
Terlemah di Asia, Rupiah Kian Mantap di Zona Merah
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
21 December 2018 12:35

Tampaknya ada faktor domestik yang mempengaruhi gerak rupiah sehingga belum bisa keluar dari zona merah. Kemarin, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menyatakan defisit transaksi berjalan (current account) pada kuartal IV-2018 masih di atas 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Artinya bisa jadi lebih dalam ketimbang kuartal sebelumnya yang mencapai 3,37% PDB.
"Ada kenaikan impor yang produktif. Jangan terlalu kaget nanti defisit transaksi berjalan kuartal IV itu di atas 3%. Akhir 2018, full year, sekitar 3% PDB," ungkap Perry.
Transaksi berjalan yang defisit membuat rupiah kekurangan modal untuk menguat. Ini karena pasokan valas dari ekspor-impor barang dan jasa sangat terbatas, bahkan cenderung tekor.
Sentimen negatif ini membuat investor 'menghukum' rupiah. Investor mana yang mau memegang aset yang nilainya berisiko melemah?
Kemudian, kebutuhan valas korporasi yang meningkat jelang akhir tahun juga membebani rupiah. Perusahaan, terutama asing yang beroperasi di Indonesia, sedang berburu valas untuk keperluan setoran dividen ke kantor pusatnya di luar negeri. Rupiah dilepas untuk ditukarkan ke valas, sehingga mata uang Tanah Air melemah.
Selain faktor domestik tersebut, sisi eksternal juga cukup menantang. Setelah melemah cukup lama, dolar AS mulai menguat. Pada pukul 12:25 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback secara relatif terhadap enam mata uang utama dunia) naik 0,20%.
Maklum, dolar AS memang sudah di-bully habis-habisan. Dalam sepekan terakhir, Dollar Index merosot sampai 1%. Ini membuat dolar AS sudah cukup murah, sehingga cukup menggoda investor untuk mengoleksinya.
Kemudian, harga minyak dunia masih naik. Pada pukul 12:34 WIB, harga minyak jenis brent naik 0,83% dan light sweet bertambah 0,98%.
Kenaikan harga minyak akan menambah beban impor migas Indonesia. Ini tentu membuat defisit transaksi berjalan terancam melebar, seperti proyeksi BI.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
"Ada kenaikan impor yang produktif. Jangan terlalu kaget nanti defisit transaksi berjalan kuartal IV itu di atas 3%. Akhir 2018, full year, sekitar 3% PDB," ungkap Perry.
Transaksi berjalan yang defisit membuat rupiah kekurangan modal untuk menguat. Ini karena pasokan valas dari ekspor-impor barang dan jasa sangat terbatas, bahkan cenderung tekor.
Kemudian, kebutuhan valas korporasi yang meningkat jelang akhir tahun juga membebani rupiah. Perusahaan, terutama asing yang beroperasi di Indonesia, sedang berburu valas untuk keperluan setoran dividen ke kantor pusatnya di luar negeri. Rupiah dilepas untuk ditukarkan ke valas, sehingga mata uang Tanah Air melemah.
Selain faktor domestik tersebut, sisi eksternal juga cukup menantang. Setelah melemah cukup lama, dolar AS mulai menguat. Pada pukul 12:25 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback secara relatif terhadap enam mata uang utama dunia) naik 0,20%.
Maklum, dolar AS memang sudah di-bully habis-habisan. Dalam sepekan terakhir, Dollar Index merosot sampai 1%. Ini membuat dolar AS sudah cukup murah, sehingga cukup menggoda investor untuk mengoleksinya.
Kemudian, harga minyak dunia masih naik. Pada pukul 12:34 WIB, harga minyak jenis brent naik 0,83% dan light sweet bertambah 0,98%.
Kenaikan harga minyak akan menambah beban impor migas Indonesia. Ini tentu membuat defisit transaksi berjalan terancam melebar, seperti proyeksi BI.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular