Rapat The Fed Sudah Ketaker, Rupiah Lanjut Menguat

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
19 December 2018 13:27
Rapat The Fed Sudah <i>Ketaker</i>, Rupiah Lanjut Menguat
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/Arie Pratama)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masih menguat. Meski apresiasi rupiah menipis, tetapi status sebagai juara Asia masih dalam genggaman. 

Pada Rabu (19/12/2018) pukul 13:02 WIB, US$ 1 dijual Rp 14.385 di perdagangan pasar spot. Rupiah menguat 0,76% dibandingkan penutupan perdagangan hari sebelumnya. 

Sejatinya apresiasi rupiah berkurang, karena sebelumnya sempat menguat nyaris 1%. Meski begitu, rupiah belum lengser dari singgasana raja Asia. 


Hingga siang ini, mayoritas mata uang utama Asia menguat di hadapan dolar AS. Namun penguatan rupiah menjadi yang terbaik, tidak ada mata uang Benua Kuning yang menguat setajam rupiah. 

Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap sejumlah mata uang Asia pada pukul 13:07 WIB: 




(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Biasanya dolar AS menguat jelang rapat The Federal Reserve/The Fed. Apalagi dalam rapat yang hasilnya diumumkan pada dini hari nanti waktu Indonesia tersebut, Jerome 'Jay' Powell dan kolega diperkirakan menaikkan suku bunga acuan menjadi 2,25-2,5%. Kenaikan suku bunga acuan lazimnya adalah energi positif buat dolar AS.

Namun kali ini dolar AS justru melempem. Pada pukul 13:14 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback secara relatif terhadap enam mata uang utama dunia) melemah 0,24%. 

Sepertinya pelaku pasar sudah memasukkan kenaikan Federal Funds Rate dalam kalkulasi mereka. Bahasa kerennya sudah priced-in, kalau bahasa Betawi sudah ketaker. Tidak ada kejutan meski suku bunga acuan benar-benar naik dini hari nanti. 

Lebih jauh lagi, pelaku pasar malah memperkirakan The Fed tidak akan terlalu agresif tahun depan. Jika tahun ini kemungkinan besar suku bunga acuan naik empat kali, maka tahun depan bisa saja hanya naik dua kali. 

Konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan The Fed akan menaikkan suku bunga acuan dua kali pada 2019. Lebih sedikit dibandingkan proyeksi sebelumnya yaitu tiga kali. 

Sebab, AS sendiri menghadapi risiko yang tidak kecil. Dalam jajak pendapat terpisah, konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS masih akan mengalami inversi, yaitu yield tenor jangka panjang lebih rendah ketimbang jangka pendek. 

Inverted yield merupakan pertanda awal terjadinya resesi, karena investor menilai risiko jangka pendek lebih besar ketimbang jangka panjang. Bahkan pelaku pasar memperkirakan resesi bisa terjadi pada 2020. 

Tidak hanya AS, ekonomi global juga berpotensi melambat pada 2019. Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi global tumbuh 3,7% tahun depan, melambat dibandingkan proyeksi sebelumnya yaitu 3,9%. Sementara Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini di kisaran 3,7%, dan tahun depan melambat menjadi 3,5%. 

Oleh karena itu, kebutuhan untuk mengencangkan kebijakan moneter menjadi kurang relevan. Di tengah risiko yang begitu besar, pengetatan kebijakan moneter bukan langkah yang bijak. 

Artinya, ke depan dolar AS akan menjadi kurang menarik karena kebijakan moneter yang tidak tidak lagi ketat. Investor pun mulai melepas mata uang ini, sehingga nilainya melemah. Situasi ini mampu dimanfaatkan oleh rupiah cs di Asia untuk mencetak penguatan.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular