Mukjizat Biogas, Bisa Kurangi Impor LPG dan Emisi Karbon RI

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
06 February 2019 15:08
Mukjizat Biogas, Bisa Kurangi Impor LPG dan Emisi Karbon RI
Jakarta, CNBC Indonesia- Sebagai penghasil emisi karbon tertinggi kedelapan dunia-menurut World Resource Institute (WRI), Indonesia pun masuk di radar dunia terkait dengan upaya pengurangan emisi karbondioksida (CO2).

Saat ini, Indonesia menyumbang 1,7% emisi karbon dunia, yang sebagian besar berasal dari konsumsi energi fosil dengan emisi sebesar 489,1 juta metrik ton. Sektor pertanian dan sampah menyusul masing-masing sebesar 160,3 juta metrik ton dan 64,7 juta metrik ton CO2.



Dari sisi energi, fosil juga menjadi penyumbang utama emisi di Indonesia yang juga membebani kas negara. Subsidi elpiji tahun ini dialokasikan sebesar Rp 72 triliun, atau yang tertinggi di antara pos subsidi energi, dan terhitung naik nyaris 3 kali lipat dari alokasi 2018 senilai Rp 25 triliun.

Setiap tahunnya, Pertamina mengimpor 5,5 juta ton elpiji, setara dengan 70% kebutuhan nasional. Dari penggunaan 1,9 juta metrik ton (MT) di 2008, penggunaan LPG terus melonjak hingga menyentuh 7,3 juta MT akhir tahun lalu.

Dari sisi pertanian, sumbangan terbesar berasal dari kotoran sapi, pembakaran lahan atau jerami selepas masa panen, dan penggunaan pupuk kimiawi-yang berbahan baku dari sumber fosil yakni gas. Bicara pupuk, pemerintah juga menanggung subsidi pupuk, yakni sebesar Rp 29,5 triliun tahun ini.

Di tengah kondisi demikian, sebuah solusi sebenarnya tersedia di sekitar kita: murah, relatif aman, tersedia berlimpah, yakni biogas dari kotoran (feses) sapi.

"Sapi jika bersendawa mengeluarkan gas. Setiap ekor sapi mengeluarkan gas metana sebesar 56 kg, per tahun, melalui kotorannya," tutur Dandi Budiman, aktivis pengembangan biogas kepada CNBC Indonesia baru-baru ini.

Gas metana, yang sangat mudah terbakar, merupakan komponen utama biogas, yang merupakan sumber energi baru dan terbarukan (EBT). Reaktor biogas  atau biodigester mempekerjakan bakteri pengurai kotoran sapi dan sampah organik secara anaerobik (tanpa oksigen) guna memproduksi metana.

Jika kotoran sapi dimanfaatkan sebagai biogas, lanjut Dandi, emisi karbon di Indonesia pun bakal menurun. Dan harap dicatat, biogas bisa menggantikan elpiji dan menghasilkan produk sampingan pupuk alami. Ibarat kata "sekali merengkuh dayung, tiga pulau terlampaui."

Lalu sejauh mana biogas dapat menjadi solusi bagi tiga persoalan tersebut, dan apa saja kendala yang menghadangnya, berikut ini ulasan Tim Riset CNBC Indonesia.

NEXT

Mengutip Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno, republik ini mengimpor 70% dari konsumsi gas liquefied petroleum gas (LPG) yang mencapai 7,3 juta metrik ton per tahun—setara dengan 3 juta meter kubik.

Artinya, setiap tahun Pertamina mengimpor gas LPG sebanyak 5,11 juta metrik ton, atau setara dengan 2,12 juta meter kubik gas. Apakah Indonesia bisa menghasilkan biogas dengan kapasitas total sebanyak itu? Ternyata bisa.

Populasi sapi potong Indonesia, mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) per 2018, mencapai 17,05 juta ekor sedangkan populasi sapi perah sebanyak 550.141 ekor. Sentra peternakan sapi ada di Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara.



Mengutip Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian (2007), setiap ekor sapi muda menghasilkan kotoran 15-30 kg/hari. Dengan memakai nilai median 20 kg, maka 17,6 juta sapi di Indonesia menghasilkan kotoran sebanyak 352.000 ton/hari.


Menurut Dandi, reaktor biogas terkecil berkapasitas pengolahan 1 meter kubik membutuhkan pasokan kotoran sapi sebanyak 10 kilogram per hari. Dengan kata lain, sapi Indonesia bisa memasok 35,2 juta unit reaktor berkapasitas ini.

Ingin Tiga Problem Nasional Ini Teratasi? Garap Biogas!Sumber: Primary Energy

Mengacu pada data Kementerian Pertanian, yang menunjukkan bahwa gas yang diproduksi 1 meter kubik reaktor biogas setara dengan 0,46 kilogram gas LPG per hari, maka 35,2 juta reaktor biogas itu memproduksi 14,08 miliar liter biogas per hari.

Jika disetahunkan, angkanya setara dengan 5.139,2 miliar liter per tahun atau setara dengan 5,91 juta meter kubik. Bandingkan dengan konsumsi nasional LPG per tahun yang hanya separuhnya atau 3 juta meter kubik!

Artinya, biogas dari kotoran sapi yang ada sekarang di negeri cukup untuk memenuhi kebutuhan gas untuk memasak bagi penduduk Indonesia setiap tahunnya. Dan, bahkan surplus sebesar 99% sehingga bisa diekspor ke negara tetangga.

NEXT


Namun, di Indonesia pengembangan biogas terkesan sangat lambat di tengah masih banyaknya stereotip negatif seperti biaya pembuatannya yang mahal dan rumit, prosesnya yang kotor dan gasnya yang berbau menyengat.

“Anggapan tersebut sangat salah. Bahan baku biogas tersedia melimpah di sekitar kita, dan gasnya justru tidak berbau, tidak seperti gas elpiji yang memang diberi aroma agar masyarakat bisa mendeteksinya dengan mudah jika bocor,” tutur Dandi.

Biaya pembangunan reaktor biogas juga terhitung murah, jika dibandingkan dengan biaya pengadaan sumber energi terbarukan lainnya seperti solar panel.

Menurut Dandi, biaya pembangunan reaktor berkapasitas 4 m3 berkisar Rp 20 juta.
Untuk skala rumah tangga, yang berkapasitas 1 m3, biayanya otomatis lebih kecil dari itu, di kisaran Rp 5 juta.

Dengan asumsi rumah tangga menghabiskan dua-tiga tabung LPG 3 kg/bulan—sesuai dengan penelitian Institut Pertanian Bogor (IPB) pada 2010, mereka mengeluarkan biaya Rp 54.000/bulan atau Rp 648.000/tahun.


Dus, investasi biogas akan impas untuk membayar biaya tersebut dalam 7 tahun, atau lebih cepat jika gas tersebut digunakan untuk dua atau lebih rumah tangga. Jangka waktu pengembalian investasi ini masih di atas umur reaktor biogas yang tahan hingga 15 tahun.

Belum lagi, jika kita bicara soal manfaat sampingan seperti produksi pupuk yang bisa menjadi solusi bagi persoalan pupuk nasional. Selama ini, Indonesia masih mengandalkan pupuk kimiawi yang berbasis gas alam dan menyedot subsidi nyaris Rp 30 triliun pada 2019.



Penggunaan biogas juga bakal meminimalisir efek rumah kaca dari sektor peternakan karena gas metana di sektor pertanian akan jauh berkurang karena dikelola menjadi sumber energi terbarukan.
Bahkan, sektor ini akan mendapat berkah keberlanjutan produksi sapi karena peternak harus menjaga sapinya untuk memproduksi biogas dan tidak main potong.

“Jadi, tidak ada lagi cerita petani memotong sapi mereka sebelum menghasilkan anakan. Karena, mereka bergantung pada sapi tersebut untuk memproduksi gas,”ujar Dandi.


Lalu, apa problemnya hingga biogas sampai sekarang belum dioptimalkan dalam skala nasional? Jawabannya adalah minimnya pemahaman masyarakat dan keterbatasan sumber daya manusia (SDM) yang menggeluti bidang ini.

“Bicara energi terbarukan maka kita bicara keberlanjutan. Jangan sampai membuat 1.000 biodigester tetapi malah mangkrak karena masyarakat tidak memiliki kesadaran dan pemahaman mengenai pengoperasian dan perawatannya,” ujar Kepala Program Studi Energi Terbarukan Sekolah Pascasarjana Energi Terbarukan Universitas Darma Persada (UNSADA) Aep Saipul Uyun.

Guna mempercepat pengembangan biogas secara nasional, pihaknya menggandeng Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) Energi Terbarukan untuk menggelar uji kompetensi dan sertifikasi SDM setiap tahunnya untuk pengembangan energi terbarukan seperti panel surya, angin, dan termasuk biogas.

Dari sisi pendanaan, pemerintah perlu memberikan dukungan dengan menggencarkan program corporate social responsibility (CSR) perusahaan BUMN untuk membangun biogas di berbagai penjuru Tanah Air, terutama di sentra-sentra peternakan sapi.

Jika langkah tersebut diefektifkan, maka terbukalah peluang Indonesia terbebas dari impor LPG, dan secara bersamaan mengurangi subsidi pupuk serta emisi gas rumah kaca. Pertanyaannya sekarang: adakah komitmen pemerintah untuk menuju ke sana?

TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular