
Rupiah Mampu Bangkit di Penutupan, Harga Minyak Jadi Faktor
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
27 December 2018 17:17

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ditutup menguat pada perdagangan hari ini. Setelah hampir sepanjang hari terperangkap di zona merah, mata uang tanah air berbalik menguat di akhir perdagangan.
Pada Kamis (27/12/2018), US$ 1 dihargai Rp 14.555 kala penutupan pasar spot. Rupiah menguat 0,1% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Dibuka menguat 0,14% di perdagangan hari ini, rupiah seperti kehilangan tenaga dalam mengarungi perdagangan hari ini. Mata uang tanah air bahkan sempat melemah hingga menyentuh level psikologis Rp 14.590/US$.
Meski demikian, di menit-menit akhir rupiah tancap gas, hingga akhirnya menguat sebesar 0,1% pada penutupan perdagangan. Berikut pergerakan kurs dolar AS terhadap rupiah sepanjang hari ini:
Penguatan rupiah terjadi kala mayoritas mata uang utama Asia juga bergerak menguat. Status mata uang Benua Kuning terkuat hari ini dipegang oleh yen Jepang yang menguat hingga 0,48%. Di sisi lain, ada beberapa mata uang yang terdepresiasi terhadap dolar AS, di antaranya dolar Taiwan, dolar Singapura, dan rupee India.
Karena berhasil menguat di menit-menit akhir perdagangan, rupiah pun naik kasta ke golongan mata uang yang mampu terapresiasi pada hari ini. Capaian ini tentu perlu disyukuri, mengingat rupiah menghabiskan sebagian besar waktunya hari ini di zona merah.
Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap sejumlah mata uang Asia pada pukul 16:16 WIB:
Mayoritas mata uang kawasan Asia mampu membukukan apresiasi melawan dolar AS, seiring dengan tingginya appetite investor untuk masuk aset-aset berisiko di negara berkembang.
Tingginya gairah pelaku pasar datang seiring dengan performa Wall Street yang begitu apik pada perdagangan kemarin (26/12/2018), di mana Dow Jones ditutup melesat 4,98%, indeks S&P 500 melambung 4,95%, dan indeks Nasdaq terdongkrak 5,84%.
Terlebih, ada dua kabar positif yang membuat investor semakin percaya diri. Pertama, beberapa media di AS melaporkan bahwa tim perdagangan asal Negeri Paman Sam akan bertolak ke Beijing dalam rentang sepekan yang bermula pada tanggal 7 Januari 2019. Perjalanan sejumlah pejabat dari AS ini bertujuan untuk membahas kelanjutan negosiasi perdagangan AS-China.
Kedua, meredanya tensi antara Gedung Putih dan bank sentral AS The Federal Reserve/The Fed. Penasihat ekonomi Gedung Putih Kevin Hassett menyatakan bahwa pekerjaan Jerome Powell sebagai Gubernur The Fed "100% aman".
Pekan lalu, The Fed menaikkan suku bunga acuan untuk keempat kalinya di tahun ini, dan kemungkinan besar masih akan mengerek Federal Funds Rate pada tahun depan, meski sejumlah risiko ekonomi kini tengah mengancam Negeri Adidaya (termasuk risiko terjadinya resesi).
Melihat sikap The Fed yang masih cenderung hawkish, Presiden AS Donald Trump pun merasa gerah. Awal pekan ini, mantan taipan properti itu mengkritik Powell, dengan melontarkan komentar bahwa "satu-satunya masalah" bagi ekonomi AS adalah The Fed. Kritik keras Trump tersebut bahkan menimbulkan spekulasi bahwa Powell bisa saja dipecat.
Namun kini dengan komentar dari Hassett, pelaku pasar bisa agak bernafas lega. Setidaknya, masih ada harapan bahwa Powell masih akan duduk di posisi The Fed 1. Satu ketidakpastian kini agak memudar.
Kondusifnya sentimen eksternal lantas mendorong pelaku pasar berbondong-bondong masuk ke pasar keuangan Asia, tak terkecuali Indonesia. Di pasar saham, investor mencatatkan beli bersih hingga Rp 187,48 miliar, yang membuat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melesat hingga 1,02%.
Sebaliknya, instrumen safe haven seperti dolar AS pun ditinggalkan investor. Hingga sore ini, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback terhadap 6 mata uang utama dunia) tercatat melemah di kisaran 0,25%. Hal ini kemudian dimanfaatkan sebagian besar mata uang Asia menguat, termasuk Indonesia.
Adapun faktor yang nampaknya mampu membuat rupiah berbalik menguat adalah harga minyak mentah yang kembali terkoreksi pada hari ini. Hingga pukul 17.00 WIB, harga brent amblas 2,7% ke US$ 53/barel, sementara harga light sweet (WTI) ambrol 2,55% ke US$ 45,04%. Padahal, pada perdagangan kemarin, harganya mampu melesat di kisaran 8%.
Anjloknya harga minyak mentah tentu menjadi kabar yang menyenangkan bagi rupiah, lantaran memantik optimisme bahwa defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) bisa diredam pada kuartal terakhir di tahun ini.
Sebagai informasi, pada kuartal-III 2018 CAD mencapai 3,37% dari Produk Domestik Bruto (PDB), terdalam sejak kuartal II-2014, seiring dengan besarnya defisit perdagangan minyak dan gas (migas).
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/RHG) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Pada Kamis (27/12/2018), US$ 1 dihargai Rp 14.555 kala penutupan pasar spot. Rupiah menguat 0,1% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Dibuka menguat 0,14% di perdagangan hari ini, rupiah seperti kehilangan tenaga dalam mengarungi perdagangan hari ini. Mata uang tanah air bahkan sempat melemah hingga menyentuh level psikologis Rp 14.590/US$.
Meski demikian, di menit-menit akhir rupiah tancap gas, hingga akhirnya menguat sebesar 0,1% pada penutupan perdagangan. Berikut pergerakan kurs dolar AS terhadap rupiah sepanjang hari ini:
Penguatan rupiah terjadi kala mayoritas mata uang utama Asia juga bergerak menguat. Status mata uang Benua Kuning terkuat hari ini dipegang oleh yen Jepang yang menguat hingga 0,48%. Di sisi lain, ada beberapa mata uang yang terdepresiasi terhadap dolar AS, di antaranya dolar Taiwan, dolar Singapura, dan rupee India.
Karena berhasil menguat di menit-menit akhir perdagangan, rupiah pun naik kasta ke golongan mata uang yang mampu terapresiasi pada hari ini. Capaian ini tentu perlu disyukuri, mengingat rupiah menghabiskan sebagian besar waktunya hari ini di zona merah.
Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap sejumlah mata uang Asia pada pukul 16:16 WIB:
Mayoritas mata uang kawasan Asia mampu membukukan apresiasi melawan dolar AS, seiring dengan tingginya appetite investor untuk masuk aset-aset berisiko di negara berkembang.
Tingginya gairah pelaku pasar datang seiring dengan performa Wall Street yang begitu apik pada perdagangan kemarin (26/12/2018), di mana Dow Jones ditutup melesat 4,98%, indeks S&P 500 melambung 4,95%, dan indeks Nasdaq terdongkrak 5,84%.
Terlebih, ada dua kabar positif yang membuat investor semakin percaya diri. Pertama, beberapa media di AS melaporkan bahwa tim perdagangan asal Negeri Paman Sam akan bertolak ke Beijing dalam rentang sepekan yang bermula pada tanggal 7 Januari 2019. Perjalanan sejumlah pejabat dari AS ini bertujuan untuk membahas kelanjutan negosiasi perdagangan AS-China.
Kedua, meredanya tensi antara Gedung Putih dan bank sentral AS The Federal Reserve/The Fed. Penasihat ekonomi Gedung Putih Kevin Hassett menyatakan bahwa pekerjaan Jerome Powell sebagai Gubernur The Fed "100% aman".
Pekan lalu, The Fed menaikkan suku bunga acuan untuk keempat kalinya di tahun ini, dan kemungkinan besar masih akan mengerek Federal Funds Rate pada tahun depan, meski sejumlah risiko ekonomi kini tengah mengancam Negeri Adidaya (termasuk risiko terjadinya resesi).
Melihat sikap The Fed yang masih cenderung hawkish, Presiden AS Donald Trump pun merasa gerah. Awal pekan ini, mantan taipan properti itu mengkritik Powell, dengan melontarkan komentar bahwa "satu-satunya masalah" bagi ekonomi AS adalah The Fed. Kritik keras Trump tersebut bahkan menimbulkan spekulasi bahwa Powell bisa saja dipecat.
Namun kini dengan komentar dari Hassett, pelaku pasar bisa agak bernafas lega. Setidaknya, masih ada harapan bahwa Powell masih akan duduk di posisi The Fed 1. Satu ketidakpastian kini agak memudar.
Kondusifnya sentimen eksternal lantas mendorong pelaku pasar berbondong-bondong masuk ke pasar keuangan Asia, tak terkecuali Indonesia. Di pasar saham, investor mencatatkan beli bersih hingga Rp 187,48 miliar, yang membuat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melesat hingga 1,02%.
Sebaliknya, instrumen safe haven seperti dolar AS pun ditinggalkan investor. Hingga sore ini, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback terhadap 6 mata uang utama dunia) tercatat melemah di kisaran 0,25%. Hal ini kemudian dimanfaatkan sebagian besar mata uang Asia menguat, termasuk Indonesia.
Adapun faktor yang nampaknya mampu membuat rupiah berbalik menguat adalah harga minyak mentah yang kembali terkoreksi pada hari ini. Hingga pukul 17.00 WIB, harga brent amblas 2,7% ke US$ 53/barel, sementara harga light sweet (WTI) ambrol 2,55% ke US$ 45,04%. Padahal, pada perdagangan kemarin, harganya mampu melesat di kisaran 8%.
Anjloknya harga minyak mentah tentu menjadi kabar yang menyenangkan bagi rupiah, lantaran memantik optimisme bahwa defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) bisa diredam pada kuartal terakhir di tahun ini.
Sebagai informasi, pada kuartal-III 2018 CAD mencapai 3,37% dari Produk Domestik Bruto (PDB), terdalam sejak kuartal II-2014, seiring dengan besarnya defisit perdagangan minyak dan gas (migas).
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/RHG) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Most Popular