Rupiah Memang Melemah, Tapi Tak Jelek-jelek Amat Lho

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
10 February 2019 09:55
Rupiah Memang Melemah, Tapi Tak Jelek-jelek Amat <i>Lho</i>
Ilustrasi Rupiah (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah sepanjang pekan ini. Sentimen eksternal dan domestik memang sedang kurang kondusif bagi mata uang Tanah Air. 

Sepanjang pekan ini, rupiah melemah 0,25% di hadapan dolar AS secara point-to-point. Dolar AS pun kembali mendekati level Rp 14.000. 

 

Tidak hanya rupiah, berbagai mata uang utama Asia pun melemah terhadap greenback. Hanya yuan China yang boleh dibilang selamat, karena pasar keuangan Negeri Tirai Bambu libur selama pekan ini memperingati Tahun Baru Imlek. 

Bahkan depresiasi rupiah yang sebesar 0,25% terlihat minimalis dibandingkan mata uang Benua Kuning lainnya. Baht Thailand menjadi mata uang terlemah di Asia, disusul oleh dolar Singapura dan dolar Taiwan. Jadi performa rupiah sebenarnya tidak terlalu jelek.

Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang Asia selama minggu ini: 

 

Dari sisi eksternal, dolar AS memang sedang mendapat momentum penguatan. Tidak hanya di Asia, mata uang Negeri Paman Sam juga menguat secara global. 

Akhir pekan ini, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama) menguat 0,14%. Dalam sepekan terakhir, indeks ini melonjak hampir 1%. 



Jadi memang sulit bagi rupiah dkk di Asia untuk berbicara banyak di hadapan dolar AS dalam seminggu ini. Dolar AS terlalu sulit untuk ditumbangkan. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Penguatan dolar AS ditopang oleh sejumlah rilis data ekonomi yang impresif. Pada 2 Februari, dirilis angka Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur versi ISM periode Januari 2019 yang sebesar 56,6. Naik dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 54,3. 

Kemudian pada 6 Februari ada angka neraca perdagangan AS yang pada November 2018 tercatat defisit US$ 49,3 miliar. Masih defisit tetapi lebih sedikit dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai US$ 55,7 miliar. Defisit perdagangan November 2018 bahkan menjadi yang terendah dalam 5 bulan. 

Lalu klaim tunjangan pengangguran pada pekan yang berakhir 2 Februari turun 19.000 menjadi 234 ribu. Ini menggambarkan dunia usaha di Negeri Paman Sam masih ekspansif sehingga terus mampu menciptakan lapangan kerja. 

Data-data ekonomi AS yang ciamik membuka peluang bagi The Federal Reserves/The Fed untuk menaikkan suku bunga acuan pada tahun ini. Dot plot Federal Funds Rate masih belum diubah, yaitu di median 2,8% pada akhir 2019. Saat ini median suku bunga acuan adalah 2,375% sehingga butuh setidaknya dua kali kenaikan untuk mencapai target tersebut. 

Prospek kenaikan suku bunga acuan membuat dolar AS menjadi menarik di mata investor. Berinvestasi di mata uang ini tetap akan menguntungkan, karena kenaikan suku bunga acuan akan menjangkar ekspektasi inflasi sehingga nilai mata uang tidak tergerus.


Selain data ekonomi yang mengesankan, dolar AS juga menjadi pelarian saat pelaku pasar melihat risiko perlambatan ekonomi global yang semakin nyata. Pekan ini, risiko tersebut muncul dari Eropa. 

Biro Pusat Federal Jerman melaporkan produksi industri pada Desember 2018 turun 0,4% dibandingkan bulan sebelumnya. Jauh dibandingkan konsensus pasar yang dihimpun Reuters, yang memperkirakan kenaikan 0,7%.

Oleh karena itu, para ekonomi meramal ekonomi Negeri Panser akan mengalami kontraksi alias tumbuh negatif pada kuartal IV-2018. Jika ini terjadi, maka Jerman resmi mengalami resesi karena pada kuartal sebelumnya sudah mengalami kontraksi 0,2%. Resesi terjadi jika sebuah negara mengalami kontraksi dua kuartal beruntun pada tahun yang sama.  

Jerman adalah ekonomi terbesar di Benua Biru sehingga masalah di sana akan menyeret negara-negara lainnya. Komisi Uni Eropa memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Zona Euro untuk 2019 dari 1,3% menjadi 1,9%. 

Perkembangan di Eropa yang suram membuat pelaku pasar mencari 'bunker' perlindungan. Dolar AS ternyata masih menjadi pilihan utama. Oleh karena itu, tidak heran rupiah dan mata uang utama Asia lainnya tertekan. Sebab, dolar AS memang sedang menjadi primadona. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Dari dalam negeri, berbagai rilis data juga tidak menunjang keperkasaan rupiah. Bank Indonesia (BI) mencatat Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada Januari 2019 sebesar 123,5. Konsumen masih optimistis karena nilainya di atas 100, tetapi optimismenya berkurang karena IKK pada bulan sebelumnya lebih tinggi yaitu 127. 

Memang ada unsur musiman yang menyebabkan penurunan IKK. Selepas Hari Natal, Tahun Baru, dan musim liburan pada Desember, konsumen kembali ke 'dunia nyata' pada Januari. Konsumsi yang turun setelah periode puncak adalah hal yang wajar. 

Namun bisa saja data ini menjadi sentimen negatif di pasar keuangan Indonesia, karena akan muncul persepsi bahwa konsumsi rumah tangga melambat. Sementara konsumsi rumah tangga adalah komponen utama pembentuk Produk Domestik Bruto (PDB) dengan kontribusi lebih dari 50%. 

Kala konsumsi rumah tangga melambat, maka pertumbuhan ekonomi juga tentu bakal tertatih-tatih. Persepsi perlambatan ekonomi bisa membuat investor kurang nyaman dan memilih pergi untuk sementara waktu. 

Selain itu, investor juga panas-dingin akibat rilis data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI). BI memperkirakan NPI kuartal IV-2018 bisa surplus, tetapi defisit transaksi berjalan (current account deficit) masih cukup lebar di kisaran 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB).  

Benar saja, pada kuartal IV-2018 NPI tercatat surplus US$ 5,42 miliar. Namun karena terus defisit pada 3 kuartal sebelumnya, NPI sepanjang 2018 tetap minus US$ 7,13 miliar. Defisit NPI pada 2018 menjadi yang terdalam sejak 2013. 

Sementara transaksi berjalan pada kuartal IV-2018 mengalami defisit 3,57% dari PDB. Ini menjadi defisit terdalam sejak kuartal II-2014.  Sedangkan secara tahunan, defisit transaksi berjalan masih di bawah 3% tepatnya 2,98%.

Namun ini juga menjadi catatan terburuk sejak 2014. Sentimen negatif pun mendera rupiah. NPI yang defisit pada 2018 menandakan keseimbangan eksternal Indonesia agak limbung, karena devisa yang keluar lebih banyak ketimbang yang masuk.  

Artinya, rupiah lebih banyak dilepas karena kebutuhan valas yang tinggi sementara yang masuk tidak memadai. Fundamental rupiah menjadi lebih rapuh dan rentan terkoreksi. 

Namun walau dihantam data NPI yang kurang oke, rupiah sebenarnya masih beruntung. Depresiasi rupiah sepanjang pekan ini tidak sedalam mata uang utama Asia lainnya. Oleh karena itu, investor tampaknya masih menaruh harapan dan kepercayaan terhadap perekonomian Indonesia.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular