
Jelang Akhir Pekan, Harga Emas Semakin Kuat
Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
01 February 2019 18:46

Jakarta, CNBC Indonesia - Malam hari ini (1/2/2019), harga emas dunia kembali berbalik, setelah sempat melemah hingga sore hari.
Hingga pukul 18:30 WIB, harga emas kontrak April di pasar COMEX naik secara terbatas sebesar 0,05% ke posisi US$ 1.325,9/troy ounce, setelah sebelumnya juga ditutup menguat 0,74% kemarin (30/1/2019).
Secara mingguan harga emas menguat 2,14% secara point-to-point, sedangkan sejak awal tahun harga komoditas ini tercatat naik 3,48%.
Meningkatnya harga emas dipengaruhi oleh beberapa faktor yang membuat investor khawatir akan perlambatan ekonomi dunia.
Salah satunya berasal dari Negeri Tirai Bambu.
Angka PMI manufaktur China versi Caixin pada periode Januari yang dirilis hari ini hanya sebesar 48,3 dan merupakan yang terendah sejak Februari 2016. Selain itu angka tersebut lebih rendah daripada hasil konsensus yang dihimpun Reuters yang sebesar 49,5.
Fakta tersebut mengindikasikan bahwa hingga Januari, aktivitas industri manufaktur China masih terus terkontraksi, bahkan semakin dalam.
Hal ini semakin mengonfirmasi perlambatan ekonomi China sudah benar-benar terjadi, bukan hanya prediksi, apalagi mitos.
Selain itu, perkembangan dari Benua Biru yang kurang baik juga menambah keinginan investor untuk menahan emas.
Pasalnya pasca ditolaknya proposal Brexit yang diajukan oleh pemerintah, Parlemen Inggris hari Selasa lalu meloloskan amandemen Brady.
Dalam amandemen tersebut, Perdana Menteri Theresa May kembali diperintahkan untuk kembali bernegosiasi dengan Uni Eropa mengenai klausul backstop bagi Irlandia Utara.
Namun sepertinya Brussel terkesan enggan untuk kembali membuka ruang negosiai bagi Inggris. Hal ini tercermin dari pesan keras yang ditulis oleh Presiden Dewan Eropa, Donald Tusk di Twitter.
"Perjanjian Penarikan Diri tidak dapat dinegosiasikan ulang," kicau Tusk dalam pesan yang ia sebut ditujukan untuk May. "Kemarin, kami tahu apa yang tidak diinginkan Inggris. Namun kami belum tahu apa yang Inggris inginkan."
Dengan begini, nasib perceraian Inggris dengan Uni Eropa menjadi sangat tidak jelas. Bila sampai No Deal Brexit benar kejadian, maka dampaknya akan mendunia, mirip dengan perang dagang AS-China, mengingat Inggris merupakan salah satu negara dengan ekonomi raksasa.
Kekhawatiran akan perekonomian yang kembali terjerumus dalam perlambatan ekonomi membuat emas mendapatkan tempat di hati investor. Sebab, karena nilainya yang relatif stabil, emas sering dijadikan pelindung nilai.
Namun masih tetap ada sentimen yang kuat menahan kenaikan harga emas.
Kaliini datang dari Washington.
Saat dialog dagang antara perwakilan AS-China masih berlangsung pada 31 Januari kemarin, Presiden AS, Donald Trump mengatakan bahwa kesepakatan akan ada setelah dirinya sendiri yang bertemu dengan Presiden China Xi Jinping.
"...bertemu dengan pemimpin dan perwakilan mereka (China) hari ini di Oval Office. Tidak ada kesepakatan final yang akan dibuat sampai teman saya Presiden Xi, dan saya, bertemu dalam waktu dekat untuk membahas dan menyepakati beberapa poin yang sudah lama ada dan lebih sulit. Transaksi yang sangat komprehensif..." tulis Trump melalui akun twitter pribadinya.
Wall Street Journal melaporkan bahwa perwakilan dagang China telah mengajukan jadwal pertemuan antara Trump dan Xi di bulan depan. Namun pihak Gedung Putih masih enggan berkomentar atau mengatakan detailnya.
Bila suatu kesepakatan antara kedua raksasa ekonomi dunia tersebut benar-benar terwujud, maka perlambatan ekonomi dunia bisa direm.
Saat perekonomian dunia kembali bergairah, maka investor akan kembali beringas berinvestasi pada instrumen beresiko lain. Emas pun cenderung ditinggalkan.
Selain ada kemungkinan juga The Fed akan kembali agresif menaikkan suku bunga saat kondisi kian kondusif.
Saat suku bunga meningkat, investor juga cenderung melepas emas, mengingat keuntungan yang didapat dari berinvestasi emas cenderung kecil saat ekonomi sedang bertumbuh.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/gus) Next Article Akhirnya, Emas Mulai Menunjukkan Kilaunya!
Hingga pukul 18:30 WIB, harga emas kontrak April di pasar COMEX naik secara terbatas sebesar 0,05% ke posisi US$ 1.325,9/troy ounce, setelah sebelumnya juga ditutup menguat 0,74% kemarin (30/1/2019).
Secara mingguan harga emas menguat 2,14% secara point-to-point, sedangkan sejak awal tahun harga komoditas ini tercatat naik 3,48%.
Meningkatnya harga emas dipengaruhi oleh beberapa faktor yang membuat investor khawatir akan perlambatan ekonomi dunia.
Salah satunya berasal dari Negeri Tirai Bambu.
Angka PMI manufaktur China versi Caixin pada periode Januari yang dirilis hari ini hanya sebesar 48,3 dan merupakan yang terendah sejak Februari 2016. Selain itu angka tersebut lebih rendah daripada hasil konsensus yang dihimpun Reuters yang sebesar 49,5.
Fakta tersebut mengindikasikan bahwa hingga Januari, aktivitas industri manufaktur China masih terus terkontraksi, bahkan semakin dalam.
Hal ini semakin mengonfirmasi perlambatan ekonomi China sudah benar-benar terjadi, bukan hanya prediksi, apalagi mitos.
Selain itu, perkembangan dari Benua Biru yang kurang baik juga menambah keinginan investor untuk menahan emas.
Pasalnya pasca ditolaknya proposal Brexit yang diajukan oleh pemerintah, Parlemen Inggris hari Selasa lalu meloloskan amandemen Brady.
Dalam amandemen tersebut, Perdana Menteri Theresa May kembali diperintahkan untuk kembali bernegosiasi dengan Uni Eropa mengenai klausul backstop bagi Irlandia Utara.
Namun sepertinya Brussel terkesan enggan untuk kembali membuka ruang negosiai bagi Inggris. Hal ini tercermin dari pesan keras yang ditulis oleh Presiden Dewan Eropa, Donald Tusk di Twitter.
"Perjanjian Penarikan Diri tidak dapat dinegosiasikan ulang," kicau Tusk dalam pesan yang ia sebut ditujukan untuk May. "Kemarin, kami tahu apa yang tidak diinginkan Inggris. Namun kami belum tahu apa yang Inggris inginkan."
Dengan begini, nasib perceraian Inggris dengan Uni Eropa menjadi sangat tidak jelas. Bila sampai No Deal Brexit benar kejadian, maka dampaknya akan mendunia, mirip dengan perang dagang AS-China, mengingat Inggris merupakan salah satu negara dengan ekonomi raksasa.
Kekhawatiran akan perekonomian yang kembali terjerumus dalam perlambatan ekonomi membuat emas mendapatkan tempat di hati investor. Sebab, karena nilainya yang relatif stabil, emas sering dijadikan pelindung nilai.
Namun masih tetap ada sentimen yang kuat menahan kenaikan harga emas.
Kaliini datang dari Washington.
Saat dialog dagang antara perwakilan AS-China masih berlangsung pada 31 Januari kemarin, Presiden AS, Donald Trump mengatakan bahwa kesepakatan akan ada setelah dirinya sendiri yang bertemu dengan Presiden China Xi Jinping.
"...bertemu dengan pemimpin dan perwakilan mereka (China) hari ini di Oval Office. Tidak ada kesepakatan final yang akan dibuat sampai teman saya Presiden Xi, dan saya, bertemu dalam waktu dekat untuk membahas dan menyepakati beberapa poin yang sudah lama ada dan lebih sulit. Transaksi yang sangat komprehensif..." tulis Trump melalui akun twitter pribadinya.
Wall Street Journal melaporkan bahwa perwakilan dagang China telah mengajukan jadwal pertemuan antara Trump dan Xi di bulan depan. Namun pihak Gedung Putih masih enggan berkomentar atau mengatakan detailnya.
Bila suatu kesepakatan antara kedua raksasa ekonomi dunia tersebut benar-benar terwujud, maka perlambatan ekonomi dunia bisa direm.
Saat perekonomian dunia kembali bergairah, maka investor akan kembali beringas berinvestasi pada instrumen beresiko lain. Emas pun cenderung ditinggalkan.
Selain ada kemungkinan juga The Fed akan kembali agresif menaikkan suku bunga saat kondisi kian kondusif.
Saat suku bunga meningkat, investor juga cenderung melepas emas, mengingat keuntungan yang didapat dari berinvestasi emas cenderung kecil saat ekonomi sedang bertumbuh.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/gus) Next Article Akhirnya, Emas Mulai Menunjukkan Kilaunya!
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular