
Rupiah Memang Melemah, Tapi Tak Jelek-jelek Amat Lho
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
10 February 2019 09:55

Penguatan dolar AS ditopang oleh sejumlah rilis data ekonomi yang impresif. Pada 2 Februari, dirilis angka Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur versi ISM periode Januari 2019 yang sebesar 56,6. Naik dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 54,3.
Kemudian pada 6 Februari ada angka neraca perdagangan AS yang pada November 2018 tercatat defisit US$ 49,3 miliar. Masih defisit tetapi lebih sedikit dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai US$ 55,7 miliar. Defisit perdagangan November 2018 bahkan menjadi yang terendah dalam 5 bulan.
Lalu klaim tunjangan pengangguran pada pekan yang berakhir 2 Februari turun 19.000 menjadi 234 ribu. Ini menggambarkan dunia usaha di Negeri Paman Sam masih ekspansif sehingga terus mampu menciptakan lapangan kerja.
Data-data ekonomi AS yang ciamik membuka peluang bagi The Federal Reserves/The Fed untuk menaikkan suku bunga acuan pada tahun ini. Dot plot Federal Funds Rate masih belum diubah, yaitu di median 2,8% pada akhir 2019. Saat ini median suku bunga acuan adalah 2,375% sehingga butuh setidaknya dua kali kenaikan untuk mencapai target tersebut.
Prospek kenaikan suku bunga acuan membuat dolar AS menjadi menarik di mata investor. Berinvestasi di mata uang ini tetap akan menguntungkan, karena kenaikan suku bunga acuan akan menjangkar ekspektasi inflasi sehingga nilai mata uang tidak tergerus.
Selain data ekonomi yang mengesankan, dolar AS juga menjadi pelarian saat pelaku pasar melihat risiko perlambatan ekonomi global yang semakin nyata. Pekan ini, risiko tersebut muncul dari Eropa.
Biro Pusat Federal Jerman melaporkan produksi industri pada Desember 2018 turun 0,4% dibandingkan bulan sebelumnya. Jauh dibandingkan konsensus pasar yang dihimpun Reuters, yang memperkirakan kenaikan 0,7%.
Oleh karena itu, para ekonomi meramal ekonomi Negeri Panser akan mengalami kontraksi alias tumbuh negatif pada kuartal IV-2018. Jika ini terjadi, maka Jerman resmi mengalami resesi karena pada kuartal sebelumnya sudah mengalami kontraksi 0,2%. Resesi terjadi jika sebuah negara mengalami kontraksi dua kuartal beruntun pada tahun yang sama.
Jerman adalah ekonomi terbesar di Benua Biru sehingga masalah di sana akan menyeret negara-negara lainnya. Komisi Uni Eropa memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Zona Euro untuk 2019 dari 1,3% menjadi 1,9%.
Perkembangan di Eropa yang suram membuat pelaku pasar mencari 'bunker' perlindungan. Dolar AS ternyata masih menjadi pilihan utama. Oleh karena itu, tidak heran rupiah dan mata uang utama Asia lainnya tertekan. Sebab, dolar AS memang sedang menjadi primadona.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
(aji/aji)
Kemudian pada 6 Februari ada angka neraca perdagangan AS yang pada November 2018 tercatat defisit US$ 49,3 miliar. Masih defisit tetapi lebih sedikit dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai US$ 55,7 miliar. Defisit perdagangan November 2018 bahkan menjadi yang terendah dalam 5 bulan.
Lalu klaim tunjangan pengangguran pada pekan yang berakhir 2 Februari turun 19.000 menjadi 234 ribu. Ini menggambarkan dunia usaha di Negeri Paman Sam masih ekspansif sehingga terus mampu menciptakan lapangan kerja.
Prospek kenaikan suku bunga acuan membuat dolar AS menjadi menarik di mata investor. Berinvestasi di mata uang ini tetap akan menguntungkan, karena kenaikan suku bunga acuan akan menjangkar ekspektasi inflasi sehingga nilai mata uang tidak tergerus.
Selain data ekonomi yang mengesankan, dolar AS juga menjadi pelarian saat pelaku pasar melihat risiko perlambatan ekonomi global yang semakin nyata. Pekan ini, risiko tersebut muncul dari Eropa.
Biro Pusat Federal Jerman melaporkan produksi industri pada Desember 2018 turun 0,4% dibandingkan bulan sebelumnya. Jauh dibandingkan konsensus pasar yang dihimpun Reuters, yang memperkirakan kenaikan 0,7%.
Oleh karena itu, para ekonomi meramal ekonomi Negeri Panser akan mengalami kontraksi alias tumbuh negatif pada kuartal IV-2018. Jika ini terjadi, maka Jerman resmi mengalami resesi karena pada kuartal sebelumnya sudah mengalami kontraksi 0,2%. Resesi terjadi jika sebuah negara mengalami kontraksi dua kuartal beruntun pada tahun yang sama.
Jerman adalah ekonomi terbesar di Benua Biru sehingga masalah di sana akan menyeret negara-negara lainnya. Komisi Uni Eropa memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Zona Euro untuk 2019 dari 1,3% menjadi 1,9%.
Perkembangan di Eropa yang suram membuat pelaku pasar mencari 'bunker' perlindungan. Dolar AS ternyata masih menjadi pilihan utama. Oleh karena itu, tidak heran rupiah dan mata uang utama Asia lainnya tertekan. Sebab, dolar AS memang sedang menjadi primadona.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
(aji/aji)
Next Page
Data Ekonomi Domestik Kurang Oke
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular