
Rupiah Ngamuk, Mata Uang Asia dan Eropa Jadi Korbannya
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
31 December 2018 11:47

Jelang akhir 2018, investor pun mulai bersiap menghadapi 2019. Tahun depan sepertinya menjadi momentum yang indah bagi rupiah, tidak seperti 2018 yang meninggalkan luka dalam.
Bank investasi ternama asal AS, Morgan Stanley, menaikkan status pasar saham Indonesia dari underweight menjadi overweight untuk 2019. Artinya, pasar saham Indonesia dipandang begitu molek sehingga sangat layak untuk dimasuki.
Selain itu, sentimen positif bagi rupiah pada 2019 adalah harga minyak. Kemungkinan harga si emas hitam masih akan tertekan pada 2019.
Sejak 3 Oktober hingga 28 Desember, harga minyak jenis brent melorot 39,51%. Sepertinya tren penurunan harga minyak akan bertahan cukup lama. Sebab, investor masih saja mencemaskan ancaman kelebihan pasokan (oversupply).
Badan Energi Internasional (IEA) memperkirakan produksi minyak pada 2019 adalah 101,84 juta barel/hari. Melampaui proyeksi permintaan yaitu 101,61 juta barel/hari. Akibatnya, harga minyak pun bergerak turun, dan mungkin bertahan dalam waktu yang tidak sebentar.
Bagi rupiah, koreksi harga minyak akan sangat menguntungkan. Pasalnya, tekanan terhadap rupiah kerap kali hadir dari tingginya impor minyak.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, neraca minyak mentah Indonesia selama Januari-November 2018 defisit US$ 3,89 miliar dan neraca hasil minyak minus US$ 14,75 miliar. Ini menyebabkan neraca perdagangan tekor US$ 7,51 miliar.
Tingginya defisit neraca perdagangan dikhawatirkan menular ke transaksi berjalan (current account). Bank Indonesia (BI) mengakui bahwa defisit transaksi berjalan pada kuartal IV-2018 masih akan berada di kisaran 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Jika harga minyak lebih murah, maka beban impor minyak ini berpotensi berkurang. Oleh karena itu, rupiah akan punya beking devisa yang lebih memadai sehingga potensi penguatan menjadi lebih besar.
Investor kemudian memberi apresiasi terhadap ruang penguatan rupiah dengan mulai mengoleksi mata uang ini. Hasilnya jelas, rupiah berjaya dari AS, Asia, hingga Eropa.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Bank investasi ternama asal AS, Morgan Stanley, menaikkan status pasar saham Indonesia dari underweight menjadi overweight untuk 2019. Artinya, pasar saham Indonesia dipandang begitu molek sehingga sangat layak untuk dimasuki.
Selain itu, sentimen positif bagi rupiah pada 2019 adalah harga minyak. Kemungkinan harga si emas hitam masih akan tertekan pada 2019.
Badan Energi Internasional (IEA) memperkirakan produksi minyak pada 2019 adalah 101,84 juta barel/hari. Melampaui proyeksi permintaan yaitu 101,61 juta barel/hari. Akibatnya, harga minyak pun bergerak turun, dan mungkin bertahan dalam waktu yang tidak sebentar.
Bagi rupiah, koreksi harga minyak akan sangat menguntungkan. Pasalnya, tekanan terhadap rupiah kerap kali hadir dari tingginya impor minyak.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, neraca minyak mentah Indonesia selama Januari-November 2018 defisit US$ 3,89 miliar dan neraca hasil minyak minus US$ 14,75 miliar. Ini menyebabkan neraca perdagangan tekor US$ 7,51 miliar.
Tingginya defisit neraca perdagangan dikhawatirkan menular ke transaksi berjalan (current account). Bank Indonesia (BI) mengakui bahwa defisit transaksi berjalan pada kuartal IV-2018 masih akan berada di kisaran 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Jika harga minyak lebih murah, maka beban impor minyak ini berpotensi berkurang. Oleh karena itu, rupiah akan punya beking devisa yang lebih memadai sehingga potensi penguatan menjadi lebih besar.
Investor kemudian memberi apresiasi terhadap ruang penguatan rupiah dengan mulai mengoleksi mata uang ini. Hasilnya jelas, rupiah berjaya dari AS, Asia, hingga Eropa.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular