
Mukjizat Biogas, Bisa Kurangi Impor LPG dan Emisi Karbon RI
Arif Gunawan, CNBC Indonesia
06 February 2019 15:08

Namun, di Indonesia pengembangan biogas terkesan sangat lambat di tengah masih banyaknya stereotip negatif seperti biaya pembuatannya yang mahal dan rumit, prosesnya yang kotor dan gasnya yang berbau menyengat.
“Anggapan tersebut sangat salah. Bahan baku biogas tersedia melimpah di sekitar kita, dan gasnya justru tidak berbau, tidak seperti gas elpiji yang memang diberi aroma agar masyarakat bisa mendeteksinya dengan mudah jika bocor,” tutur Dandi.
Biaya pembangunan reaktor biogas juga terhitung murah, jika dibandingkan dengan biaya pengadaan sumber energi terbarukan lainnya seperti solar panel.
Menurut Dandi, biaya pembangunan reaktor berkapasitas 4 m3 berkisar Rp 20 juta. Untuk skala rumah tangga, yang berkapasitas 1 m3, biayanya otomatis lebih kecil dari itu, di kisaran Rp 5 juta.
Dengan asumsi rumah tangga menghabiskan dua-tiga tabung LPG 3 kg/bulan—sesuai dengan penelitian Institut Pertanian Bogor (IPB) pada 2010, mereka mengeluarkan biaya Rp 54.000/bulan atau Rp 648.000/tahun.
Dus, investasi biogas akan impas untuk membayar biaya tersebut dalam 7 tahun, atau lebih cepat jika gas tersebut digunakan untuk dua atau lebih rumah tangga. Jangka waktu pengembalian investasi ini masih di atas umur reaktor biogas yang tahan hingga 15 tahun.
Belum lagi, jika kita bicara soal manfaat sampingan seperti produksi pupuk yang bisa menjadi solusi bagi persoalan pupuk nasional. Selama ini, Indonesia masih mengandalkan pupuk kimiawi yang berbasis gas alam dan menyedot subsidi nyaris Rp 30 triliun pada 2019.
Penggunaan biogas juga bakal meminimalisir efek rumah kaca dari sektor peternakan karena gas metana di sektor pertanian akan jauh berkurang karena dikelola menjadi sumber energi terbarukan. Bahkan, sektor ini akan mendapat berkah keberlanjutan produksi sapi karena peternak harus menjaga sapinya untuk memproduksi biogas dan tidak main potong.
“Jadi, tidak ada lagi cerita petani memotong sapi mereka sebelum menghasilkan anakan. Karena, mereka bergantung pada sapi tersebut untuk memproduksi gas,”ujar Dandi.
Lalu, apa problemnya hingga biogas sampai sekarang belum dioptimalkan dalam skala nasional? Jawabannya adalah minimnya pemahaman masyarakat dan keterbatasan sumber daya manusia (SDM) yang menggeluti bidang ini.
“Bicara energi terbarukan maka kita bicara keberlanjutan. Jangan sampai membuat 1.000 biodigester tetapi malah mangkrak karena masyarakat tidak memiliki kesadaran dan pemahaman mengenai pengoperasian dan perawatannya,” ujar Kepala Program Studi Energi Terbarukan Sekolah Pascasarjana Energi Terbarukan Universitas Darma Persada (UNSADA) Aep Saipul Uyun.
Guna mempercepat pengembangan biogas secara nasional, pihaknya menggandeng Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) Energi Terbarukan untuk menggelar uji kompetensi dan sertifikasi SDM setiap tahunnya untuk pengembangan energi terbarukan seperti panel surya, angin, dan termasuk biogas.
Dari sisi pendanaan, pemerintah perlu memberikan dukungan dengan menggencarkan program corporate social responsibility (CSR) perusahaan BUMN untuk membangun biogas di berbagai penjuru Tanah Air, terutama di sentra-sentra peternakan sapi.
Jika langkah tersebut diefektifkan, maka terbukalah peluang Indonesia terbebas dari impor LPG, dan secara bersamaan mengurangi subsidi pupuk serta emisi gas rumah kaca. Pertanyaannya sekarang: adakah komitmen pemerintah untuk menuju ke sana?
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/gus)
“Anggapan tersebut sangat salah. Bahan baku biogas tersedia melimpah di sekitar kita, dan gasnya justru tidak berbau, tidak seperti gas elpiji yang memang diberi aroma agar masyarakat bisa mendeteksinya dengan mudah jika bocor,” tutur Dandi.
Biaya pembangunan reaktor biogas juga terhitung murah, jika dibandingkan dengan biaya pengadaan sumber energi terbarukan lainnya seperti solar panel.
Dengan asumsi rumah tangga menghabiskan dua-tiga tabung LPG 3 kg/bulan—sesuai dengan penelitian Institut Pertanian Bogor (IPB) pada 2010, mereka mengeluarkan biaya Rp 54.000/bulan atau Rp 648.000/tahun.
Dus, investasi biogas akan impas untuk membayar biaya tersebut dalam 7 tahun, atau lebih cepat jika gas tersebut digunakan untuk dua atau lebih rumah tangga. Jangka waktu pengembalian investasi ini masih di atas umur reaktor biogas yang tahan hingga 15 tahun.
Belum lagi, jika kita bicara soal manfaat sampingan seperti produksi pupuk yang bisa menjadi solusi bagi persoalan pupuk nasional. Selama ini, Indonesia masih mengandalkan pupuk kimiawi yang berbasis gas alam dan menyedot subsidi nyaris Rp 30 triliun pada 2019.
Penggunaan biogas juga bakal meminimalisir efek rumah kaca dari sektor peternakan karena gas metana di sektor pertanian akan jauh berkurang karena dikelola menjadi sumber energi terbarukan. Bahkan, sektor ini akan mendapat berkah keberlanjutan produksi sapi karena peternak harus menjaga sapinya untuk memproduksi biogas dan tidak main potong.
“Jadi, tidak ada lagi cerita petani memotong sapi mereka sebelum menghasilkan anakan. Karena, mereka bergantung pada sapi tersebut untuk memproduksi gas,”ujar Dandi.
Lalu, apa problemnya hingga biogas sampai sekarang belum dioptimalkan dalam skala nasional? Jawabannya adalah minimnya pemahaman masyarakat dan keterbatasan sumber daya manusia (SDM) yang menggeluti bidang ini.
“Bicara energi terbarukan maka kita bicara keberlanjutan. Jangan sampai membuat 1.000 biodigester tetapi malah mangkrak karena masyarakat tidak memiliki kesadaran dan pemahaman mengenai pengoperasian dan perawatannya,” ujar Kepala Program Studi Energi Terbarukan Sekolah Pascasarjana Energi Terbarukan Universitas Darma Persada (UNSADA) Aep Saipul Uyun.
Guna mempercepat pengembangan biogas secara nasional, pihaknya menggandeng Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) Energi Terbarukan untuk menggelar uji kompetensi dan sertifikasi SDM setiap tahunnya untuk pengembangan energi terbarukan seperti panel surya, angin, dan termasuk biogas.
Dari sisi pendanaan, pemerintah perlu memberikan dukungan dengan menggencarkan program corporate social responsibility (CSR) perusahaan BUMN untuk membangun biogas di berbagai penjuru Tanah Air, terutama di sentra-sentra peternakan sapi.
Jika langkah tersebut diefektifkan, maka terbukalah peluang Indonesia terbebas dari impor LPG, dan secara bersamaan mengurangi subsidi pupuk serta emisi gas rumah kaca. Pertanyaannya sekarang: adakah komitmen pemerintah untuk menuju ke sana?
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/gus)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular