
Aduh, Rupiah Lesu 5 Hari Beruntun di Kurs Acuan
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
21 January 2019 10:34

Melihat rupiah yang melemah di tengah semaraknya penguatan mata uang Asia, sepertinya faktor domestik lebih memegang peranan. Pertama, harus diakui penguatan rupiah sebelumnya sudah sangat kencang.
Rupiah masih menguat 1,22% sejak awal tahun. Dalam sebulan terakhir, bahkan penguatan rupiah mencapai 2,4%.
Penguatan rupiah yang sudah begitu tajam ini mengundang 'karma'. Rupiah menjadi rentan terkena koreksi teknikal. Investor yang sudah mendapatkan cuan tinggi tentu menjadi bernafsu melepas rupiah, sehingga mata uang Tanah Air rentan melemah.
Kedua, harga minyak masih dalam jalur pendakian. Pada pukul 10:18 WIB, harga minyak jenis brent naik 0,4% dan light sweet bertambah 0,35%. Dalam sebulan terakhir, harga brent melonjak 16,67% dan light sweet meroket 17,59%.
Apabila harga minyak terus reli, maka ini menjadi sentimen negatif buat rupiah. Harga minyak yang naik akan membuat biaya impor komoditas ini menjadi semakin mahal, artinya semakin banyak devisa yang 'terbakar' untuk keperluan impor.
Ketika impor minyak melonjak, maka transaksi berjalan (current account) akan semakin tertekan. Bank Indonesia (BI) memperkirakan defisit transaksi berjalan pada 2019 turun ke kisaran 2,5 dari Produk Domestik Bruto (PDB). Namun jika harga minyak naik terus, maka proyeksi ini bisa saja meleset.
Artinya, Indonesia masih akan kekurangan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa. Ini membuat fundamental penyokong rupiah menjadi rapuh dan mata uang Tanah Air rentan melemah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Rupiah masih menguat 1,22% sejak awal tahun. Dalam sebulan terakhir, bahkan penguatan rupiah mencapai 2,4%.
Penguatan rupiah yang sudah begitu tajam ini mengundang 'karma'. Rupiah menjadi rentan terkena koreksi teknikal. Investor yang sudah mendapatkan cuan tinggi tentu menjadi bernafsu melepas rupiah, sehingga mata uang Tanah Air rentan melemah.
Apabila harga minyak terus reli, maka ini menjadi sentimen negatif buat rupiah. Harga minyak yang naik akan membuat biaya impor komoditas ini menjadi semakin mahal, artinya semakin banyak devisa yang 'terbakar' untuk keperluan impor.
Ketika impor minyak melonjak, maka transaksi berjalan (current account) akan semakin tertekan. Bank Indonesia (BI) memperkirakan defisit transaksi berjalan pada 2019 turun ke kisaran 2,5 dari Produk Domestik Bruto (PDB). Namun jika harga minyak naik terus, maka proyeksi ini bisa saja meleset.
Artinya, Indonesia masih akan kekurangan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa. Ini membuat fundamental penyokong rupiah menjadi rapuh dan mata uang Tanah Air rentan melemah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular