
Rupiah Mejan di Kurs Acuan
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
07 February 2019 10:38

Jakarta, CNBC Indonesia - Senada dengan pasar spot, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pun melemah di kurs acuan. Winning streak rupiah selama 4 hari harus terhenti.
Pada Kamis (7/2/2019), kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor menunjukkan angka Rp 13.978. Rupiah melemah 0,22% dibandingkan posisi hari sebelumnya.
Pelemahan ini memutus rantai penguatan rupiah selama 4 hari beruntun di kurs acuan. Dalam periode tersebut, rupiah sudah menguat 1,17%. Sejak awal tahun, rupiah masih menguat tajam 3,47%.
Di pasar spot, rupiah melemah sejak pembukaan pasar. Pada pukul 10:06 WIB, US$ 1 sama dengan Rp 13.970 di mana rupiah melemah 0,38%.
Kala pembukaan pasar, rupiah sudah melemah 0,06%. Seiring perjalanan, depresiasi rupiah semakin dalam dan dolar AS kembali mencium aroma Rp 14.000.
Akibat pelemahannya yang kian menjadi, rupiah pun menjelma sebagai mata uang terlemah di Asia. Memang yuan China mencatatkan depresiasi lebih dalam. Namun pasar keuangan Negeri Tirai Bambu masih tutup memperingati Tahun Baru Imlek, sehingga kurs yuan masih mencerminkan posisi akhir pekan lalu dan tidak bisa dibandingkan.
Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning pada pukul 09:04 WIB:
Penguatan yang mencapai 3% membuat rupiah sangat mungkin terserang koreksi teknikal. Sebab investor yang sudah menang banyak tentu akan tergoda untuk mencairkan keuntungan. Rupiah pun rawan terkena ambil untung (profit taking).
Apalagi ada pemicu yang membuat investor merasa perlu untuk cabut dari pasar keuangan Indonesia, yaitu rilis data Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) periode Januari 2019. Bank Indonesia (BI) mencatat IKK pada bulan lalu sebesar 123,5. Konsumen masih optimistis karena nilainya di atas 100, tetapi optimismenya berkurang karena IKK pada bulan sebelumnya lebih tinggi yaitu 127.
Porsi pendapatan yang digunakan untuk konsumsi pun turun dari 67,2% menjadi 66,8%. Lalu rasio untuk pembayaran cicilan naik dari 12,3% menjadi 13%.
Memang ada unsur musiman yang menyebabkan penurunan IKK. Selepas Hari Natal, Tahun Baru, dan musim liburan pada Desember, konsumen kembali ke 'dunia nyata' pada Januari. Konsumsi yang turun setelah periode puncak adalah hal yang wajar.
Namun bisa saja data ini menjadi sentimen negatif di pasar keuangan Indonesia, karena akan muncul persepsi bahwa konsumsi rumah tangga melambat. Sementara konsumsi rumah tangga adalah komponen utama pembentuk Produk Domestik Bruto (PDB) dengan kontribusi lebih dari 50%.
Kala konsumsi rumah tangga melambat, maka pertumbuhan ekonomi juga tentu bakal tertatih-tatih. Persepsi perlambatan ekonomi bisa membuat investor kurang nyaman dan memilih pergi untuk sementara waktu.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Sementara dari sisi eksternal, rupiah dan sebagian mata uang Asia tidak mampu melawan keperkasaan dolar AS yang memang sedang menguat secara global. Pada pukul 10:17 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) masih menguat 0,04%.
Dalam sepekan terakhir, indeks ini menguat sampai 0,89%. Bahkan sejak awal tahun, Dollar Index sudah positif 0,26%.
Kekuatan dolar AS hari ini hadir dari rilis data neraca perdagangan yang pada November 2018 mencatat defisit US$ 49,3 miliar. Lebih baik ketimbang bulan sebelumnya yang minus US$ 55,7 miliar. Defisit neraca perdagangan November 2018 menjadi yang terendah dalam 5 bulan.
Ada harapan neraca perdagangan AS bisa membaik ke depannya, apalagi kalau damai dagang dengan China benar-benar terwujud. Ekspor AS bisa meningkat dan defisit bisa ditekan.
Pasokan valas dan permintaan dolar AS akan meningkat seiring membaiknya ekspor Negeri Paman Sam. Artinya, dolar AS akan punya dasar untuk menguat.
Selain itu, investor tampaknya masih menaruh kepercayaan terhadap dolar AS. Mengutip Reuters, investor justru menambah posisi jangka panjang mereka di mata uang Negeri Paman Sam. Artinya, pelaku pasar masih percaya terhadap dolar AS.
Pada pekan terakhir 2018, posisi jangka panjang di dolar AS mencapai US$ 32,48 miliar. Naik dibandingkan pekan sebelumnya yaitu US$ 29,72 miliar.
Sepertinya investor masih ragu terhadap prospek perekonomian di Asia, Eropa, dan wilayah lainnya. Potensi perlambatan ekonomi di China dan Zona Euro membuat pemilik modal masih berhasrat untuk memegang dolar AS.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Pada Kamis (7/2/2019), kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor menunjukkan angka Rp 13.978. Rupiah melemah 0,22% dibandingkan posisi hari sebelumnya.
Pelemahan ini memutus rantai penguatan rupiah selama 4 hari beruntun di kurs acuan. Dalam periode tersebut, rupiah sudah menguat 1,17%. Sejak awal tahun, rupiah masih menguat tajam 3,47%.
Di pasar spot, rupiah melemah sejak pembukaan pasar. Pada pukul 10:06 WIB, US$ 1 sama dengan Rp 13.970 di mana rupiah melemah 0,38%.
Kala pembukaan pasar, rupiah sudah melemah 0,06%. Seiring perjalanan, depresiasi rupiah semakin dalam dan dolar AS kembali mencium aroma Rp 14.000.
Akibat pelemahannya yang kian menjadi, rupiah pun menjelma sebagai mata uang terlemah di Asia. Memang yuan China mencatatkan depresiasi lebih dalam. Namun pasar keuangan Negeri Tirai Bambu masih tutup memperingati Tahun Baru Imlek, sehingga kurs yuan masih mencerminkan posisi akhir pekan lalu dan tidak bisa dibandingkan.
Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning pada pukul 09:04 WIB:
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Sentimen negatif bertubi-tubi menghantam rupiah, baik dari dalam maupun luar negeri. Dari sisi domestik, rupiah terbeban oleh dirinya sendiri yang sudah menguat tajam sejak awal tahun. Penguatan yang mencapai 3% membuat rupiah sangat mungkin terserang koreksi teknikal. Sebab investor yang sudah menang banyak tentu akan tergoda untuk mencairkan keuntungan. Rupiah pun rawan terkena ambil untung (profit taking).
Apalagi ada pemicu yang membuat investor merasa perlu untuk cabut dari pasar keuangan Indonesia, yaitu rilis data Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) periode Januari 2019. Bank Indonesia (BI) mencatat IKK pada bulan lalu sebesar 123,5. Konsumen masih optimistis karena nilainya di atas 100, tetapi optimismenya berkurang karena IKK pada bulan sebelumnya lebih tinggi yaitu 127.
Porsi pendapatan yang digunakan untuk konsumsi pun turun dari 67,2% menjadi 66,8%. Lalu rasio untuk pembayaran cicilan naik dari 12,3% menjadi 13%.
Memang ada unsur musiman yang menyebabkan penurunan IKK. Selepas Hari Natal, Tahun Baru, dan musim liburan pada Desember, konsumen kembali ke 'dunia nyata' pada Januari. Konsumsi yang turun setelah periode puncak adalah hal yang wajar.
Namun bisa saja data ini menjadi sentimen negatif di pasar keuangan Indonesia, karena akan muncul persepsi bahwa konsumsi rumah tangga melambat. Sementara konsumsi rumah tangga adalah komponen utama pembentuk Produk Domestik Bruto (PDB) dengan kontribusi lebih dari 50%.
Kala konsumsi rumah tangga melambat, maka pertumbuhan ekonomi juga tentu bakal tertatih-tatih. Persepsi perlambatan ekonomi bisa membuat investor kurang nyaman dan memilih pergi untuk sementara waktu.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Sementara dari sisi eksternal, rupiah dan sebagian mata uang Asia tidak mampu melawan keperkasaan dolar AS yang memang sedang menguat secara global. Pada pukul 10:17 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) masih menguat 0,04%.
Dalam sepekan terakhir, indeks ini menguat sampai 0,89%. Bahkan sejak awal tahun, Dollar Index sudah positif 0,26%.
Kekuatan dolar AS hari ini hadir dari rilis data neraca perdagangan yang pada November 2018 mencatat defisit US$ 49,3 miliar. Lebih baik ketimbang bulan sebelumnya yang minus US$ 55,7 miliar. Defisit neraca perdagangan November 2018 menjadi yang terendah dalam 5 bulan.
Ada harapan neraca perdagangan AS bisa membaik ke depannya, apalagi kalau damai dagang dengan China benar-benar terwujud. Ekspor AS bisa meningkat dan defisit bisa ditekan.
Pasokan valas dan permintaan dolar AS akan meningkat seiring membaiknya ekspor Negeri Paman Sam. Artinya, dolar AS akan punya dasar untuk menguat.
Selain itu, investor tampaknya masih menaruh kepercayaan terhadap dolar AS. Mengutip Reuters, investor justru menambah posisi jangka panjang mereka di mata uang Negeri Paman Sam. Artinya, pelaku pasar masih percaya terhadap dolar AS.
Pada pekan terakhir 2018, posisi jangka panjang di dolar AS mencapai US$ 32,48 miliar. Naik dibandingkan pekan sebelumnya yaitu US$ 29,72 miliar.
Sepertinya investor masih ragu terhadap prospek perekonomian di Asia, Eropa, dan wilayah lainnya. Potensi perlambatan ekonomi di China dan Zona Euro membuat pemilik modal masih berhasrat untuk memegang dolar AS.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular