Sempat Menguat Tipis, Harga Minyak Turun Lagi Gara-Gara AS

Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
07 February 2019 11:23
Hingga pukul 11:00 WIB, harga minyak jenis Brent kontrak April kembali terkontraksi sebesar 0,33% ke posisi US$ 62,48/barel, setelah menguat 1,15% kemarin (6/2)
Foto: Ilustrasi: Labirin pipa dan katup minyak mentah di Strategic Petroleum Reserve di Freeport, Texas, AS 9 Juni 2016. REUTERS / Richard Carson / File Foto
Jakarta, CNBC Indonesia - Siang hari ini (7/2) harga minyak masih betah bermain di zona merah.

Hingga pukul 11:00 WIB, harga minyak jenis Brent kontrak April kembali terkontraksi sebesar 0,33% ke posisi US$ 62,48/barel, setelah menguat 1,15% kemarin (6/2).

Sedangkan harga minyak jenis ligtsweet (WTI) kontrak Maret juga terkoreksi sebesar 0,24% ke level US$ 53,88/barel, setelah naik 0,65% pada perdagangan kemarin.

Selama sepekan harga minyak sudah naik sekitar 1,3%, sedangkan sejak awal tahun harga emas hitam ini telah terdongkrak sekitar 17%.



Melemahnya harga hari ini dipengaruhi oleh naiknya cadangan minyak Amerika Serikat (AS). Kemarin lembaga pemerintah AS, Energy Information Administration (EIA) mencatatkan kenaikan cadangan minyak mentah AS sebesar 1,3 juta barel di minggu yang berakhir pada 1 Februari.

Hal ini kembali menimbulkan kekhawatiran pasar akan berlebihnya pasokan minyak dunia. Pasalnya, rata-rata mingguan produksi minyak mentah AS minggu lalu juga masih berada di rekor tertingginya, yaitu sebesar 11,9 juta barel yang telah dicapai sejak akhir 2018.

Sebagai informasi, sejak awal tahun 2018, produksi minyak AS melonjak lebih dari 2 juta barel/hari, membuat harga minyak di kuartal IV-2018 terjun bebas.

Selain itu, kemungkinan terjadinya kembali goverment shutdown juga memberi beban bagi harga minyak.

Pasalnya, anggaran pemerintah AS yang beberapa waktu lalu telah diloloskan hanya cukup untuk membiayai pemerintahan selama 3 minggu, yang mana akan jatuh tempo pada 15 Februari mendatang.

Terlebih lagi dalam pidatonya kemarin, Presiden AS Donald Trump terkesan masih bersikeras untuk tetap membangun tembok perbatasan AS-Meksiko. Bila menjelang pengajuan anggaran nanti perseteruan antara Trump dan Demokrat perihal tembok batas kembali memanas, bisa jadi pemerintahan akan kembali libur.

Tutupnya sebagian layanan pemerintahan akan membuat pegawai negeri kembali tidak digaji dan kontrak swasta dengan pemerintah terhenti. Akibatnya, konsumsi akan turun dan perekonomian menjadi lambat.

Ujung-ujungnya permintaan energi yang salah satunya berasal dari minyak akan terpangkas.

Namun, masih ada sentimen yang dapat memberikan energi positif bagi harga minyak, sehingga pelemahannya tidak terlalu dalam.

Salah satunya adalah pengetatan keran produksi yang dilakukan oleh Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) bersama dengan Rusia dan sekutu lainnya yang kemudian disebut dengan OPEC+.

Seperti yang telah diketahui, pada awal Desember 2018 lalu, OPEC+ telah bersepakat untuk mengurangi pasokan minyak sebesar 1,2 juta barel/hari yang dimulai pada Januari 2019.

Selanjutnya pada Januari lalu, produksi minyak 14 negara anggota OPEC tercatat turun lebih dari 800.000 barel/hari. Ini artinya OPEC benar-benar akan patuh pada kesepakatan yang telah dibuatnya.

Selain itu, sanksi AS yang dijatuhkan kepada industri minyak Venezuela membuat pasokan minyak dunia sedikit berkurang. Pasalnya ekspor minyak Venezuela mencapai 500.000 barel/hari dan hampir seluruhnya dikirim ke AS.

"Efek kumulatif dari turunnya produksi minyak yang dipimpin OPEC, dan tambahan sanksi AS terhadap perusahaan minyak Venezuela, dapat mendorong sentimen pasar," tulis Benjamin Lu, alah satu pialang Phillip Futures dalam sebuah catatan, mengutip Reuters.

TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/gus) Next Article Sepekan Melejit 5% Lebih, Harga Minyak Dunia kini Terpeleset

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular