
Soft Brexit dan China Redakan Luka Rupiah
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
16 January 2019 12:30

Sepertinya investor mulai kembali berani masuk ke aset-aset berisiko di negara berkembang Asia seiring kepastian yang perlahan mulai terlihat di Inggris. Dini hari tadi, parlemen Inggris menolak proposal Brexit yang diajukan Perdana Menteri Theresa May, sesuatu yang sempat membuat pasar penuh dengan kegamangan.
Namun kabut ketidakpastian mulai hilang. Menurut seorang sumber, mengutip Reuters, para anggota parlemen sedang merumuskan penundaan Brexit. Hal itu terungkap usai Menteri Keuangan Inggris Philip Hammond, Menteri Urusan Bisnis Inggris Greg Clark, dan Menteri Urusan Bexit Inggris Stephen Barclay melakukan conference call dengan para pengusaha.
"Sedang ada persiapan untuk menunda Artikel 50 (pemisahan Inggris dari Uni Eropa). Kita harus menunggu bagaimana perkembangan di gedung parlemen," ungkap sang sumber, yang ikut dalam conference call tersebut.
Oleh karena itu, investor mulai berharap Inggris bisa mendapatkan soft Brexit. Artinya, proses perceraian dengan Uni Eropa bisa terjadi dengan lancar dan baik-baik dengan adanya penundaan. Inggris akan punya waktu lebih banyak untuk merumuskan cara terbaik berpisah dengan Uni Eropa.
Selain soft Brexit, pelaku pasar juga semringah karena data ekonomi China yang ciamik. Harga properti residensial China pada Desember 2018 naik 9,7% year-on-year (YoY), lebih baik ketimbang bulan sebelumnya yang mencatat pertumbuhan 9,3% YoY.
Masih dari China, perbankan Negeri Tirai Bambu tetap getol menyalurkan kredit. Penyaluran kredit baru pada Desember 2018 tercatat CNY 1,08 triliun, lebih tinggi dibandingkan konsensus pasar yang dihimpun Reuters yaitu CNY 800 miliar.
Sepanjang 2018, penyaluran kredit baru di China mencapai CNY 16,17 triliun. Naik hampir 20% dibandingkan 2017.
Data ini memberi harapan bahwa ekonomi China tidak akan terlalu melambat. Laju pertumbuhan ekonomi 6-6,5% yang menjadi target pemerintah untuk 2019 masih bisa tercapai, perlambatan yang tidak terlalu tajam dibandingkan 2018 yang diperkirakan 6,6%.
China adalah perekonomian terbesar di Asia. Jika ekonomi China tetap kokoh, maka negara-negara lain juga akan tangguh termasuk Indonesia. Sebab, China adalah negara yang sangat penting bagi Indonesia.
China merupakan negara tujuan ekspor utama, di mana sepanjang 2018 ekspor non-migas ke Negeri Panda tercatat US$ 24,39 miliar atau 15% dari total ekspor non-migas. Kalau ekonomi China masih kuat, maka permintaan produk-produk made in Indonesia akan tetap tinggi. Artinya, ekspor Indonesia akan meningkat dan menopang pertumbuhan ekonomi.
Harapan akan soft Brexit dan data ekonomi China yang positif membawa energi bagi rupiah. Walau belum mampu menguat, setidaknya 'luka' rupiah agak mereda.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Namun kabut ketidakpastian mulai hilang. Menurut seorang sumber, mengutip Reuters, para anggota parlemen sedang merumuskan penundaan Brexit. Hal itu terungkap usai Menteri Keuangan Inggris Philip Hammond, Menteri Urusan Bisnis Inggris Greg Clark, dan Menteri Urusan Bexit Inggris Stephen Barclay melakukan conference call dengan para pengusaha.
"Sedang ada persiapan untuk menunda Artikel 50 (pemisahan Inggris dari Uni Eropa). Kita harus menunggu bagaimana perkembangan di gedung parlemen," ungkap sang sumber, yang ikut dalam conference call tersebut.
Selain soft Brexit, pelaku pasar juga semringah karena data ekonomi China yang ciamik. Harga properti residensial China pada Desember 2018 naik 9,7% year-on-year (YoY), lebih baik ketimbang bulan sebelumnya yang mencatat pertumbuhan 9,3% YoY.
Masih dari China, perbankan Negeri Tirai Bambu tetap getol menyalurkan kredit. Penyaluran kredit baru pada Desember 2018 tercatat CNY 1,08 triliun, lebih tinggi dibandingkan konsensus pasar yang dihimpun Reuters yaitu CNY 800 miliar.
Sepanjang 2018, penyaluran kredit baru di China mencapai CNY 16,17 triliun. Naik hampir 20% dibandingkan 2017.
Data ini memberi harapan bahwa ekonomi China tidak akan terlalu melambat. Laju pertumbuhan ekonomi 6-6,5% yang menjadi target pemerintah untuk 2019 masih bisa tercapai, perlambatan yang tidak terlalu tajam dibandingkan 2018 yang diperkirakan 6,6%.
China adalah perekonomian terbesar di Asia. Jika ekonomi China tetap kokoh, maka negara-negara lain juga akan tangguh termasuk Indonesia. Sebab, China adalah negara yang sangat penting bagi Indonesia.
China merupakan negara tujuan ekspor utama, di mana sepanjang 2018 ekspor non-migas ke Negeri Panda tercatat US$ 24,39 miliar atau 15% dari total ekspor non-migas. Kalau ekonomi China masih kuat, maka permintaan produk-produk made in Indonesia akan tetap tinggi. Artinya, ekspor Indonesia akan meningkat dan menopang pertumbuhan ekonomi.
Harapan akan soft Brexit dan data ekonomi China yang positif membawa energi bagi rupiah. Walau belum mampu menguat, setidaknya 'luka' rupiah agak mereda.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular