
Kalau Jepang Resesi (Amit-amit), Ini Dampaknya ke Indonesia
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
21 January 2019 16:19

Jakarta, CNBC Indonesia - Ketidakpastian ekonomi global kembali meningkat. Setelah ancaman sengkarut Brexit dan penutupan sebagian (partial shutdown) pemerintahan Amerika Serikat (AS), kini pelaku pasar mulai mengkhawatirkan perkembangan di Jepang. Ada peluang Jepang bakal mengalami resesi.
Resesi adalah kontraksi ekonomi (tumbuh negatif) yang terjadi dalam dua kuartal atau lebih secara berturut-turut dalam setahun. Mengutip Reuters, jajak pendapat kepada para ekonom memperkirakan Jepang masih bisa menghindari resesi pada tahun fiskal 2019, yang dimulai pada April.
Namun berdasarkan jajak pendapat terhadap 38 ekonom, risiko resesi di Jepang meningkat dibandingkan polling tiga bulan lalu. Pasalnya, data-data ekonomi di Jepang seolah mendukung terjadinya bencana tersebut.
Berdasarkan konsensus pasar yang dihimpun Reuters, pertumbuhan ekonomi Jepang pada 2018 diperkirakan 0,7%. Lebih lambat dibandingkan proyeksi yang dibuat bulan lalu yaitu 0,9%.
Data lain juga menunjukkan betapa lesunya ekonomi Negeri Matahari Terbit. Inflasi pada Desember 2018 tercatat 0,3% year-on-year (YoY), laju paling lambat sejak Oktober 2017.
Tidak seperti Indonesia, Jepang adalah negara yang mendambakan inflasi. Sebab, inflasi menunjukkan dunia usaha berani menaikkan harga karena konsumen bersedia membayar lebih untuk mendapatkan barang dan jasa. Artinya, ada kenaikan permintaan domestik.
Tanda-tanda kelesuan permintaan juga tercermin dari angka pengangguran. Pada November 2018, angka pengangguran Jepang tercatat 2,5%. Naik dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 2,4%.
Tidak hanya di dalam negeri, sisi eksternal Jepang pun mengalami masalah. Pada November 2018, Jepang mengalami defisit perdagangan sebesar JPY 737,3 miliar. Defisit dagang terjadi selama dua bulan beruntun, di mana pada Oktober 2018 Jepang juga mengalami tekor JPY 450 miliar.
Oleh karena itu, tidak heran para ekonom mulai mencemaskan risiko resesi di Jepang. Meski mungkin tidak terjadi dalam waktu dekat, tetapi risiko ini tetap membayangi laju perekonomian Negeri Sakura.
Resesi adalah kontraksi ekonomi (tumbuh negatif) yang terjadi dalam dua kuartal atau lebih secara berturut-turut dalam setahun. Mengutip Reuters, jajak pendapat kepada para ekonom memperkirakan Jepang masih bisa menghindari resesi pada tahun fiskal 2019, yang dimulai pada April.
Namun berdasarkan jajak pendapat terhadap 38 ekonom, risiko resesi di Jepang meningkat dibandingkan polling tiga bulan lalu. Pasalnya, data-data ekonomi di Jepang seolah mendukung terjadinya bencana tersebut.
Berdasarkan konsensus pasar yang dihimpun Reuters, pertumbuhan ekonomi Jepang pada 2018 diperkirakan 0,7%. Lebih lambat dibandingkan proyeksi yang dibuat bulan lalu yaitu 0,9%.
Data lain juga menunjukkan betapa lesunya ekonomi Negeri Matahari Terbit. Inflasi pada Desember 2018 tercatat 0,3% year-on-year (YoY), laju paling lambat sejak Oktober 2017.
Tidak seperti Indonesia, Jepang adalah negara yang mendambakan inflasi. Sebab, inflasi menunjukkan dunia usaha berani menaikkan harga karena konsumen bersedia membayar lebih untuk mendapatkan barang dan jasa. Artinya, ada kenaikan permintaan domestik.
Tanda-tanda kelesuan permintaan juga tercermin dari angka pengangguran. Pada November 2018, angka pengangguran Jepang tercatat 2,5%. Naik dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 2,4%.
Tidak hanya di dalam negeri, sisi eksternal Jepang pun mengalami masalah. Pada November 2018, Jepang mengalami defisit perdagangan sebesar JPY 737,3 miliar. Defisit dagang terjadi selama dua bulan beruntun, di mana pada Oktober 2018 Jepang juga mengalami tekor JPY 450 miliar.
Oleh karena itu, tidak heran para ekonom mulai mencemaskan risiko resesi di Jepang. Meski mungkin tidak terjadi dalam waktu dekat, tetapi risiko ini tetap membayangi laju perekonomian Negeri Sakura.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Pages
Most Popular