
Bak Telenovela, Harga Minyak Galau Seharian Akibat Venezuela
Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
30 January 2019 16:29

Jakarta, CNBC Indonesia - Hari ini (30/1/2019) harga minyak terpantau galau, mengingat sejak pagi tadi terus berubah merah-hijau.
Hingga pukul 16:15 WIB, harga minyak jenis Brent kontrak Maret naik terbatas sebesar 0,15% ke posisi US$ 61,41/barel, setelah menguat 2,32% pada perdagangan kemarin (29/1/2019).
Sedangkan harga minyak jenis lightsweet (WTI) kontrak Maret melemah tipis 0,15% ke level US$ 53,39/barel, setelah sebelumnya ditutup naik 2,54% kemarin.
Secara mingguan, harga minyak tercatat menguat sekitar 0,8% secara point-to-point, sedangkan sejak awal tahun 2019 harga emas hitam ini sudah naik sekitar 15%.
Sanksi Amerika Serikat atas industri minyak Venezuela diduga memberikan energi positif bagi harga minyak. Pasalnya, dengan dilarangnya Venezuela menjual minyaknya ke AS akan membuat keseimbangan pasokan minyak dunia menjadi terganggu.
Seperti yang diketahui bahwa sanksi yang diberlakukan AS terhadap perusahaan minyak nasional Venezuela, PDVSA membuat perusahaan tersebut tidak bisa mengekspor minyak ke AS, dimana pada kondisi normal berada di kisaran 500.000 barel/hari, mengutip Reuters.
Namun demikian, pengaruh sanksi ini akan lebih dirasakan oleh kilang-kilang minyak di AS karena sebagian besar tujuan ekspor minyak Venezuela adalah Negeri Paman Sam.
"Sejauh ini sanksi tersebut [Venezuela] utamanya mengganggu pasokan untuk kilang di AS, yang harus mencari sumber alternatif minyak mentah dan meningkatkan pembelian minyak dari Kanada," kata Vandana Hari, dari konsultan energi Vanda Insights, mengutip Reuters.
Selain itu, sebenarnya sanksi tersebut tidak menghilangkan pasokan minyak Venezuela dari pasar dunia. Sebab perusahaan minyak negara tersebut masih terus berproduksi.
"Volume ekspor minyak Venezuela tidak akan hilang dari pasar, namun hanya mencari rute baru ke negara lain. China dan India bisa membeli minyak ini dengan diskon yang besar," ujar Paola Rodriguez-Masiu, analis konsultan energi Rystad Energi, seperti yang dilansir dari Reuters.
Bila benar minyak Venezuela diobral pada negara lain, maka sejatinya hal tersebut akan menambah beban pada harga minyak alih-alih menguatkan.
Meskipun memang sejak gejolak ekonomi berkecamuk di Venezuela, produksi minyak PDVSA sudah terpankas jauh. Tercatat produksi minyak Venezuela pada 2016 mencapai 2,5 juta barel/hari, sedangkan sekarang hanya sedikit di atas 1 juta barel/hari.
Di lain sisi, terus naiknya produksi minyak AS memberi tekanan hebat pada harga minyak. Teranyar, minggu lalu perusahaan energi Baker Huges mengatakan bahwa jumlah rig minyak AS bertambah 10 unit.
Hal tersebut memberi sinyal bahwa produksi minyak Negeri Paman Sam masih akan meningkat. Sebagai informasi, sejak awal tahun 2018, produksi minyak AS sudah meningkat lebih dari 2 juta barel/hari.
Perlambatan ekonomi dunia juga memberikan kekhawatiran akan berkurangnya permintaan minyak dunia. Pasalnya pertumbuhan energi akan sejalan dengan pemrintaan energi yang salah satunya berasal dari minyak.
"Meningkatnya kekhawatiran akan perlambatan perekonomian, terutama dari China menarik harga minyak jauh ke bawah," kata Ole Hansen, kepala strategi komoditas Denmark's Saxo Bank.
Sebelumnya, tekanan besar bagi perekonomian China terkonfirmasi kala pertumbuhan ekonomi tahun 2018 diumumkan di level 6,6%, laju terlemah sejak 1990.
Masih ada harapan bagi harga minyak jika perkembangan damai dagang AS-China makin positif. Pasalnya bila arus perdagangan kedua raksasa ekonomi dunia kembali lancar, maka seluruh dunia akan ikut merasakan manfaatnya.
Selain itu investor juga masih menunggu bukti-bukti baru realisasi pemangkasan pasokan minyak yang telah direncanakan Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) bersama sekutunya pada awal Desember tahun lalu.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/gus) Next Article Sepekan Melejit 5% Lebih, Harga Minyak Dunia kini Terpeleset
Hingga pukul 16:15 WIB, harga minyak jenis Brent kontrak Maret naik terbatas sebesar 0,15% ke posisi US$ 61,41/barel, setelah menguat 2,32% pada perdagangan kemarin (29/1/2019).
Sedangkan harga minyak jenis lightsweet (WTI) kontrak Maret melemah tipis 0,15% ke level US$ 53,39/barel, setelah sebelumnya ditutup naik 2,54% kemarin.
Sanksi Amerika Serikat atas industri minyak Venezuela diduga memberikan energi positif bagi harga minyak. Pasalnya, dengan dilarangnya Venezuela menjual minyaknya ke AS akan membuat keseimbangan pasokan minyak dunia menjadi terganggu.
Seperti yang diketahui bahwa sanksi yang diberlakukan AS terhadap perusahaan minyak nasional Venezuela, PDVSA membuat perusahaan tersebut tidak bisa mengekspor minyak ke AS, dimana pada kondisi normal berada di kisaran 500.000 barel/hari, mengutip Reuters.
Namun demikian, pengaruh sanksi ini akan lebih dirasakan oleh kilang-kilang minyak di AS karena sebagian besar tujuan ekspor minyak Venezuela adalah Negeri Paman Sam.
"Sejauh ini sanksi tersebut [Venezuela] utamanya mengganggu pasokan untuk kilang di AS, yang harus mencari sumber alternatif minyak mentah dan meningkatkan pembelian minyak dari Kanada," kata Vandana Hari, dari konsultan energi Vanda Insights, mengutip Reuters.
Selain itu, sebenarnya sanksi tersebut tidak menghilangkan pasokan minyak Venezuela dari pasar dunia. Sebab perusahaan minyak negara tersebut masih terus berproduksi.
"Volume ekspor minyak Venezuela tidak akan hilang dari pasar, namun hanya mencari rute baru ke negara lain. China dan India bisa membeli minyak ini dengan diskon yang besar," ujar Paola Rodriguez-Masiu, analis konsultan energi Rystad Energi, seperti yang dilansir dari Reuters.
Bila benar minyak Venezuela diobral pada negara lain, maka sejatinya hal tersebut akan menambah beban pada harga minyak alih-alih menguatkan.
Meskipun memang sejak gejolak ekonomi berkecamuk di Venezuela, produksi minyak PDVSA sudah terpankas jauh. Tercatat produksi minyak Venezuela pada 2016 mencapai 2,5 juta barel/hari, sedangkan sekarang hanya sedikit di atas 1 juta barel/hari.
Di lain sisi, terus naiknya produksi minyak AS memberi tekanan hebat pada harga minyak. Teranyar, minggu lalu perusahaan energi Baker Huges mengatakan bahwa jumlah rig minyak AS bertambah 10 unit.
Hal tersebut memberi sinyal bahwa produksi minyak Negeri Paman Sam masih akan meningkat. Sebagai informasi, sejak awal tahun 2018, produksi minyak AS sudah meningkat lebih dari 2 juta barel/hari.
Perlambatan ekonomi dunia juga memberikan kekhawatiran akan berkurangnya permintaan minyak dunia. Pasalnya pertumbuhan energi akan sejalan dengan pemrintaan energi yang salah satunya berasal dari minyak.
"Meningkatnya kekhawatiran akan perlambatan perekonomian, terutama dari China menarik harga minyak jauh ke bawah," kata Ole Hansen, kepala strategi komoditas Denmark's Saxo Bank.
Sebelumnya, tekanan besar bagi perekonomian China terkonfirmasi kala pertumbuhan ekonomi tahun 2018 diumumkan di level 6,6%, laju terlemah sejak 1990.
Masih ada harapan bagi harga minyak jika perkembangan damai dagang AS-China makin positif. Pasalnya bila arus perdagangan kedua raksasa ekonomi dunia kembali lancar, maka seluruh dunia akan ikut merasakan manfaatnya.
Selain itu investor juga masih menunggu bukti-bukti baru realisasi pemangkasan pasokan minyak yang telah direncanakan Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) bersama sekutunya pada awal Desember tahun lalu.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/gus) Next Article Sepekan Melejit 5% Lebih, Harga Minyak Dunia kini Terpeleset
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular