
Esok Diumumkan, Akankah PDB RI di 2018 Tumbuh Sesuai Ramalan?
Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
05 February 2019 15:10

Jakarta, CNBC Indonesia - Besok (6/2/2019), Badan Pusat Statistik (BPS) dijadwalkan akan merilis data Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia kuartal IV-2018 dan keseluruhan tahun 2018.
Konsensus pasar yang berhasil dihimpun oleh CNBC Indonesia memprediksi pertumbuhan ekonomi pada kuartal IV-2018 sebesar 5,12% dibanding dengan kuartal IV-2017. Sedangkan pertumbuhan ekonomi tahun 2018 diprediksi tumbuh 5,15% dibanding tahun 2017.
Hal senada juga dikemukakan konsensus yang dihimpun Reuters, yang mana memprediksi pertumbuhan PDB 2018 secara tahunan (yoy) masih akan terus tumbuh sebesar 5,15%.
Jika angka prediksi konsensus benar, maka laju pertumbuhan ekonomi tersebut merupakan yang tertinggi di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Selain itu, pertumbuhan ekonomi yang meningkat di tahun 2018 juga menunjukkan ketahanan dalam negeri terbilang cukup kuat menghadapi gejolak perekonomian dunia.
Seperti yang telah diketahui, tahun 2018 merupakan tahun berat di mana terjadi perlambatan ekonomi dunia, yang salah satunya disebabkan oleh perang dagang antara Amerika Serikat-China.
Perekonomian yang terbilang kuat akan membuat investor tidak ragu-ragu untuk mengalirkan dananya ke pasar modal. Tak heran karena potensi keuntungan yang akan didapat juga akan tinggi jika pertumbuhan ekonomi suatu negara melaju kencang. Terlebih lagi bila ternyata nilai pertumbuhan ekonomi yang dirilis besok bisa melampaui ekspektasi pasar.
Namun perlu diwaspadai apabila pertumbuhan ekonomi nyatanya tak sebagus angka prediksi. Artinya investor harus kembali berhitung ulang dan hal ini akan menghambat potensi arus modal yang masuk.
Simak faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi sepanjang 2018>>
Pertumbuhan ekonomi tahun 2018 masih akan banyak disokong oleh pertumbuhan pengeluaran konsumsi rumah tangga. Pasalnya konsumsi rumah tangga masih menyumbang lebih dari setengah PDB Indonesia. Sebagai informasi, 56,13% PDB Indonesia dibentuk oleh konsumsi rumah tangga pada tahun 2017.
Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia memprediksi pertumbuhan konsumsi akan melebihi 5% sepanjang 2018. Sebagai informasi, pertumbuhan konsumsi di tahun 2017 hanya sebesar 4,95%.
Salah satu faktor yang membuat konsumsi rumah tangga dapat terjaga adalah tingkat inflasi yang dapat dipertahankan di level 3,13%. Angka ini turun dari tahun 2017 yang sebesar 3,61%. Saat harga-harga relatif tak banyak kenaikan, maka tingkat konsumsi warga dapat terjaga. Apalagi pada tahun 2018 tak ada kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) sama sekali sebagaimana 2017.
Namun, memang tahun 2018 performa perdagangan barang tak bisa banyak diharapkan. Harga minyak yang melambung tinggi pada 2018 sukses membuat defisit di sektor migas jebol. Harga minyak turun sekitar 20% sepanjang 2018, namun rata-rata tahunan harga minyak naik sekitar 30% dibanding 2017.
Karena Indonesia masih merupakan net-importir minyak, yang artinya impor minyak lebih besar ketimbang ekspornya, maka naiknya harga minyak merupakan petaka yang sulit untuk dihindari.
Tak hanya itu, harga-harga komoditas yang turun juga membuat pertumbuhan nilai ekspor menjadi kerdil. Tercatat sepanjang 2018 harga CPO turun 15,26%, karet amblas 16,26%, tembaga jeblok 20,28%, dan aluminium tergerus 19,28%.
Karena memang ketergantungan nilai ekspor yang masih tinggi terhadap harga komoditas, tak heran pada tahun 2018 surplus perdagangan non-migas hanya sebesar US$ 3,8 miliar atau terkecil di era Jokowi.
Kombinasi jebolnya defisit migas dan surplus non-migas yang kecil sukses membuat neraca perdagangan sepanjang 2018 defisit sebesar US$ 8,57 miliar, yang merupakan terparah sepanjang sejarah Indonesia.
Bagaimana kondisi tahun 2019? >>> Pertumbuhan ekonomi di tahun 2019 diprediksi masih akan terus meningkat. Bahkan LPEM UI memperkirakan angkanya akan berada di kisaran 5,2% hingga 5,3%.
Lagi-lagi pertumbuhan konsumsi juga masih diprediksi meningkat di tahun 2019 dibandingkan tahun 2018. Namun yang perlu diwaspadai adalah kenaikan harga BBM yang berpotensi meningkatkan inflasi.
Harga BBM dapat relatif stabil tahun 2018 (di tengah tinggnya harga minyak dunia) disebabkan oleh tingginya subsidi pemerintah. Bahkan realisasi subsidi BBM dan LPG tahun 2018 mencapai 207% atau dua kali lipat lebih dari anggaran belanja pemerintah pusat.
Bila harga BBM naik, maka dampaknya akan meluas ke harga komoditas lain. Sebab, BBM merupakan komponen dalam proses produksi, seperti mesin produksi dan transportasi barang.
Selain itu, dari sisi investasi, Penanaman Modal Asing (PMA) juga diprediksi akan kembali meningkat di tahun 2019. Masih menurut LPEM UI, ada beberapa faktor yang dapat merangsang pertumbuhan PMA.
Pertama, revisi Daftar Negatif Investasi (DNI) 2018 yang dikeluarkan pemerintah pada November 2018 diprediksi akan meningkatkan minat asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Dalam revisinya, ada 25 bidang usaha yang bisa 100% dimiliki oleh investor asing.
Kedua, juga di bulan November 2018, pemerintah memberlakukan perluasan fasilitas libur pajak (tax holiday) pada 18 sektor usaha seperti industri pengolahan pertanian dan sektor ekonomi digital.
Meningkatnya jumlah investasi diharapkan akan memberi sokongan pada defisit transaksi berjalan (CAD) yang kian melebar. Tercatat pada kuartal III-2018 nilai CAD mencapai 3,37% dari PDB atau yang terparah sejak 2014.
Meski demikian, fluktuasi harga komoditas masih tetap menjadi ancaman yang akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Pasalnya, hasil ekspor dari dalam negeri masih banyak tergantung dari harga komoditas.
Apalagi pertumbuhan sektor manufaktur yang masih terus di bawah pertumbuhan ekonomi sejak 2014. Bahkan di tahun 2018 pertumbuhan produksi manufaktur hanya sebesar 4,07%, yang mana melambat dari tahun 2017 yang sebesar 4,74%.
Bila harga-harga komoditas, terutama batu bara dan CPO, kembali jatuh tahun ini, maka target pertumbuhan ekonomi 5,4% bisa mendapat hambatan.
(taa/taa) Next Article Yakin, Pertumbuhan Ekonomi RI Bakal Lebih Baik di Q4-2019!
Konsensus pasar yang berhasil dihimpun oleh CNBC Indonesia memprediksi pertumbuhan ekonomi pada kuartal IV-2018 sebesar 5,12% dibanding dengan kuartal IV-2017. Sedangkan pertumbuhan ekonomi tahun 2018 diprediksi tumbuh 5,15% dibanding tahun 2017.
Hal senada juga dikemukakan konsensus yang dihimpun Reuters, yang mana memprediksi pertumbuhan PDB 2018 secara tahunan (yoy) masih akan terus tumbuh sebesar 5,15%.
Jika angka prediksi konsensus benar, maka laju pertumbuhan ekonomi tersebut merupakan yang tertinggi di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Selain itu, pertumbuhan ekonomi yang meningkat di tahun 2018 juga menunjukkan ketahanan dalam negeri terbilang cukup kuat menghadapi gejolak perekonomian dunia.
Seperti yang telah diketahui, tahun 2018 merupakan tahun berat di mana terjadi perlambatan ekonomi dunia, yang salah satunya disebabkan oleh perang dagang antara Amerika Serikat-China.
Perekonomian yang terbilang kuat akan membuat investor tidak ragu-ragu untuk mengalirkan dananya ke pasar modal. Tak heran karena potensi keuntungan yang akan didapat juga akan tinggi jika pertumbuhan ekonomi suatu negara melaju kencang. Terlebih lagi bila ternyata nilai pertumbuhan ekonomi yang dirilis besok bisa melampaui ekspektasi pasar.
Namun perlu diwaspadai apabila pertumbuhan ekonomi nyatanya tak sebagus angka prediksi. Artinya investor harus kembali berhitung ulang dan hal ini akan menghambat potensi arus modal yang masuk.
Simak faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi sepanjang 2018>>
Pertumbuhan ekonomi tahun 2018 masih akan banyak disokong oleh pertumbuhan pengeluaran konsumsi rumah tangga. Pasalnya konsumsi rumah tangga masih menyumbang lebih dari setengah PDB Indonesia. Sebagai informasi, 56,13% PDB Indonesia dibentuk oleh konsumsi rumah tangga pada tahun 2017.
Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia memprediksi pertumbuhan konsumsi akan melebihi 5% sepanjang 2018. Sebagai informasi, pertumbuhan konsumsi di tahun 2017 hanya sebesar 4,95%.
Salah satu faktor yang membuat konsumsi rumah tangga dapat terjaga adalah tingkat inflasi yang dapat dipertahankan di level 3,13%. Angka ini turun dari tahun 2017 yang sebesar 3,61%. Saat harga-harga relatif tak banyak kenaikan, maka tingkat konsumsi warga dapat terjaga. Apalagi pada tahun 2018 tak ada kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) sama sekali sebagaimana 2017.
Namun, memang tahun 2018 performa perdagangan barang tak bisa banyak diharapkan. Harga minyak yang melambung tinggi pada 2018 sukses membuat defisit di sektor migas jebol. Harga minyak turun sekitar 20% sepanjang 2018, namun rata-rata tahunan harga minyak naik sekitar 30% dibanding 2017.
Karena Indonesia masih merupakan net-importir minyak, yang artinya impor minyak lebih besar ketimbang ekspornya, maka naiknya harga minyak merupakan petaka yang sulit untuk dihindari.
Tak hanya itu, harga-harga komoditas yang turun juga membuat pertumbuhan nilai ekspor menjadi kerdil. Tercatat sepanjang 2018 harga CPO turun 15,26%, karet amblas 16,26%, tembaga jeblok 20,28%, dan aluminium tergerus 19,28%.
Karena memang ketergantungan nilai ekspor yang masih tinggi terhadap harga komoditas, tak heran pada tahun 2018 surplus perdagangan non-migas hanya sebesar US$ 3,8 miliar atau terkecil di era Jokowi.
Kombinasi jebolnya defisit migas dan surplus non-migas yang kecil sukses membuat neraca perdagangan sepanjang 2018 defisit sebesar US$ 8,57 miliar, yang merupakan terparah sepanjang sejarah Indonesia.
Bagaimana kondisi tahun 2019? >>> Pertumbuhan ekonomi di tahun 2019 diprediksi masih akan terus meningkat. Bahkan LPEM UI memperkirakan angkanya akan berada di kisaran 5,2% hingga 5,3%.
Lagi-lagi pertumbuhan konsumsi juga masih diprediksi meningkat di tahun 2019 dibandingkan tahun 2018. Namun yang perlu diwaspadai adalah kenaikan harga BBM yang berpotensi meningkatkan inflasi.
Harga BBM dapat relatif stabil tahun 2018 (di tengah tinggnya harga minyak dunia) disebabkan oleh tingginya subsidi pemerintah. Bahkan realisasi subsidi BBM dan LPG tahun 2018 mencapai 207% atau dua kali lipat lebih dari anggaran belanja pemerintah pusat.
Bila harga BBM naik, maka dampaknya akan meluas ke harga komoditas lain. Sebab, BBM merupakan komponen dalam proses produksi, seperti mesin produksi dan transportasi barang.
Selain itu, dari sisi investasi, Penanaman Modal Asing (PMA) juga diprediksi akan kembali meningkat di tahun 2019. Masih menurut LPEM UI, ada beberapa faktor yang dapat merangsang pertumbuhan PMA.
Pertama, revisi Daftar Negatif Investasi (DNI) 2018 yang dikeluarkan pemerintah pada November 2018 diprediksi akan meningkatkan minat asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Dalam revisinya, ada 25 bidang usaha yang bisa 100% dimiliki oleh investor asing.
Kedua, juga di bulan November 2018, pemerintah memberlakukan perluasan fasilitas libur pajak (tax holiday) pada 18 sektor usaha seperti industri pengolahan pertanian dan sektor ekonomi digital.
Meningkatnya jumlah investasi diharapkan akan memberi sokongan pada defisit transaksi berjalan (CAD) yang kian melebar. Tercatat pada kuartal III-2018 nilai CAD mencapai 3,37% dari PDB atau yang terparah sejak 2014.
Meski demikian, fluktuasi harga komoditas masih tetap menjadi ancaman yang akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Pasalnya, hasil ekspor dari dalam negeri masih banyak tergantung dari harga komoditas.
Apalagi pertumbuhan sektor manufaktur yang masih terus di bawah pertumbuhan ekonomi sejak 2014. Bahkan di tahun 2018 pertumbuhan produksi manufaktur hanya sebesar 4,07%, yang mana melambat dari tahun 2017 yang sebesar 4,74%.
Bila harga-harga komoditas, terutama batu bara dan CPO, kembali jatuh tahun ini, maka target pertumbuhan ekonomi 5,4% bisa mendapat hambatan.
(taa/taa) Next Article Yakin, Pertumbuhan Ekonomi RI Bakal Lebih Baik di Q4-2019!
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular