Tak Cuma Jepang, RI Juga Perlu Waspadai Risiko Resesi Eropa

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
22 January 2019 11:55
Tak Cuma Jepang, RI Juga Perlu Waspadai Risiko Resesi Eropa
Bendera Uni Eropa (REUTERS/Paul Hackett)
Jakarta, CNBC Indonesia - Perlambatan ekonomi global sepertinya menjadi tema besar pada tahun ini. Kegundahan pelaku pasar mulai terlihat, suara-suara sumbang semakin nyaring terdengar. 

Dana Moneter Internasional (IMF) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia pada 2019 dari 3,7% menjadi 3,5%. Tanda-tanda perlambatan ekonomi, bahkan resesi, mulai bermunculan.

Kemarin, pelaku pasar mengkhawatirkan potensi resesi di Jepang. Berdasarkan jajak pendapat yang digelar Reuters, para ekonom memperkirakan Jepang masih bisa menghindari resesi pada tahun fiskal 2019, yang dimulai pada April. Namun risiko resesi di Jepang meningkat dibandingkan polling 3 bulan lalu. 


Kini, jajak pendapat serupa yang dilakukan di Eropa menujukkan gejala yang sama. Dari 65 ekonom yang terlibat dalam survei, hasilnya menyatakan kemungkinan Zona Euro untuk mengalami resesi dalam 12 bulan ke depan adalah 25%. Sementara kemungkinan resesi dalam 2 tahun ke depan mencapai 35%. 

Angka-angka tersebut naik dibandingkan polling yang dilakukan pada Desember 2018. Kala itu, probabilitas terjadinya resesi di Benua Biru dalam 12 bulan ke depan adalah 20%, dan kemungkinan resesi dalam 2 tahun ke depan adalah 30%. 

Seperti di Jepang, data-data ekonomi Eropa juga mengkhawatirkan. Pertumbuhan ekonomi Jerman, perekonomian terbesar di Eropa, hanya mencapai 1,5% pada 2018. Laju paling lemah dalam 5 tahun terakhir. 

 

Kemudian inflasi Uni Eropa pada Desember 2018 tercatat 1,6% year-on-year (YoY). Ini menjadi laju paling lambat sejak April. Artinya, permintaan domestik di Eropa belum menujukkan tanda-tanda peningkatan signifikan bahkan ada kecenderungan terus melambat. 

 

Lalu bicara output industrial, juga ada masalah. Pada November 2018, output industrial Zona Euro turun 3,3% YoY. Ini menjadi penurunan pertama sejak Januari 2017. 

 

Oleh karena itu, Bank Sentral Uni Eropa (ECB) diperkirakan menunda kenaikan suku bunga acuan. Awalnya refinancing rate diperkirakan naik pada tengah tahun ini. Namun konsensus pasar terbaru memperkirakan Mario Draghi dan sejawat baru akan menaikkannya dari 0% menjadi 0,2% pada kuartal I-2020. 

Sepertinya Eropa masih membutuhkan sedikit dorongan dari sisi moneter melalui penundaan kenaikan suku bunga acuan. Jika suku bunga dinaikkan sementara sinyal-sinyal perlambatan ekonomi kian jelas, maka hasilnya adalah resesi bisa datang semakin cepat. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Jika Eropa sampai jatuh ke jurang resesi, bagaimana dampaknya terhadap Indonesia?

Dari sisi perdagangan, Eropa memegang peranan penting bagi ekspor Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekspor non-migas Indonesia ke negara-negara Uni Eropa sepanjang 2018 senilai US$ 17,03 miliar. Jumlah ini adalah 10,47% dari total ekspor non migas. 

Ketika Uni Eropa resesi, maka permintaan terhadap produk-produk luar negeri tentu berkurang termasuk dari Indonesia. Akibatnya, ekspor Indonesia akan cukup terpukul karena porsi Uni Eropa yang lumayan signifikan. 

Sementara dari sisi investasi, data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menyebutkan beberapa negara Eropa yang menjadi investor Penanaman Modal Asing (PMA). Sepanjang Januari-September 2018, Belanda menduduki peringkat ke-9 dengan nilai investasi US$ 778,86 juta di 724 proyek. 

Kemudian Swiss menyusul di peringkat 14 dengan nilai investasi US$ 200,54 juta. Lalu ada Belgia di ranking 16 (US$ 154,05 juta) dan Jerman di posisi 17 (US$ 153,3 juta). Lumayan, ada 4 negara di jajaran 20 besar. 

Di sisi PMA, Eropa tidak berperan sebesar negara-negara Asia. Oleh karena itu, mungkin (sekali lagi, mungkin) dampak resesi di Eropa dalam hal PMA tidak akan sebesar kalau resesi terjadi di Jepang. 


Namun, Indonesia perlu mewaspadai dampak lainnya yaitu sentimen di pasar keuangan. Kalau Eropa betul-betul sampai terjerumus ke nestapa resesi, maka akan menjadi sentimen negatif yang besar di pasar keuangan global. 

Eropa yang melambat akan ikut menyeret negara-negara lain ke menuju perlambatan. Akhirnya perlambatan ekonomi global menjadi kenyataan, bukan sekadar kekhawatiran. 

Menyikapi perlambatan ekonomi global, besar kemungkinan pelaku pasar akan memasang mode risk aversion. Aset-aset berisiko di negara berkembang tidak akan menjadi pilihan dan safe haven assets menjadi favorit. Tentu bukan kabar gembira bagi pasar keuangan Indonesia.  


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular