
Sentimen Eksternal Tak Kondusif, IHSG Melemah 0,86%
tahir saleh & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
14 January 2019 12:58

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengakhiri sesi 1 dengan pelemahan sebesar 0,86% ke level 6.306,59. Sedikit lagi, IHSG akan jatuh ke bawah level psikologis 6.300 yang sudah susah payah dilewatinya.
Kinerja IHSG senada dengan bursa saham utama kawasan Asia yang juga ditransaksikan di zona merah: indeks Shanghai turun 0,56%, indeks Hang Seng turun 1,38%, indeks Straits Times turun 0,42%, dan indeks Kospi turun 0,65%.
Rilis data perdagangan internasional China merupakan hal utama yang memantik aksi jual di kawasan regional. Pada pagi hari ini, ekspor diumumkan tumbuh sebesar 9,9% pada tahun 2018, sementara impor melesat 15,8%. Pertumbuhan ekspor yang sebesar 9,9% menjadi yang tertinggi sejak 2011, seperti dilansir dari CNBC International.
Namun, kuatnya ekspor lebih disebabkan oleh aksi front loading untuk mengantisipasi bea masuk lebih tinggi yang diberlakukan oleh AS. Oleh karenanya, pelaku pasar tak merespons hal tersebut dengan positif.
Hal ini dibuktikan oleh surplus dagang dengan AS yang mencapai US$ 323,32 miliar, tertinggi sejak 2006. Ekspor ke AS melesat 11,3%, sementara impor dari Negeri Paman Sam hanya naik tipis 0,7%.
Hingga kini, belum ada kesepakatan hitam di atas putih yang ditandatangani AS dan China di bidang perdagangan. Kesepakatan yang ada masih berupa komitmen sehingga sangat mungkin untuk dilanggar dan mengeskalasi perang dagang yang selama ini berkecamuk.
Pada 3 hari pertama pekan lalu (7-9 Januari), AS dan China menggelar negosiasi dagang setingkat wakil kementerian di Beijing. Pasca pertemuan rampung digelar, US Trade Representatives (USTR) mengatakan bahwa China berkomitmen membeli lebih banyak produk asal Negeri Paman Sam, mulai dari produk pertanian, energi, hingga manufaktur. Gaduh politik di AS dan Inggris membuat investor kian gencar melepas instrumen berisiko seperti saham. Hingga kini, terhitung sudah 23 hari sebagian pemerintahan AS berhenti beroperasi (partial government shutdown), menjadikannya yang terpanjang di era modern.
Shutdown kali ini terjadi lantaran partai Republik dan Demokrat tak mampu menyepakati anggaran belanja negara, seiring dengan adanya ketidaksepahaman mengenai anggaran untuk pembangunan infrastruktur perbatasan AS-Meksiko.
Hingga kini, belum ada tanda-tanda bahwa partai Republik dan Demokrat akan berkompromi untuk kembali membuka pemerintahan.
Selain di AS, gaduh politik juga kental terasa di Inggris. Pada 15 Januari mendatang, pemungutan suara di parlemen terkait dengan proposal Brexit yang sudah disepakati pemerintahan Perdana Menteri Theresa May dengan Uni Eropa akan digelar. Kemungkinan besar, proposal ini akan ditolak oleh parlemen.
May mengingatkan bahwa apabila proposal Brexit tidak disetujui maka akan menjadi sebuah bencana besar. Inggris terancam keluar dari Uni Eropa tanpa kompensasi apa-apa alias No Deal Brexit.
"Melakukan itu [menolak proposal Brexit] akan menjadi bencana dan pengkhianatan besar terhadap demokrasi. Pesan saya kepada parlemen sederhana saja, lupakan permainan [politik] dan lakukan yang benar untuk negara ini," tegas May dalam kolom di Sunday Express.
Apabila No Deal Brexit sampai terjadi, dampaknya tidak main-main. Bank Sentral Inggris (Bank of England/BoE) memperkirakan No Deal Brexit bisa menyebabkan ekonomi Negeri Ratu Elizabeth terkontraksi hingga 8% pada tahun ini. Sektor jasa keuangan (-0,59%) berkontribusi besar dalam memotori koreksi IHSG. Pelemahan sektor jasa keuangan terjadi seiring dengan aksi jual atas saham-saham bank BUKU 4: PT Bank CIMB Niaga Tbk (BNGA) turun 2,67%, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) turun 1,71%, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) turun 0,84%, dan PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) turun 0,32%.
Sentimen negatif yang datang dari rilis data perdagangan internasional China dan gaduh politik di AS dan Inggris membuat pelaku pasar melepas rupiah dan mengalihkannya ke dalam safe haven yakni dolar AS. Hingga siang hari, rupiah melemah 0,32% melawan dolar AS di pasar spot ke level Rp 14.085.
Pada akhirnya, pelemahan rupiah membuat investor melepas saham-saham perbankan.
Sejatinya, ada sentimen positif bagi rupiah yakni kejatuhan harga minyak mentah dunia. Hingga berita ini diturunkan, harga minyak mentah WTI kontrak pengiriman Februari 2019 anjlok 1,12%, sementara minyak brent kontrak pengiriman Maret 2019 melemah 1,09%.
Kejatuhan harga minyak mentah tentu menjadi kabar yang menyenangkan bagi rupiah, lantaran bisa meredakan tekanan terhadap defisit neraca berjalan (current account deficit/CAD).
Sebagai informasi, pada kuartal-III 2018 CAD mencapai 3,37% dari Produk Domestik Bruto (PDB), terdalam sejak kuartal II-2014, seiring dengan besarnya defisit perdagangan minyak dan gas (migas).
Namun, hasrat investor untuk masuk ke safe haven yang lebih besar membuat rupiah tak bisa memanfaatkan momentum yang datang dari kejatuhan harga minyak mentah.
Pelemahan rupiah terbukti ampuh untuk membuat investor asing menarik dana dari pasar saham tanah air. Hingga akhir sesi 1, investor asing membukukan jual bersih senilai Rp 53,2 miliar.
Adapun 5 besar saham yang dilepas investor asing adalah: PT United Tractors Tbk/UNTR (Rp 143,4 miliar), PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (Rp 67,6 miliar), PT Bank Permata Tbk/BNLI (Rp 27,9 miliar), PT Media Nusantara Citra Tbk/MNCN (Rp 7,8 miliar), dan PT Adi Sarana Armada Tbk/ASSA (Rp 7,4 miliar).
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank) Next Article IHSG Jatuh Lagi ke Bawah 7.000
Kinerja IHSG senada dengan bursa saham utama kawasan Asia yang juga ditransaksikan di zona merah: indeks Shanghai turun 0,56%, indeks Hang Seng turun 1,38%, indeks Straits Times turun 0,42%, dan indeks Kospi turun 0,65%.
Rilis data perdagangan internasional China merupakan hal utama yang memantik aksi jual di kawasan regional. Pada pagi hari ini, ekspor diumumkan tumbuh sebesar 9,9% pada tahun 2018, sementara impor melesat 15,8%. Pertumbuhan ekspor yang sebesar 9,9% menjadi yang tertinggi sejak 2011, seperti dilansir dari CNBC International.
Hal ini dibuktikan oleh surplus dagang dengan AS yang mencapai US$ 323,32 miliar, tertinggi sejak 2006. Ekspor ke AS melesat 11,3%, sementara impor dari Negeri Paman Sam hanya naik tipis 0,7%.
Hingga kini, belum ada kesepakatan hitam di atas putih yang ditandatangani AS dan China di bidang perdagangan. Kesepakatan yang ada masih berupa komitmen sehingga sangat mungkin untuk dilanggar dan mengeskalasi perang dagang yang selama ini berkecamuk.
Pada 3 hari pertama pekan lalu (7-9 Januari), AS dan China menggelar negosiasi dagang setingkat wakil kementerian di Beijing. Pasca pertemuan rampung digelar, US Trade Representatives (USTR) mengatakan bahwa China berkomitmen membeli lebih banyak produk asal Negeri Paman Sam, mulai dari produk pertanian, energi, hingga manufaktur. Gaduh politik di AS dan Inggris membuat investor kian gencar melepas instrumen berisiko seperti saham. Hingga kini, terhitung sudah 23 hari sebagian pemerintahan AS berhenti beroperasi (partial government shutdown), menjadikannya yang terpanjang di era modern.
Shutdown kali ini terjadi lantaran partai Republik dan Demokrat tak mampu menyepakati anggaran belanja negara, seiring dengan adanya ketidaksepahaman mengenai anggaran untuk pembangunan infrastruktur perbatasan AS-Meksiko.
Hingga kini, belum ada tanda-tanda bahwa partai Republik dan Demokrat akan berkompromi untuk kembali membuka pemerintahan.
Selain di AS, gaduh politik juga kental terasa di Inggris. Pada 15 Januari mendatang, pemungutan suara di parlemen terkait dengan proposal Brexit yang sudah disepakati pemerintahan Perdana Menteri Theresa May dengan Uni Eropa akan digelar. Kemungkinan besar, proposal ini akan ditolak oleh parlemen.
May mengingatkan bahwa apabila proposal Brexit tidak disetujui maka akan menjadi sebuah bencana besar. Inggris terancam keluar dari Uni Eropa tanpa kompensasi apa-apa alias No Deal Brexit.
"Melakukan itu [menolak proposal Brexit] akan menjadi bencana dan pengkhianatan besar terhadap demokrasi. Pesan saya kepada parlemen sederhana saja, lupakan permainan [politik] dan lakukan yang benar untuk negara ini," tegas May dalam kolom di Sunday Express.
Apabila No Deal Brexit sampai terjadi, dampaknya tidak main-main. Bank Sentral Inggris (Bank of England/BoE) memperkirakan No Deal Brexit bisa menyebabkan ekonomi Negeri Ratu Elizabeth terkontraksi hingga 8% pada tahun ini. Sektor jasa keuangan (-0,59%) berkontribusi besar dalam memotori koreksi IHSG. Pelemahan sektor jasa keuangan terjadi seiring dengan aksi jual atas saham-saham bank BUKU 4: PT Bank CIMB Niaga Tbk (BNGA) turun 2,67%, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) turun 1,71%, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) turun 0,84%, dan PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) turun 0,32%.
Sentimen negatif yang datang dari rilis data perdagangan internasional China dan gaduh politik di AS dan Inggris membuat pelaku pasar melepas rupiah dan mengalihkannya ke dalam safe haven yakni dolar AS. Hingga siang hari, rupiah melemah 0,32% melawan dolar AS di pasar spot ke level Rp 14.085.
Pada akhirnya, pelemahan rupiah membuat investor melepas saham-saham perbankan.
Sejatinya, ada sentimen positif bagi rupiah yakni kejatuhan harga minyak mentah dunia. Hingga berita ini diturunkan, harga minyak mentah WTI kontrak pengiriman Februari 2019 anjlok 1,12%, sementara minyak brent kontrak pengiriman Maret 2019 melemah 1,09%.
Kejatuhan harga minyak mentah tentu menjadi kabar yang menyenangkan bagi rupiah, lantaran bisa meredakan tekanan terhadap defisit neraca berjalan (current account deficit/CAD).
Sebagai informasi, pada kuartal-III 2018 CAD mencapai 3,37% dari Produk Domestik Bruto (PDB), terdalam sejak kuartal II-2014, seiring dengan besarnya defisit perdagangan minyak dan gas (migas).
Namun, hasrat investor untuk masuk ke safe haven yang lebih besar membuat rupiah tak bisa memanfaatkan momentum yang datang dari kejatuhan harga minyak mentah.
Pelemahan rupiah terbukti ampuh untuk membuat investor asing menarik dana dari pasar saham tanah air. Hingga akhir sesi 1, investor asing membukukan jual bersih senilai Rp 53,2 miliar.
Adapun 5 besar saham yang dilepas investor asing adalah: PT United Tractors Tbk/UNTR (Rp 143,4 miliar), PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (Rp 67,6 miliar), PT Bank Permata Tbk/BNLI (Rp 27,9 miliar), PT Media Nusantara Citra Tbk/MNCN (Rp 7,8 miliar), dan PT Adi Sarana Armada Tbk/ASSA (Rp 7,4 miliar).
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank) Next Article IHSG Jatuh Lagi ke Bawah 7.000
Most Popular