
Saling Tarik Sentiman Buat Harga Minyak Cenderung Stagnan
Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
04 February 2019 12:23

Jakarta, CNBC Indonesia - Siang hari ini (4/1/2019) harga minyak dunia cenderung stagnan.
Hingga pukul 12:00 WIB, harga minyak mentah jenis Brent menguat tipis sebesar 0,14% ke posisi US$ 62,84/barel, setelah ditutup menguat 3,14% pada akhir pekan lalu.
Sedangkan harga minyak mentah jenis lightsweet (WTI) bertahan di posisi US$ 55,26/barel, setelah sempat menguat 2,73% pada penutupan perdagangan sebelumnya.
Selama sepekan, harga minyak tercatat menguat sekitar 5,%, sedangkan sejak awal tahun harga si emas hitam ini sudah terkatrol sekitar 19,5%.
Pergerakan harga minyak yang naik-turun hari ini dipengaruhi oleh sentimen negatif dan positif yang saling menarik.
Data yang dirilis oleh Kementerian Energi Rusia pada Sabtu kemarin (2/2/2019) menunjukkan bahwa pengurangan pasokan minyak Negeri Beruang Merah belum mencapai target pada Januari.
Pasalnya, produksi minyak Rusia pada bulan Januari berada di level 11,38 juta barel/hari, yang mana hanya berkurang 35.000 barel/hari dibanding produksi pada bukan Oktober 2018. Padahal Rusia telah berjanji akan mengurangi pasokan minyaknya sebesar 230.000
Sebagai informasi Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) bersama Rusia dan sekutunya yang lain pada awal Desember 2018 telah bersepakat untuk mengurangi pasokan minyak dunia sebanyak 1,2 juta barel/hari mulai Januari 2019.
Jumlah produksi yang dijadikan acuan dalam kesepakatan tersebut adalah jumlah produksi masing-masing negara pada bulan Oktober 2018.
Dengan Rusia yang belum patuh terhadap janjinya, pelaku pasar menjadi kembali khawatir akan keseimbangan fundamental (pasokan-permintaan) pada tahun ini.
Untungnya, sentimen positif yang menyokong harga minyak lumayan banyak.
Selama Januari, 14 negara anggota OPEC tercatat telah mengurangi produksi minyaknya sebesar 890.000 barel/hari dibanding produksi Desember, berdasarkan hasil survei Reuters. Berkurangnya pasokan minyak OPEC ini merupakan yang terbesar secara bulanan sejak Januari 2017.
Selain itu, akibat sanksi yang diberikan oleh Amerika Serikat (AS), Venezuela nampaknya masih belum bisa menemukan pasar baru bagi hasil minyak mentahnya. Hal ini terpantau oleh Reuters, dimana ada 15 kapal tanker yang masih terparkir di pelabuhan, menunggu perintah pengiriman.
Perkembangan yang positif dari damai dagang AS-China juga turut ambil bagian dalam memberi energi positif.
Pasca pertemuan antara delegasi dagang kedua negara di Washington minggu lalu, China dikabarkan kembali mengundang Menteri Keuangan AS, Steven Mnuchin dan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer untuk membawa serta rombongan delegasi AS ke Beijing demi menggelar dialog lanjutan pada pertengahan Februari.
Tak hanya itu, Presiden AS Donald Trump juga berencana mengadakan pertemuan dengan Presiden China Xi Jinping. Kabarnya, pertemuan ini akan digelar pada akhir Februari.
Perundingan dagang yang semakin intens antara kedua raksasa ekonomi dunia ini menunjukkan keseriusan untuk mencapai kesepakatan sebelum ancaman AS benar-benar kejadian.
Bila kesepakatan benar-benar terjadi dan hubungan dagang AS-China kembali cair, maka geliat ekonomi dunia bisa kembali panas. Harapannya, perlambatan ekonomi dunia dapat direm dan permintaan energi dunia kembali naik.
Sebagai informasi, jika sampai tanggal 1 Maret tak ada kesepakatan apapun, Gedung Putih sudah mengeluarkan maklumat akan meningkatkan bea masuk bagi barang-barang impor asal China yang senilai US$ 200 miliar, dari 10% menjadi 25%.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/gus) Next Article Sepekan Melejit 5% Lebih, Harga Minyak Dunia kini Terpeleset
Hingga pukul 12:00 WIB, harga minyak mentah jenis Brent menguat tipis sebesar 0,14% ke posisi US$ 62,84/barel, setelah ditutup menguat 3,14% pada akhir pekan lalu.
Sedangkan harga minyak mentah jenis lightsweet (WTI) bertahan di posisi US$ 55,26/barel, setelah sempat menguat 2,73% pada penutupan perdagangan sebelumnya.
Pergerakan harga minyak yang naik-turun hari ini dipengaruhi oleh sentimen negatif dan positif yang saling menarik.
Data yang dirilis oleh Kementerian Energi Rusia pada Sabtu kemarin (2/2/2019) menunjukkan bahwa pengurangan pasokan minyak Negeri Beruang Merah belum mencapai target pada Januari.
Pasalnya, produksi minyak Rusia pada bulan Januari berada di level 11,38 juta barel/hari, yang mana hanya berkurang 35.000 barel/hari dibanding produksi pada bukan Oktober 2018. Padahal Rusia telah berjanji akan mengurangi pasokan minyaknya sebesar 230.000
Sebagai informasi Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) bersama Rusia dan sekutunya yang lain pada awal Desember 2018 telah bersepakat untuk mengurangi pasokan minyak dunia sebanyak 1,2 juta barel/hari mulai Januari 2019.
Jumlah produksi yang dijadikan acuan dalam kesepakatan tersebut adalah jumlah produksi masing-masing negara pada bulan Oktober 2018.
Dengan Rusia yang belum patuh terhadap janjinya, pelaku pasar menjadi kembali khawatir akan keseimbangan fundamental (pasokan-permintaan) pada tahun ini.
Untungnya, sentimen positif yang menyokong harga minyak lumayan banyak.
Selama Januari, 14 negara anggota OPEC tercatat telah mengurangi produksi minyaknya sebesar 890.000 barel/hari dibanding produksi Desember, berdasarkan hasil survei Reuters. Berkurangnya pasokan minyak OPEC ini merupakan yang terbesar secara bulanan sejak Januari 2017.
Selain itu, akibat sanksi yang diberikan oleh Amerika Serikat (AS), Venezuela nampaknya masih belum bisa menemukan pasar baru bagi hasil minyak mentahnya. Hal ini terpantau oleh Reuters, dimana ada 15 kapal tanker yang masih terparkir di pelabuhan, menunggu perintah pengiriman.
Perkembangan yang positif dari damai dagang AS-China juga turut ambil bagian dalam memberi energi positif.
Pasca pertemuan antara delegasi dagang kedua negara di Washington minggu lalu, China dikabarkan kembali mengundang Menteri Keuangan AS, Steven Mnuchin dan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer untuk membawa serta rombongan delegasi AS ke Beijing demi menggelar dialog lanjutan pada pertengahan Februari.
Tak hanya itu, Presiden AS Donald Trump juga berencana mengadakan pertemuan dengan Presiden China Xi Jinping. Kabarnya, pertemuan ini akan digelar pada akhir Februari.
Perundingan dagang yang semakin intens antara kedua raksasa ekonomi dunia ini menunjukkan keseriusan untuk mencapai kesepakatan sebelum ancaman AS benar-benar kejadian.
Bila kesepakatan benar-benar terjadi dan hubungan dagang AS-China kembali cair, maka geliat ekonomi dunia bisa kembali panas. Harapannya, perlambatan ekonomi dunia dapat direm dan permintaan energi dunia kembali naik.
Sebagai informasi, jika sampai tanggal 1 Maret tak ada kesepakatan apapun, Gedung Putih sudah mengeluarkan maklumat akan meningkatkan bea masuk bagi barang-barang impor asal China yang senilai US$ 200 miliar, dari 10% menjadi 25%.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/gus) Next Article Sepekan Melejit 5% Lebih, Harga Minyak Dunia kini Terpeleset
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular