
Akhir 2019, Rupiah Diprediksi Melemah ke Rp 14.400/US$!
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
04 February 2019 18:31

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah dan mata uang Asia bergerak menguat selama Januari 2019. Namun bukan berarti bisa berleha-leha, karena masih ada tantangan besar yang mengadang.
Sejak awal Januari hingga awal Februari, rupiah menguat 3,06% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). Mayoritas mata uang Asia pun menguat, tetapi rupiah standout dan menduduki peringkat pertama. Bahkan selisih dengan baht Thailand di posisi runner-up cukup jauh.
Mengutip riset UOB, setidaknya ada dua faktor utama penyebab keperkasaan mata uang Asia. Pertama adalah komentar dan posisi (stance) The Federal Reserves/The Fed yang kian kalem.
Sejak akhir 2018 hingga awal 2019, para pejabat Bank Sentral AS silih berganti mengeluarkan komentar bernada dovish. Komentar-komentar tersebut terakumulasi dan akhirnya tercermin dalam hasil rapat bulanan komite pengambil kebijakan The Fed (Federal Open Market Committee/FOMC) edisi Januari 2019.
Jerome 'Jay' Powell dan kawan-kawan memutuskan mempertahankan suku bunga acuan Federal Funds Rate di 2,25-2,5% atau median 2,375%. Tidak hanya itu, The Fed juga mengeluarkan pernyataan berirama kalem dalam keterangan tertulisnya.
"Dalam situasi ekonomi global dan pasar keuangan saat ini, serta tekanan inflasi yang minim, Komite akan bersabar dalam menentukan kenaikan suku bunga acuan berikutnya," tulis pernyataan The Fed.
Situasi ini sangat tidak menguntungkan bagi dolar AS. Tanpa iming-iming kenaikan suku bunga yang agresif seperti tahun lalu, berinvestasi di dolar AS menjadi kurang menarik.
Dolar AS terserang tekanan jual dan nilainya terus melemah. Sepanjang Januari, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama) melemah 0,62%.
Rupiah dkk di Asia berhasil memanfaatkan tekanan yang dialami dolar AS. Hasilnya jelas, mata uang Asia berhasil 'mengeroyok' mata uang Negeri Paman Sam.
Faktor kedua adalah aura damai dagang AS-China yang semakin nyata. Komentar-komentar optimistis datang dari Beijing dan Washington. Puncaknya adalah kedatangan Wakil Perdana Menteri China Liu He ke Washington.
Pelaku pasar pun bungah bin semringah. Ada harapan AS-China tidak akan lagi saling hambat dalam perdagangan. Arus perdagangan dan rantai pasok dunia akan kembali pulih, ada peluang bagi pertumbuhan ekonomi yang lebih baik.
Hal ini membuat pasar semakin berani mengambil risiko, tidak ada istilah bermain aman. Aset-aset berisiko di negara berkembang pun diborong, sehingga memperkuat nilai mata uang termasuk rupiah.
Sejak awal Januari hingga awal Februari, rupiah menguat 3,06% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). Mayoritas mata uang Asia pun menguat, tetapi rupiah standout dan menduduki peringkat pertama. Bahkan selisih dengan baht Thailand di posisi runner-up cukup jauh.
Sejak akhir 2018 hingga awal 2019, para pejabat Bank Sentral AS silih berganti mengeluarkan komentar bernada dovish. Komentar-komentar tersebut terakumulasi dan akhirnya tercermin dalam hasil rapat bulanan komite pengambil kebijakan The Fed (Federal Open Market Committee/FOMC) edisi Januari 2019.
Jerome 'Jay' Powell dan kawan-kawan memutuskan mempertahankan suku bunga acuan Federal Funds Rate di 2,25-2,5% atau median 2,375%. Tidak hanya itu, The Fed juga mengeluarkan pernyataan berirama kalem dalam keterangan tertulisnya.
"Dalam situasi ekonomi global dan pasar keuangan saat ini, serta tekanan inflasi yang minim, Komite akan bersabar dalam menentukan kenaikan suku bunga acuan berikutnya," tulis pernyataan The Fed.
Situasi ini sangat tidak menguntungkan bagi dolar AS. Tanpa iming-iming kenaikan suku bunga yang agresif seperti tahun lalu, berinvestasi di dolar AS menjadi kurang menarik.
Dolar AS terserang tekanan jual dan nilainya terus melemah. Sepanjang Januari, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama) melemah 0,62%.
Rupiah dkk di Asia berhasil memanfaatkan tekanan yang dialami dolar AS. Hasilnya jelas, mata uang Asia berhasil 'mengeroyok' mata uang Negeri Paman Sam.
Faktor kedua adalah aura damai dagang AS-China yang semakin nyata. Komentar-komentar optimistis datang dari Beijing dan Washington. Puncaknya adalah kedatangan Wakil Perdana Menteri China Liu He ke Washington.
Pelaku pasar pun bungah bin semringah. Ada harapan AS-China tidak akan lagi saling hambat dalam perdagangan. Arus perdagangan dan rantai pasok dunia akan kembali pulih, ada peluang bagi pertumbuhan ekonomi yang lebih baik.
Hal ini membuat pasar semakin berani mengambil risiko, tidak ada istilah bermain aman. Aset-aset berisiko di negara berkembang pun diborong, sehingga memperkuat nilai mata uang termasuk rupiah.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Next Page
Masih Ada Risiko Besar
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular