Bisnis Maskapai Masih Berat di 2019, Ini Masalahnya

Syahrizal Sidik, CNBC Indonesia
14 January 2019 18:34
Bisnis Maskapai Masih Berat di 2019, Ini Masalahnya
Foto: Pesawat Airbus A330-300 Garuda Indonesia seperti yang terlihat sebelum mendarat di bandara Soekarno Hatta di Jakarta, Indonesia, 18 Desember 2017. REUTERS / Beawiharta / File Photo
Jakarta, CNBC Indoneisa - Emiten maskapai penerbangan di Bursa Efek Indonesia diprediksi masih akan menghadapi tantangan berat tahun ini. Tekanan itu datang dari volatilitas harga minyak mentah dunia yang memicu kenaikan harga avtur.

Kepala Riset PT Koneksi Kapital Indonesia Alfred Nainggolan menilai ramainya perbincangan publik mengenai meroketnya harga tiket pesawat berbiaya hemat hingga 100% adalah risiko rasional.

Risiko itu muncul lantaran biaya operasional maskapai terus meningkat, baik full service maupun low cost carrier (LCC), di tengah belum adanya kebijakan menaikkan tarif tiket pesawat sejak 2016.

Warganet, katanya, bahkan beramai-ramai menyuarakan mahalnya tiket pesawat dengan melayangkan petisi secara daring.
Namun Alfred menilai volatilitas harga avtur tak hanya menjadi satu variabel penentu bisnis penerbangan Tanah Air.

"Faktor kenaikan harga tiket memang dijadikan alasan untuk menutup kenaikan biaya operasional, kenaikan avtur itu rasional diterima pasar," ujar Alfred, kepada CNBC Indonesia, Senin (14/1/2019).

Menurut Alfred, tidak ada relasi yang cukup kuat yang bisa membuktikan bahwa jika harga avtur turun, pendapatan maskapai penerbangan naik dan meraih untung. "Saya katakan tahun 2019 emiten maskapai memang masih berat," ujarnya.

Pada 2017 misalnya, dengan harga minyak mentah dunia masih di level US$ 50 dolar/barrel, PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) masih mencatatkan kerugian bersih senilai Rp 2,88 triliun pada tahun yang sama.

"Artinya bahwa seperti dalam konteks sekarang harga minyak dunia rendah enggak bisa munculkan optimisme, proven-nya belum terlihat, perolehan laba belum konsisten," tutur dia.


Dia pun belum bisa menentukan pada level seperti apa emiten maskapai bisa mencatatkan kinerja positif. Mengingat, volatilitas bisnis di industri penerbangan sangat tinggi. "Volatilitasnya tinggi, ini yang menurut saya kapan [bisa untung] relatif sulit," jelasnya.

Hal senada juga disampaikan peneliti Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara. Menurut Bhima, kinerja maskapai penerbangan tahun ini relatif berjalan lebih lamban, mengingat adanya perhelatan tahun politik.

Selain itu, target pertumbuhan wisatawan mancanengara tahun lalu yang tidak mencapai target patut menjadi sorotan. 
"Artinya dari sisi demand agak melambat, ini harus hati-hati," kata Bhima kepada CNBC Indonesia saat ditemui di ITS Tower, Jakarta Selatan, Senin (14/1/2019).  Bhima menilai, industri penerbangan sangat berpengaruh terhadap fluktuasi harga bahan bakar. Sebab itu, tugas pemerintah memastikan nilai tukar rupiah tetap terjaga sesuai dengan fundamental. "Karena pelemahan kurs tidak bisa diprediksi, ke depan bisa berpotensi melemah, belum lagi suku cadang juga impor, itu juga pengaruh," tegasnya.  Kinerja beberapa emiten sektor penerbangan di BEI memang belum pulih benar. Harga minyak mentah yang masih di level US$ 59/barel terus berdampak pada harga energi, termasuk avtur.

Mengacu laporan keuangan per September 2018, Garuda Indonesia mulai mengurangi rugi bersih menjadi US$ 114,08 juta dari September 2017 sebesar US$ 222,04 juta. Pendapatan Garuda mulai naik menjadi US$ 3,22 miliar pada periode itu dari sebelumnya US$ 3,11 miliar. Di sisi lain, PT AirAsia Indonesia Tbk (CMPP) menderita rugi Rp 639,16 miliar, naik dari sebelumnya Rp 416,74 miliar.

 
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular