Simak 6 Sentimen yang akan Memengaruhi Pasar Pekan Depan

Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
03 February 2019 20:00
Perkembangan Internasional
Foto: Cover Topik/Perang Dagang/Edward Ricardo
Perkembangan dari proses damai dagang Amerika Serikat-China bisa menjadi salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pergerakan pasar. Pasca perundingan dagang antar kedua negara yang berlangsung pada Rabu dan Kamis kemarin di Washington, perwakilan dagang AS, Robert Lighthizer mengatakan bahwa kedua belah pihak mencapai perkembangan yang besar dalam isu-isu mendasar.

Salah satu yang paling menjadi perhatian adalah masalah perlindungan kekayaan intelektual dan transfer teknologi secara paksa, mengutip Reuters.
Namun, Executive Vice President and Head of International Affairs dari U.S. Chamber of Commerce Myron Brilliant mengatakan bahwa masih ada perbedaan-perbedaan yang signifikan di antara kedua belah pihak seiring dengan tidak adanya proposal baru dari China untuk memenuhi tuntutan AS.

Selain itu, Presiden AS, Donald Trump juga mengatakan bawah kesepakatan tidak akan dibuat hingga dirinya sendiri yang bertemu langsung dengan Presiden China, Xi Jinping. Kabarnya pertemuan ini akan digerlar pada akhir Februari.

Selain itu, China juga dikabarkan sudah mengundang menteri keuangan AS, Steven Mnuchin dan Lightizer untuk membawa serta delegasi AS ke Beijing untuk kembali berdialog pada pertengahan Februari.

Namun, demikian dalam waktu yang semakin tipis ini, kemungkinan bertambahnya ketegangan antara dua raksasa ekonomi dunia tersebut masih terus membayangi.

Kemarin saja sebelum pertemuan di Washington digelar, berita tentang tuntutan pidana yang dijatuhkan oleh pemerintah AS kepada Huawei sempat membuat pasar kembali berdebar-debar.

Mudah-mudahan saja tidak ada isu serupa yang bisa membuat perang dagang kembali memanas. Paling tidak hingga pertemuan antara Trump dan Xi benar-benar terealisasi.

Pasalnya, Gedung Putih dalam sebuah pernyataan sudah bermaklumat akan meningkatkan bea masuk bagi produk asal China senilai US$ 200 miliar jika kesepakatan dagang tak juga tercapai hingga 2 Maret.

Selain itu, perkembangan dari Inggris juga tak kalah penting.
Pada tanggal 30 Januari, Parlemen Inggris menolak amandemen Cooper yang diajukan oposisi Yvette Cooper dengan komposisi suara 321:298. 


Amandemen Cooper bertujuan mencegah Brexit tanpa kesepakatan atau no deal dengan memberi pemerintah lebih banyak waktu untuk mencapai kesepakatan dengan UE. Sehingga, tanggal Brexit akan mundur dari 29 Maret menjadi 31 Desember.

Di lain pihak, parlemen memilih meloloskan amandemen Brady yang diajukan anggota parlemen dari Partai Konservatif, Graham Brady, dengan perolehan suara 317:301. 

Amandemen ini meminta pemerintah untuk mengganti klausul backstop bagi Irlandia Utara dalam perjanjian Brexit dengan UE, dilansir dari CNBC International. Artinya, Perdana Menteri Inggris, Theresa May harus kembali melobi Brussel untuk menegosiasi ulang klausul yang masih bermasalah tersebut.

Namun sepertinya Brussel terkesan enggan untuk kembali membuka ruang negosiai bagi Inggris. Hal itu tercermin dari pesan keras yang ditulis oleh Presiden Dewan Eropa, Donald Tusk, di akun twitter pribadinya.

"Perjanjian Penarikan Diri tidak dapat dinegosiasikan ulang," kicau Tusk dalam pesan yang ia sebut ditujukan untuk May. "Kemarin, kami tahu apa yang tidak diinginkan Inggris. Namun kami belum tahu apa yang Inggris inginkan."

Menteri Perdagangan Inggris, Liam Fox bereaksi dengan mengatakan bahwa penolakan Uni Eropa untuk membuka kembali ruang dialog dengan Inggris sangat tidak bertanggungjawab, mengutip Reuters pada hari Minggu (3/2/2019).

Dengan begini, nasib perceraian Inggris dengan Uni Eropa menjadi sangat tidak jelas. Langkah selanjutnya bagi Inggris masih akan didiskusikan kembali.

Kemungkinan pahit yang ada, dari referendum kedua, hingga No Deal Brexit masih terbuka lebar. Langkah-langkah yang diambil oleh Inggris ke depannya akan sangat menentukan nasib perekonomian Negeri Ratu Elizabeth.

Bila sampai No Deal Brexit benar kejadian, maka dampaknya akan mendunia, mirip dengan perang dagang AS-China, mengingat Inggris merupakan salah satu negara dengan ekonomi raksasa.
(taa/taa)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular