
Damai Dagang Tak Jadi, Harga Obligasi RI Kembali Tertekan
Irvin Avriano A., CNBC Indonesia
30 January 2019 13:08

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga obligasi rupiah pemerintah kembali terkoreksi di tengah was-wasnnya perlaku pasar terkait perang dagang dan hard Brexit. Koreksi yang terjadi dibarengi dengan inversi tingkat imbal hasil (inversi yield) seri acuan 15 tahun dan 20 tahun yang masih terjadi sejak beberapa hari terakhir.
Turunnya harga surat utang negara (SUN) itu tidak senada dengan apresiasi yang terjadi di pasar surat utang pemerintah negara berkembang yang lain yaitu di Brasil, India, Filipina, Malaysia, dan Thailand.
Data Refinitiv menunjukkan terkoreksinya harga SUN itu tercermin dari empat seri acuan (benchmark) yang sekaligus menaikkan tingkat imbal hasilnya (yield). Pergerakan harga dan yield obligasi saling bertolak belakang di pasar sekunder.
Yield juga lebih umum dijadikan acuan transaksi obligasi dibanding harga karena mencerminkan kupon, tenor, dan risiko dalam satu angka. SUN adalah surat berharga negara (SBN) konvensional rupiah yang perdagangannya paling ramai di pasar domestik, sehingga dapat mencerminkan kondisi pasar obligasi secara umum.
Keempat seri yang menjadi acuan itu adalah FR0077 bertenor 5 tahun, FR0078 bertenor 10 tahun, FR0068 bertenor 15 tahun, dan FR0079 bertenor 20 tahun. Seri acuan yang paling terkoreksi adalah FR0078 dan FR0068 bertenor 10 tahun dan 15 tahun dengan kenaikan yield masing-masing 2,6 basis poin (bps) menjadi 8,12% dan 8,53%. Besaran 100 bps setara dengan 1%. Seri acuan lain juga terkoreksi yaitu seri 5 tahun dan 20 tahun. Di sisi lain, inversi yield juga masih terjadi hari ini untuk tenor 15 tahun dan 20 tahun. Yield tenor 15 tahun saat ini lebih tinggi dibanding tenor 20 tahun, sehingga membuat kurva yield terbalik (inverted yield curve). Kondisi tersebut menjadi salah satu pertanda umum bahwa investor pasar obligasi Indonesia saat ini lebih menggemari tenor panjang meskipun risiko waktunya lebih besar dan seakan menunjukkan bahwa risiko jangka pendek di Indonesia lebih besar dibanding tenor panjangnya. Karena nilai transaksi yang kecil, inverted yield curve di pasar Indonesia belum mencerminkan adanya tekanan ekonomi seperti yang masih terjadi di pasar obligasi US Treasury sehingga mencerminkan adanya ancaman resesi di Negeri Paman Sam itu. Meskipun demikian, minat investor pasar obligasi sudah menunjukkan adanya potensi tekanan ekonomi dalam negeri dalam waktu pendek. Saat ini pelaku pasar obligasi domestik masih menunggu hasil dari pertemuan China-AS dan kelanjutan sinetron Brexit sehingga cenderung menahan aksinya di pasar atau bahkan kembali menjual posisi dalam rangka mendapatkan keuntungan transaksi jika ada (profit taking). Sejak awal tahun, pasar obligasi kurang bergairah karena masih banyaknya faktor eksternal dan belum meyakinkannya makroekonomi Indonesia.
Yield Obligasi Negara Acuan 30 Jan 2019
Sumber: Refinitiv TIM RISET CNBC IN
(irv/hps) Next Article Laris Manis! RI Sukses Jual Surat Utang dalam Dolar dan Euro
Turunnya harga surat utang negara (SUN) itu tidak senada dengan apresiasi yang terjadi di pasar surat utang pemerintah negara berkembang yang lain yaitu di Brasil, India, Filipina, Malaysia, dan Thailand.
Data Refinitiv menunjukkan terkoreksinya harga SUN itu tercermin dari empat seri acuan (benchmark) yang sekaligus menaikkan tingkat imbal hasilnya (yield). Pergerakan harga dan yield obligasi saling bertolak belakang di pasar sekunder.
Keempat seri yang menjadi acuan itu adalah FR0077 bertenor 5 tahun, FR0078 bertenor 10 tahun, FR0068 bertenor 15 tahun, dan FR0079 bertenor 20 tahun. Seri acuan yang paling terkoreksi adalah FR0078 dan FR0068 bertenor 10 tahun dan 15 tahun dengan kenaikan yield masing-masing 2,6 basis poin (bps) menjadi 8,12% dan 8,53%. Besaran 100 bps setara dengan 1%. Seri acuan lain juga terkoreksi yaitu seri 5 tahun dan 20 tahun. Di sisi lain, inversi yield juga masih terjadi hari ini untuk tenor 15 tahun dan 20 tahun. Yield tenor 15 tahun saat ini lebih tinggi dibanding tenor 20 tahun, sehingga membuat kurva yield terbalik (inverted yield curve). Kondisi tersebut menjadi salah satu pertanda umum bahwa investor pasar obligasi Indonesia saat ini lebih menggemari tenor panjang meskipun risiko waktunya lebih besar dan seakan menunjukkan bahwa risiko jangka pendek di Indonesia lebih besar dibanding tenor panjangnya. Karena nilai transaksi yang kecil, inverted yield curve di pasar Indonesia belum mencerminkan adanya tekanan ekonomi seperti yang masih terjadi di pasar obligasi US Treasury sehingga mencerminkan adanya ancaman resesi di Negeri Paman Sam itu. Meskipun demikian, minat investor pasar obligasi sudah menunjukkan adanya potensi tekanan ekonomi dalam negeri dalam waktu pendek. Saat ini pelaku pasar obligasi domestik masih menunggu hasil dari pertemuan China-AS dan kelanjutan sinetron Brexit sehingga cenderung menahan aksinya di pasar atau bahkan kembali menjual posisi dalam rangka mendapatkan keuntungan transaksi jika ada (profit taking). Sejak awal tahun, pasar obligasi kurang bergairah karena masih banyaknya faktor eksternal dan belum meyakinkannya makroekonomi Indonesia.
Yield Obligasi Negara Acuan 30 Jan 2019
Seri | Jatuh tempo | Yield 29 Jan 2019 (%) | Yield 30 Jan 2019 (%) | Selisih (basis poin) | Yield wajar IBPA 29 Jan'19 |
FR0077 | 5 tahun | 7.997 | 8.01 | 1.30 | 7.9684 |
FR0078 | 10 tahun | 8.103 | 8.129 | 2.60 | 8.1331 |
FR0068 | 15 tahun | 8.51 | 8.536 | 2.60 | 8.4768 |
FR0079 | 20 tahun | 8.505 | 8.516 | 1.10 | 8.5224 |
Avg movement | 1.90 |
(irv/hps) Next Article Laris Manis! RI Sukses Jual Surat Utang dalam Dolar dan Euro
Most Popular