Friday I'm in Love Tak Cocok Buat Rupiah

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
11 January 2019 08:36
<i>Friday I'm in Love</i> Tak Cocok Buat Rupiah
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah di perdagangan pasar spot akhir pekan ini. Faktor eksternal dan domestik membebani langkah rupiah sehingga sulit berbicara banyak di hadapan greenback. 

Pada Jumat (11/1/2019), US$ 1 ditransaksikan Rp 14.060 saat pembukaan pasar spot. Rupiah melemah 0,07% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya. 

Seiring perjalanan pasar, rupiah semakin melemah. Pada pukul 08:15 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 14.070 di mana rupiah melemah 0,14%. 

Kemarin, rupiah meluncur mulus di zona hijau sepanjang hari perdagangan. Bahkan rupiah kembali menduduki takhta raja Asia yang sempat terlepas selama 2 hari. 


Namun gelar tersebut tidak bertahan lama. Pagi ini, nasib rupiah berbalik 180 derajat dari mata uang terbaik Benua Kuning menjadi yang terlemah. Sepertinya lagu Friday I'm in Love dari The Cure kurang pas buat rupiah. 

Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 08:16 WIB: 




(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Sentimen domestik dan eksternal memang tidak suportif buat rupiah. Dari dalam negeri, penguatan rupiah yang sudah cukup tajam rentan terhadap koreksi teknikal. 

Selama sebulan terakhir, rupiah menguat 3,44%. Bahkan dalam 3 bulan ke belakang, apresiasi rupiah mencapai 7,75%. 

 

Kemudian, kemarin ada rilis data yang kurang oke. Bank Indonesia (BI) mencatat ada ekspansi dunia usaha yang ditunjukkan dari Saldo Bersih Tertimbang (SBT) yang tumbuh 6,19% pada kuartal IV-2018. Masih positif, yang menggambarkan ekspansi. 

Namun ekspansi dunia usaha melambat signifikan dibandingkan kuartal III-2018, di mana SBT tumbuh 14,23%. Dibandingkan kuartal IV-2017, juga ada perlambatan karena saat itu SBT tumbuh 7,4%. 

Salah satu faktor yang membuat ekspansi dunia usaha kurang semarak adalah kenaikan suku bunga. Tahun lalu, BI menaikkan suku bunga acuan sampai 175 basis poin, yang ikut mengerek suku bunga pinjaman di tingkat perbankan. Biaya ekspansi menjadi semakin mahal sehingga lajunya melambat. 

Sementara angka Prompt Manufacturing Index kuartal IV-2018 berada di 51,92%. Industri manufaktur masih ekspansif karena di atas 50%, tetapi melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang sebesar 52,02%. 

Data-data ini menggambarkan bahwa dunia usaha di dalam negeri memperlambat lajunya yang bisa mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Dengan prospek perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, rupiah bukan menjadi aset yang seksi untuk dikoleksi. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Sementara dari sisi eksternal, dolar AS kembali mendapat momentum dari pernyataan Jerome 'Jay' Powell, Gubernur The Fed. Berbicara di forum Economic Club of Washington, sang The Fed-1 menegaskan pandangan bahwa bank sentral Negeri Paman Sam akan lebih berhati-hati penerapan kebijakan moneter. 

"Dengan inflasi rendah dan terkendali, kami bisa lebih sabar dan memantau dengan saksama bagaimana narasi pada 2019," tuturnya, mengutip Reuters. 

Ketika ditanya apakah The Fed masih akan menaikkan suku bunga acuan dua kali pada 2019, Powell menjawab "Itu adalah kondisi di mana ekonomi diproyeksikan sangat kuat pada 2019. Proyeksi yang mungkin masih bisa terjadi," sebut Powell dengan kalimat bersayap.

Pelaku pasar membaca bahwa The Fed yang semakin kurang hawkish sudah terlihat nyata. The Fed kini begitu hati-hati, begitu kalem, dan bahkan sudah berani menyebut inflasi rendah dan terkendali. 

Namun, greenback mendapat kekuatan dari komentar Powell soal kenaikan suku bunga acuan. Meski mungkin tidak seagresif tahun lalu, tetapi kenaikan Federal Funds Rate masih masuk dalam kalkulasi The Fed. Oleh karena itu, dolar AS masih punya harapan. 

Selain itu, Powell juga menegaskan The Fed akan tetap melanjutkan program normalisasi neraca. The Fed akan terus menjual surat berharga yang tercatat dalam neracanya, menarik likuiditas dari pasar.  

Dalam satu titik, proses ini bisa sama seperti menaikkan suku bunga acuan karena memicu inflasi. Ketika tekanan inflasi benar-benar terjadi, maka kenaikan suku bunga acuan bisa ditempuh kapan saja. Ini tentu menjadi kabar baik bagi dolar AS.    


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular