Dear Ibu Sri Mulyani, Kok Tinggi Sekali Kasih 'Bunga' SBN?

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
09 January 2019 11:59
Dear Ibu Sri Mulyani, Kok Tinggi Sekali Kasih 'Bunga' SBN?
Foto: Menteri Keuangan Sri Mulyani Memimpin Konferensi pers kinerja APBN 2018 di Kementerian Keuangan (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Masalah utang Indonesia menjadi topik panas sepanjang 2018. Hingga November 2018, total utang pemerintah pusat tercatat sebesar Rp 4.395,97 triliun, naik Rp 467,32 triliun jika dibandingkan posisi November 2017 yang sebesar Rp 3.928,65 triliun.

Banyak yang mengkritik bahwa kenaikan tersebut terlalu besar sehingga akan menimbulkan risiko di masa depan. Namun, pemerintah membela diri dengan mengatakan bahwa rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih aman. Memang, per November 2018 nilainya berada di level 29,91% atau masih di bawah batas aman yakni 30% PDB.

Namun, yang ingin disorot oleh Tim Riset CNBC Indonesia kali ini bukanlah masalah besaran tambahan utang pemerintah, melainkan besarnya beban bunga utang yang harus ditanggung. Sepanjang 2018 (non-audit), pembayaran bunga utang mencapai Rp 258,1 triliun atau setara dengan 108,2% dari target yang senilai Rp 238,6 triliun.

Besarnya beban bunga utang pemerintah tak lepas dari imbal hasil (yield) yang kelewat tinggi diberikan kepada investor obligasi. Dari 100% utang pemerintah pusat yang senilai Rp 4.395,97 triliun (per akhir November), sebanyak Rp 3.611,59 atau 82,16% merupakan Surat Berharga Negara (SBN).

Lantas, yield yang kelewat tinggi akan secara signifikan memukul keuangan pemerintah. Uang yang seharusnya bisa disalurkan kepada hal yang lebih produktif menjadi habis untuk membiayai utang.

Yield kelewat tinggi yang ditawarkan pemerintah bisa dilihat dari selisih atau spread dari obligasi tenor 10 tahun dengan tingkat inflasi (posisi per akhir tahun). Obligasi tenor 10 tahun digunakan lantaran merupakan yang umum dijadikan acuan di seluruh dunia.

Asal tahu saja, spread antara yield dengan inflasi merupakan variabel yang sangat penting bagi investor dalam menentukan keputusan investasi di pasar obligasi. Pasalnya, hal tersebut mencerminkan imbal hasil riil yang diterima investor.



Pada tahun 2015, spread-nya adalah sebesar 552 basis poin (bps), sebelum kemudian turun menjadi 492 bps pada tahun 2016. Pada tahun 2017, spread-nya anjlok menjadi 270 bps. Pada tahun 2018, spread-nya membengkak menjadi 485 bps.

Angka ini tentu tak bisa ditelan mentah-mentah begitu saja oleh investor. Jika hanya melihat angkanya, tentu ada kemajuan yang dibuat pemerintah lantaran spread-nya hanya sebesar 485 bps pada tahun 2018, turun dari posisi 2015 yang sebesar 552 bps.

Jangan lupa, pada Mei 2017 Indonesia dianugerahi peringkat layak investasi oleh Standard & Poor's (S&P) yang merupakan satu dari tiga lembaga pemeringkat kenamaan dunia. Hal ini begitu disyukuri oleh investor kala itu, mengingat S&P merupakan satu-satunya lembaga pemeringkat kenamaan dunia yang belum memberikan peringkat layak investasi untuk Indonesia.

Akibatnya, obligasi pemerintah Indonesia menjadi begitu dihargai. Diberikan spread sebesar 270 bps saja, investor sudah senang. Apalagi, menjelang akhir tahun Fitch Ratings menaikkan peringkat surat utang jangka panjang Indonesia dari BBB- menjadi BBB, menjadikan Indonesia setara dengan Filipina dan Portugal yang telah lebih dulu mendapatkan kenaikan peringkat serupa.

Sebelum Anda menebak, tidak, tidak ada penurunan peringkat pada tahun 2018 yang membuat investor meminta spread yang begitu besar kala ingin membeli obligasi Indonesia. Yang ada, peringkat Indonesia dinaikkan satu tingkat oleh Moody's menjadi Baa2.

NEXT >>



Pelemahan rupiah menjadi momok bagi pasar obligasi tanah air, sekaligus tentunya pemerintah. Maklum, dari total surat berharga terbitan pemerintah Indonesia yang bisa diperdagangkan senilai Rp 2.099,77 triliun (posisi awal 2018), sebanyak 39,86% dimiliki oleh investor asing. Ketika rupiah melemah apalagi secara signifikan, investor asing menjadi dihadapkan pada yang namanya risiko kurs.

Sepanjang 2018, rupiah melemah sebesar 5,79% melawan dolar AS di pasar spot, dari Rp 13.565/dolar AS menjadi Rp 14.375/dolar AS. Jika dibandingkan dengan beberapa mata uang negara lain di kawasan Asia, performa rupiah menjadi yang terburuk setelah rupee. Bahkan, baht bisa menguat walau tipis saja.



Tak bisa jika pemerintah hanya menyalahkan pelemahan rupiah kepada faktor eksternal berupa normalisasi oleh The Federal Reserve selaku bank sentral AS serta perang dagang AS-China. Faktanya, depresiasi rupiah jauh lebih dalam dibandingkan dengan negara-negara tetangga.

Harus diakui bahwa masalah defisit transaksi berjalan/current account deficit (CAD) yang sempat menjadi momok bagi Indonesia di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) belum bisa diselesaikan.

Kencangnya impor tak bisa diimbangi oleh ekspor yang kencang pula. Kalau saja pemerintah mengerjakan pekerjaan rumahnya dengan baik yakni menggenjot industrialiasasi, niscaya pelemahan rupiah tak akan mencapai 5,79%. Pada akhirnya, pemerintah tak perlu memberikan yield yang kelewat tinggi bagi investor pasar obligasi tanah air.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular