Masih Senin, Rupiah Sudah Lesu di Kurs Acuan dan Pasar Spot

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
11 February 2019 10:39
Masih Senin, Rupiah Sudah Lesu di Kurs Acuan dan Pasar Spot
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali melemah di kurs acuan hari ini. Sementara di pasar spot, rupiah juga melemah hingga dolar AS kembali menyentuh kisaran Rp 14.000. 

Pada Senin (11/2/2019), kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor menunjukkan angka Rp 13.995. Rupiah melemah 0,02% dibandingkan posisi akhir tahun lalu. 

Pelemahan rupiah di kurs acuan sudah terjadi selama 3 hari beruntun. Dalam 3 hari tersebut, rupiah melemah 0,34%. Namun dibandingkan dengan posisi awal 2019, rupiah masih melesat dengan penguatan 3,36%. 



Di pasar spot, nasib rupiah lebih nelangsa. Pada pukul 10:17 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 14.013 di mana rupiah melemah 0,38% dibandingkan posisi penutupan pasar akhir pekan lalu. Untuk kali pertama sejak 31 Januari, rupiah menyentuh level Rp 14.000. 

Kala pembukaan pasar spot, rupiah sudah melemah 0,14%. Seiring perjalanan pasar, rupiah melemah semakin dalam seolah tanpa penghalang. 


Di level Asia, dolar AS mulai kembali menunjukkan dominasinya. Kini sebagian besar mata uang utama Benua Kuning melemah di hadapan dolar AS, senasib dengan rupiah. 

Meski depresiasinya semakin dalam, rupiah masih beruntung karena tidak menjadi mata uang terlemah di Asia. Posisi juru kunci di klasemen mata uang utama Benua Kuning ditempati oleh yuan China, disusul rupiah di posisi kedua terbawah.  

Maklum, yuan baru diperdagangkan hari ini setelah pasar keuangan Negeri Tirai Bambu tutup selama sepekan memperingati Tahun Baru Imlek. Sepertinya pasar keuangan China masih jetlag, mencerna berbagai sentimen yang terlewat sepanjang pekan lalu. 

Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 10:17 WIB: 

 

Namun dengan pelemahan yang terjadi di kurs acuan dan pasar spot, nasib rupiah bisa dibilang apes. Bukan start yang baik untuk memulai pekan. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Rupiah dan mata uang utama Asia melemah karena dolar AS memang sedang menguat secara global. Pada pukul 10:19 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,03%. 

Tren penguatan dolar AS masih enggan berhenti. Dalam sepekan terakhir, Dollar Index menguat 0,63% sementara selama sebulan ke belakang penguatannya mencapai 1,05%. 

Kekuatan dolar AS datang dari sikap investor yang masih bertanya-tanya mengenai dialog damai dagang AS-China. Hari ini menjadi awal dari rangkaian dialog dagang yang berlangsung di Beijing. Diawali dengan pertemuan tingkat Wakil Menteri dan berlanjut ke level Menteri pada Kamis-Jumat pekan ini. 

Pasar masih menebak-nebak arah dan hasil dari pertemuan tersebut. Namun apa yang disampaikan Robert Lighthizer, Kepala Perwakilan Dagang AS, memberi sedikit gambaran. 

"Saya bukan dalam kapasitas untuk memperkirakan hasilnya. Namun yang jelas, masih banyak yang harus dilakukan," tegas Lighthizer, mengutip Reuters. 

Aura pesimisme pun merebak. Pelaku pasar khawatir, jangan-jangan Washington dan Beijing gagal mencapai kesepakatan sebelum 1 Maret, tenggat waktu 'gencatan senjata' 90 hari yang disepakati di Argentina awal Desember 2018. 

Jika sampai 1 Maret tidak ada kesepakatan, maka AS akan menaikkan bea masuk dari 10% menjadi 25% untuk importasi produk-produk made in China senilai US$ 200 miliar. Ketika ini terjadi, besar kemungkinan China akan melancarkan serangan balasan. Perang dagang pun kembali berkobar. 

Harapan damai dagang AS-China yang kembali buram membuat investor kembali memasang mode wait and see. Pelaku pasar memiih berhati-hati sembari menunggu perkembangan dari Beijing. 

Sikap hati-hati ini ditunjukkan dengan aliran modal yang masih mengarah ke dolar AS. Pemilik modal masih suka bermain aman, ogah mengambil risiko di pasar keuangan negara-negara berkembang Asia. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Sementara dari dalam negeri, pemberat langkah rupiah adalah rilis data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI). Sejatinya data ini sudah keluar sebelum pembukaan pasar akhir pekan lalu, tetapi sepertinya investor tidak punya banyak waktu untuk mencerna. 


Sekarang dengan waktu yang memadai, hasilnya adalah rupiah menjadi tertekan. Maklum, meski pada kuartal IV-2018 NPI tercatat surplus US$ 5,42 miliar tetapi karena terus defisit pada 3 kuartal sebelumnya, NPI sepanjang 2018 tetap minus US$ 7,13 miliar. Defisit NPI pada 2018 menjadi yang terdalam sejak 2013. 

Sementara transaksi berjalan (current account) pada kuartal IV-2018 mengalami defisit 3,57% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Ini menjadi defisit terdalam sejak kuartal II-2014.  

Sedangkan secara tahunan, defisit transaksi berjalan masih di bawah 3% PDB tepatnya 2,98%. Namun ini juga menjadi catatan terburuk sejak 2014. 

NPI yang defisit pada 2018 menandakan keseimbangan eksternal Indonesia agak limbung, karena devisa yang keluar lebih banyak ketimbang yang masuk. Artinya, rupiah lebih banyak dilepas karena kebutuhan valas yang tinggi sementara yang masuk tidak memadai. Fundamental rupiah menjadi lebih rapuh dan rentan terkoreksi. 

Apalagi kemudian PT Pertamina menurunkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Kalau harga BBM lebih murah maka konsumsinya tentu akan meningkat. Di sini kemudian timbul masalah, karena suka tidak suka pasti impor BBM bakal membengkak demi memenuhi permintaan masyarakat. 

Hasilnya adalah neraca perdagangan Indonesia akan terancam, karena defisit di sisi migas kemungkinan semakin dalam. Masalah kemudian bisa merambat ke transaksi berjalan, yang mencerminkan ekspor-impor barang dan jasa secara keseluruhan. Defisit transaksi berjalan yang terancam lebih parah karena pembengkakan impor BBM membuat rupiah rentan mengalami pelemahan. 




TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular