
Ditutup Rp 14.570/US$, Rupiah Jadi Terlemah Kedua di Asia
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
26 December 2018 17:07

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ditutup melemah di perdagangan pertama pasca libur natal. Berita baiknya, pelemahan rupiah cenderung menipis hingga akhir perdagangan.
Pada Rabu (26/12/2018), US$ 1 dihargai Rp 14.570 kala penutupan pasar spot. Rupiah melemah 0,14% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Sepanjang hari rupiah sebenarnya terus terperangkap di zona merah. Mata uang tanah air bahkan sempat melemah hingga 0,3% lebih hari ini, hingga menyentuh level psikologis Rp 14.600/US$. Meski demikan, jelang penutupan perdagangan, performa rupiah relatif membaik hingga hanya ditutup 0,14%.
Berikut pergerakan kurs dolar AS terhadap rupiah sepanjang hari ini:
Pelemahan rupiah terjadi kala mata uang utama Asia bergerak variatif. Status mata uang Benua Kuning terkuat hari ini dipegang oleh ringgit Malaysia yang menguat hingga 0,19%. Sementara itu, selain rupiah, mata uang yang juga terdepresiasi adalah yen Jepang, won Korea Selatan, dolar Taiwan, dan peso Filipina.
Apabila dikomparasikan, pelemahan rupiah sendiri menjadi yang terlemah kedua di Asia, hanya lebih baik dari yen Jepang yang terdepresiasi hingga 0,17%. Meski masih tergolong buncit, pergerakan rupiah patut disyukuri. Pasalnya, di sepanjang hari rupiah betah menjadi juru kunci Asia. Seiring dengan menipisnya pelemahan, rupiah naik kasta ke posisi kedua terlemah di kawasan.
Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap sejumlah mata uang Asia pada pukul 16:08 WIB:
Pada perdagangan tanggal 4 Desember, terjadi inversi spread yield obligasi AS tenor 3 dan 5 tahun. Pada akhir perdagangan hari itu, spread yield obligasi AS tenor 3 dan 5 tahun adalah sebesar 2 basis poin (bps). Hal ini merupakan indikasi awal dari datangnya resesi di AS.
Melansir CNBC International yang mengutip Bespoke, dalam 3 resesi terakhir yang terjadi di AS (1990, 2001, dan 2007), inversi pertama spread yield obligasi tenor 3 dan 5 tahun datang rata-rata 26,3 bulan sebelum resesi dimulai.
Namun, konfirmasi datangnya resesi tak cukup mengandalkan spread yield obligasi tenor 3 dan 5 tahun. Konfirmasi biasanya datang dari spread yield obligasi tenor 3 bulan dan 10 tahun.
Pasalnya dalam 3 resesi terakhir yang terjadi di AS, juga selalu terjadi inversi pada spread yield obligasi tenor 3 bulan dan 10 tahun. Kajian dari Bespoke menunjukkan bahwa inversi pada kedua tenor ini terjadi rata-rata 89 hari setelah inversi pertama pada obligasi tenor 3 tahun dan 5 tahun.
Pada perdagangan hari ini, spread yield antara kedua tenor tersebut adalah sebesar -29 bps. Memang belum terjadi inversi, tapi nilainya jauh menipis dari posisi penutupan terakhirnya (24/12/2018) yang sebesar -37 bps atau semakin mengarah ke inversi.
Jika dibandingkan dengan posisi awal November yang sebesar -82 bps, penipisan yang terjadi menjadi kian parah.
Sebagai informasi, resesi merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan, seperti dilansir dari Investopedia. Sebuah perekonomian bisa dikatakan menglami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut.
AS adalah perekonomian nomor 1 dunia. Kala ekonomi AS terkapar, maka dampaknya akan meluas ke seluruh negara dan menjadi perlambatan ekonomi global.
Tidak hanya itu, penutupan pemerintahan AS turut menambah kekhawatiran investor akibat ketidakpastian politik itu. Senat AS tidak mampu memecah kebuntuan terkait permintaan Presiden AS Donald Trump yang menginginkan alokasi dana bagi pembangunan tembok batas dengan Meksiko. Seorang pejabat senior mengatakan government shutdown itu akan berlanjut hingga 3 Januari mendatang.
Sejumlah risiko besar ini akhirnya memaksa investor untuk meninggalkan aset-aset berisiko dan beralih ke instrumen safe haven. Selain dolar AS, instrumen lainnya yang menjadi pilihan utama investor adalah emas. Hingga pukul 16.26 WIB, harga emas COMEX kontrak Februari 2019 menguat hingga 0,31% ke US$ 1.275,7/ounce.
Lantas mengapa rupiah menjadi salah satu mata uang yang melemah cukup dalam? Nampaknya hal ini juga disebabkan oleh sentimen dalam negeri juga cenderung tidak bersahabat.
Pekan lalu, Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk menahan suku bunga acuan di 6%. Padahal sebelumnya bank sentral AS, The Federal Reserve/The Fed, menaikkan suku bunga acuan 25 basis poin (bps) menjadi 2,25-2,5% atau median 3,275%. Ini membuat berinvestasi di aset-aset berbasis rupiah menjadi kurang pemanis. Tidak ada insentif lebih bagi investor, khususnya asing, untuk berinvestasi di Indonesia. Kemudian, ada kekhawatiran investor soal prospek transaksi berjalan (current account) kuartal IV-2018. Pada hari Kamis (20/12/2018), Gubernur BI Perry Warjiyo mengungkapkan defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) pada kuartal IV-2018 masih akan berada di atas 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Dari sisi positifnya, ada dua faktor yang mampu mendorong rupiah untuk menipiskan pelemahan hari ini. Pertama, anjloknya harga minyak mentah dunia. Pada penutupan perdagangan hari Senin (24/12/2018), harga minyak WTI kontrak pengiriman Januari 2019 anjlok 6,7% ke level US$ 42,53/barel, sementara minyak brent kontrak pengiriman Februari 2019 anjlok 6,2% ke level US$ 50,47/barel.
Anjloknya harga minyak mentah tentu menjadi kabar yang menyenangkan bagi rupiah, lantaran memantik optimisme bahwa CAD bisa diredam pada kuartal terakhir di tahun ini.
Sebagai informasi, pada kuartal-III 2018 CAD mencapai 3,37% dari Produk Domestik Bruto (PDB), terdalam sejak kuartal II-2014, seiring dengan besarnya defisit perdagangan minyak dan gas (migas).
Kedua, BI turun tangan dengan melakukan intervensi di pasar spot.
"Untuk mencegah pelemahan rupiah yang tajam, BI langsung masuk ke pasar spot. BI membuka lelang DNDF pukul 08:30 yang dilakukan secara reguler tiap hari," kata Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI Nanang Hendarsah, Rabu (26/12/2018).
"BI memenangkan seluruh incoming bid dari bank sebesar US$ 70 juta untuk tenor 1 bulan. BI juga stand ready di pasar SBN untuk mencegah aksi jual yang berlebihan," jelasnya.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/RHG) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Pada Rabu (26/12/2018), US$ 1 dihargai Rp 14.570 kala penutupan pasar spot. Rupiah melemah 0,14% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Sepanjang hari rupiah sebenarnya terus terperangkap di zona merah. Mata uang tanah air bahkan sempat melemah hingga 0,3% lebih hari ini, hingga menyentuh level psikologis Rp 14.600/US$. Meski demikan, jelang penutupan perdagangan, performa rupiah relatif membaik hingga hanya ditutup 0,14%.
Berikut pergerakan kurs dolar AS terhadap rupiah sepanjang hari ini:
Apabila dikomparasikan, pelemahan rupiah sendiri menjadi yang terlemah kedua di Asia, hanya lebih baik dari yen Jepang yang terdepresiasi hingga 0,17%. Meski masih tergolong buncit, pergerakan rupiah patut disyukuri. Pasalnya, di sepanjang hari rupiah betah menjadi juru kunci Asia. Seiring dengan menipisnya pelemahan, rupiah naik kasta ke posisi kedua terlemah di kawasan.
Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap sejumlah mata uang Asia pada pukul 16:08 WIB:
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Investor memilih bermain aman dengan memeluk dolar AS selaku safe haven, seiring dengan konfirmasi datangnya resesi yang kian dekat. Hingga pukul 16.26 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback terhadap 6 mata uang utama dunia) menguat hingga 0,13%.Pada perdagangan tanggal 4 Desember, terjadi inversi spread yield obligasi AS tenor 3 dan 5 tahun. Pada akhir perdagangan hari itu, spread yield obligasi AS tenor 3 dan 5 tahun adalah sebesar 2 basis poin (bps). Hal ini merupakan indikasi awal dari datangnya resesi di AS.
Melansir CNBC International yang mengutip Bespoke, dalam 3 resesi terakhir yang terjadi di AS (1990, 2001, dan 2007), inversi pertama spread yield obligasi tenor 3 dan 5 tahun datang rata-rata 26,3 bulan sebelum resesi dimulai.
Namun, konfirmasi datangnya resesi tak cukup mengandalkan spread yield obligasi tenor 3 dan 5 tahun. Konfirmasi biasanya datang dari spread yield obligasi tenor 3 bulan dan 10 tahun.
Pasalnya dalam 3 resesi terakhir yang terjadi di AS, juga selalu terjadi inversi pada spread yield obligasi tenor 3 bulan dan 10 tahun. Kajian dari Bespoke menunjukkan bahwa inversi pada kedua tenor ini terjadi rata-rata 89 hari setelah inversi pertama pada obligasi tenor 3 tahun dan 5 tahun.
Pada perdagangan hari ini, spread yield antara kedua tenor tersebut adalah sebesar -29 bps. Memang belum terjadi inversi, tapi nilainya jauh menipis dari posisi penutupan terakhirnya (24/12/2018) yang sebesar -37 bps atau semakin mengarah ke inversi.
Jika dibandingkan dengan posisi awal November yang sebesar -82 bps, penipisan yang terjadi menjadi kian parah.
Sebagai informasi, resesi merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan, seperti dilansir dari Investopedia. Sebuah perekonomian bisa dikatakan menglami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut.
AS adalah perekonomian nomor 1 dunia. Kala ekonomi AS terkapar, maka dampaknya akan meluas ke seluruh negara dan menjadi perlambatan ekonomi global.
Tidak hanya itu, penutupan pemerintahan AS turut menambah kekhawatiran investor akibat ketidakpastian politik itu. Senat AS tidak mampu memecah kebuntuan terkait permintaan Presiden AS Donald Trump yang menginginkan alokasi dana bagi pembangunan tembok batas dengan Meksiko. Seorang pejabat senior mengatakan government shutdown itu akan berlanjut hingga 3 Januari mendatang.
Sejumlah risiko besar ini akhirnya memaksa investor untuk meninggalkan aset-aset berisiko dan beralih ke instrumen safe haven. Selain dolar AS, instrumen lainnya yang menjadi pilihan utama investor adalah emas. Hingga pukul 16.26 WIB, harga emas COMEX kontrak Februari 2019 menguat hingga 0,31% ke US$ 1.275,7/ounce.
Lantas mengapa rupiah menjadi salah satu mata uang yang melemah cukup dalam? Nampaknya hal ini juga disebabkan oleh sentimen dalam negeri juga cenderung tidak bersahabat.
Pekan lalu, Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk menahan suku bunga acuan di 6%. Padahal sebelumnya bank sentral AS, The Federal Reserve/The Fed, menaikkan suku bunga acuan 25 basis poin (bps) menjadi 2,25-2,5% atau median 3,275%. Ini membuat berinvestasi di aset-aset berbasis rupiah menjadi kurang pemanis. Tidak ada insentif lebih bagi investor, khususnya asing, untuk berinvestasi di Indonesia. Kemudian, ada kekhawatiran investor soal prospek transaksi berjalan (current account) kuartal IV-2018. Pada hari Kamis (20/12/2018), Gubernur BI Perry Warjiyo mengungkapkan defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) pada kuartal IV-2018 masih akan berada di atas 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Dari sisi positifnya, ada dua faktor yang mampu mendorong rupiah untuk menipiskan pelemahan hari ini. Pertama, anjloknya harga minyak mentah dunia. Pada penutupan perdagangan hari Senin (24/12/2018), harga minyak WTI kontrak pengiriman Januari 2019 anjlok 6,7% ke level US$ 42,53/barel, sementara minyak brent kontrak pengiriman Februari 2019 anjlok 6,2% ke level US$ 50,47/barel.
Anjloknya harga minyak mentah tentu menjadi kabar yang menyenangkan bagi rupiah, lantaran memantik optimisme bahwa CAD bisa diredam pada kuartal terakhir di tahun ini.
Sebagai informasi, pada kuartal-III 2018 CAD mencapai 3,37% dari Produk Domestik Bruto (PDB), terdalam sejak kuartal II-2014, seiring dengan besarnya defisit perdagangan minyak dan gas (migas).
Kedua, BI turun tangan dengan melakukan intervensi di pasar spot.
"Untuk mencegah pelemahan rupiah yang tajam, BI langsung masuk ke pasar spot. BI membuka lelang DNDF pukul 08:30 yang dilakukan secara reguler tiap hari," kata Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI Nanang Hendarsah, Rabu (26/12/2018).
"BI memenangkan seluruh incoming bid dari bank sebesar US$ 70 juta untuk tenor 1 bulan. BI juga stand ready di pasar SBN untuk mencegah aksi jual yang berlebihan," jelasnya.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/RHG) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular