bisa semakin dalam, dan rupiah pun semakin rawan terjerembab ke zona merah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular