Gegara CAD dan Harga BBM Turun, Rupiah 'Dihukum' Pasar

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
11 February 2019 12:27
Gegara CAD dan Harga BBM Turun, Rupiah 'Dihukum' Pasar
Ilustrasi Dolar AS dan Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah menjalani start yang buruk mengawali pekan ini. Di hadapan dolar Amerika Serikat (AS), mata uang Tanah Air terus melemah. 

Pada Senin (11/2/2019) pukul 12:02 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 14.035 di perdagangan pasar spot. Rupiah melemah 0,54% dibandingkan posisi penutupan pasar akhir pekan lalu. 

Kala pembukaan pasar spot, rupiah sudah melemah tetapi 'cuma' 0,14%. Namun kemudian depresiasi rupiah semakin dalam dan dolar AS kembali menembus level Rp 14.000 untuk kali pertama sejak akhir Januari. 


Sebenarnya mayoritas mata uang utama Asia juga melemah terhadap dolar AS. Hanya peso Filipina dan baht Thailand yang mampu menguat sementara sisanya tidak selamat. Hanya, nasib rupiah lebih apes dibandingkan kompatriotnya.

Rupiah menjadi mata uang terlemah di Asia. Dalam hal melemah terhadap dolar AS, rupiah jadi 'jawara' Benua Kuning.
 

Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 12:07 WIB: 



Rupiah teraniaya karena daat Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) yang mengecewakan. Pada kuartal IV-2018 NPI tercatat surplus US$ 5,42 miliar, tetapi karena terus defisit pada 3 kuartal sebelumnya, NPI sepanjang 2018 tetap minus US$ 7,13 miliar. Defisit NPI pada 2018 menjadi yang terdalam sejak 2013. 

Sementara defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) pada kuartal IV-2018 adalah 3,57% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Ini menjadi defisit terdalam sejak kuartal II-2014.  

Sedangkan secara tahunan, defisit transaksi berjalan masih di bawah 3% PDB tepatnya 2,98%. Namun ini juga menjadi catatan terburuk sejak 2014. 

NPI menggambarkan keseimbangan eksternal Indonesia, seberapa banyak devisa yang masuk dan keluar. Jika defisit, maka lebih banyak devisa yang keluar ketimbang yang masuk. Artinya lebih banyak rupiah 'dibakar' untuk ditukarkan menjadi valas sehingga ketika NPI defisit menjadi wajar apabila rupiah melemah. 

Apalagi transaksi berjalan terus mencatatkan defisit, bahkan semakin dalam. Transaksi berjalan menggambarkan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa, devisa yang lebih bertahan lama.  

Oleh karena itu, transaksi berjalan menjadi fondasi penting yang menyokong nilai tukar. Saat dia defisit, fondasi itu menjadi rapuh sehingga rupiah rentan terdepresiasi. 

Ditambah lagi sepertinya ke depan ada risiko transaksi berjalan akan semakin tertekan. Pasalnya, PT Pertamina memutuskan untuk menurunkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dari mulai Premium sampai Pertamax Plus. 


Penurunan harga BBM akan menyebabkan konsumsinya naik. Sebab harga BBM yang murah mendorong masyarakat menjadi boros, abai untuk berhemat. 

Padahal Indonesia adalah negara net importir minyak, utamanya hasil minyak seperti BBM. Sepanjang 2018, impor migas Indonesia adalah US$ 49,11 miliar. Dari jumlah tersebut, US$ 26,63 miliar (54,22%) adalah impor produk hasil minyak, yang salah satunya adalah BBM. 

Jika permintaan BBM naik, maka otomatis impornya akan ikut melonjak. Sehingga ke depan bakal semakin banyak rupiah yang 'dibakar' demi mengimpor BBM. Rupiah pun masih rentan melemah. 

Perkembangan ini tentu membuat investor khawatir dan melepas rupiah. Investor mana yang ingin mengoleksi aset dengan risiko penurunan nilai? 



(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Faktor domestik itu menambah luka rupiah, yang juga terpapar oleh sentimen dari eksternal. Dolar AS memang sedang dalam tren menguat, bahkan secara global. 

Pada pukul 12:19 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) masih menguat 0,07%. Dalam sepekan ini, Dollar Index menguat 0,66% dan selama sebulan ke belakang penguatannya mencapai 1,08%. 

Kekuatan dolar AS datang dari sikap investor yang masih bertanya-tanya mengenai dialog damai dagang AS-China. Hari ini menjadi awal dari rangkaian dialog dagang yang berlangsung di Beijing. Diawali dengan pertemuan tingkat Wakil Menteri dan berlanjut ke level Menteri pada Kamis-Jumat pekan ini. 

Pasar masih menebak-nebak arah dan hasil dari pertemuan tersebut. Namun apa yang disampaikan Robert Lighthizer, Kepala Perwakilan Dagang AS, memberi sedikit gambaran. 

"Saya bukan dalam kapasitas untuk memperkirakan hasilnya. Namun yang jelas, masih banyak yang harus dilakukan," tegas Lighthizer, mengutip Reuters. 

Aura pesimisme pun merebak. Pelaku pasar khawatir, jangan-jangan Washington dan Beijing gagal mencapai kesepakatan sebelum 1 Maret, tenggat waktu 'gencatan senjata' 90 hari yang disepakati di Argentina awal Desember 2018. 

Jika sampai 1 Maret tidak ada kesepakatan, maka AS akan menaikkan bea masuk dari 10% menjadi 25% untuk importasi produk-produk made in China senilai US$ 200 miliar. Ketika ini terjadi, besar kemungkinan China akan melancarkan serangan balasan. Perang dagang pun kembali berkobar. 

Harapan damai dagang AS-China yang kembali buram membuat investor kembali memasang mode wait and see. Pelaku pasar memiih berhati-hati sembari menunggu perkembangan dari Beijing. 

Sikap hati-hati ini ditunjukkan dengan aliran modal yang masih mengarah ke dolar AS. Pemilik modal masih suka bermain aman, ogah mengambil risiko di pasar keuangan negara-negara berkembang Asia.



TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular