Rupiah Masih 'Betah' Jadi yang Terlemah

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
07 February 2019 12:27
Rupiah Masih 'Betah' Jadi yang Terlemah
Ilustrasi Rupiah (REUTERS / Beawiharta)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masih saja melemah di perdagangan pasar spot hari ini. Bahkan dolar AS sudah semakin dekat dengan level Rp 14.000. 

Pada Kamis (7/2/2019) pukul 12:03 WIB, US$ 1 bernilai Rp 13.980 di perdagangan pasar spot. Rupiah melemah 0,45% dibandingkan posisi penutupan pasar hari sebelumnya. 

Saat pembukaan pasar, rupiah sudah melemah meski terbatas di 0,06%. Seiring perjalanan pasar, depresiasi rupiah semakin menjadi dan dolar AS sudah mengendus aroma Rp 14.000. 


Berikut pergerakan kurs dolar AS terhadap rupiah hingga tengah hari ini: 

 

Pelemahan rupiah yang semakin parah membuat mata uang Tanah Air menjadi yang terlemah di Asia. Memang yuan China melemah lebih dalam, tetapi tidak bisa dibandingkan karena pasar keuangan Negeri Tirai Bambu masih tutup memperingati Tahun Baru Imlek. 

Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 12:07 WIB: 

 


Terlihat bahwa sebenarnya bukan hanya rupiah yang melemah, tetapi hampir seluruh mata uang utama Asia. Maklum, dolar AS memang masih melanjutkan perjalanan di jalur pendakian.
 

Pada pukul 12:09 WIB, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback secara relatif di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,05%. Selama seminggu terakhir, indeks ini sudah naik 0,9%. 

Kekuatan dolar AS hari ini hadir dari rilis data neraca perdagangan yang pada November 2018 mencatat defisit US$ 49,3 miliar. Lebih baik ketimbang bulan sebelumnya yang minus US$ 55,7 miliar. Defisit neraca perdagangan November 2018 menjadi yang terendah dalam 5 bulan. 

Ada harapan neraca perdagangan AS bisa membaik ke depannya, apalagi kalau damai dagang dengan China benar-benar terwujud. Ekspor AS bisa meningkat dan defisit bisa ditekan. 

Pasokan valas dan permintaan dolar AS akan meningkat seiring membaiknya ekspor Negeri Paman Sam. Artinya, dolar AS akan punya dasar untuk menguat. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Namun apa yang membuat rupiah mengalami tekanan yang lebih berat dibandingkan kompatriotnya di Asia? Jawabannya tentu ada faktor domestik. 

Rupiah sepertinya terbeban oleh dirinya sendiri yang sudah menguat tajam sejak awal tahun. Penguatan yang mencapai 3% membuat rupiah sangat mungkin terserang koreksi teknikal.

Investor yang sudah menang banyak tentu akan tergoda untuk mencairkan keuntungan. Rupiah pun rawan terkena ambil untung (profit taking). 


Apalagi ada pemicu yang membuat investor merasa perlu untuk cabut dari pasar keuangan Indonesia, yaitu rilis data Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) periode Januari 2019. Bank Indonesia (BI) mencatat IKK pada bulan lalu sebesar 123,5. Konsumen masih optimistis karena nilainya di atas 100, tetapi optimismenya berkurang karena IKK pada bulan sebelumnya lebih tinggi yaitu 127. 

Porsi pendapatan yang digunakan untuk konsumsi pun turun dari 67,2% menjadi 66,8%. Lalu rasio untuk pembayaran cicilan naik dari 12,3% menjadi 13%. 

Memang ada unsur musiman yang menyebabkan penurunan IKK. Selepas Hari Natal, Tahun Baru, dan musim liburan pada Desember, konsumen kembali ke 'dunia nyata' pada Januari. Konsumsi yang turun setelah periode puncak adalah hal yang wajar. 

Namun bisa saja data ini menjadi sentimen negatif di pasar keuangan Indonesia, karena akan muncul persepsi bahwa konsumsi rumah tangga melambat. Sementara konsumsi rumah tangga adalah komponen utama pembentuk Produk Domestik Bruto (PDB) dengan kontribusi lebih dari 50%. 


Kala konsumsi rumah tangga melambat, maka pertumbuhan ekonomi juga tentu bakal tertatih-tatih. Persepsi perlambatan ekonomi bisa membuat investor kurang nyaman dan memilih pergi untuk sementara waktu. 

Pemicu lainnya adalah jelang rilis data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) esok hari. BI memperkirakan NPI kuartal IV-2018 bisa surplus, tetapi defisit di transaksi berjalan (current account) masih cukup lebar di kisaran 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB).


Artinya, pasokan devisa yang berjangka panjang dari aktivitas ekspor-impor barang dan jasa masih seret. Padahal ini adalah fundamental penting yang menyokong rupiah, dibandingkan arus modal portofolio alias hot money yang bisa datang dan pergi sesuka hati. 

Dengan kondisi fundamental yang agak rentan, rupiah pun ikut rawan terdepresiasi. Investor tentu menjadi berpikir ulang untuk mengoleksi rupiah, karena nilainya berisiko turun pada kemudian hari. 


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular